9. Kena sial

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ayah minta kalian berangkat bareng mulai hari ini."

Kontan kedua cowok itu mendongak dari acara makannya lalu memandang ke arah Primura dengan alis mengernyit heran.

"Kamu sekalian aja nebeng Abang mu biar dia nggak kelayapan selain ke sekolah," perintah ayah kepada Juli kemudian beralih pada Okto yang duduk di seberang meja makan. "Dan kamu jangan macem-macem kecuali sekolah. Denger Okto!"

Ide cerdas ayahnya tidak disambut baik oleh dua putranya yang selalu berangkat sendiri-sendiri ke sekolah. Jika Okto menggunakan motor kesayangannya yang dia dapat setelah genap berusia 17 tahun karena merengek kepada Primura. Motor itu bekas ayahnya yang jarang dipakai. Oleh sebab itu dihibahkan kepada Okto.

Sementara Juli lebih suka naik angkutan umum, kadang ojol kadang juga bus ketimbang nebeng. Menurutnya lebih praktis, lagi pula Juli tidak keberatan jika motor satu-satunya yang seharusnya dinikmati bersama lebih dikuasai kakaknya. Juli telah merelakannya secara lahir batin.

Baginya tidak masalah sama sekali.

Jika kebanyakan anak sekolah difasilitasi hal-hal yang diinginkan seperti motor atau mobil serta kendaraan sejenisnya. Maka, hal itu tidak berlaku di keluarga Primura. Apalagi ayah yang punya pemikiran agak kolot tidak mungkin memberikan barang mewah dan bernilai tinggi pada anak-anak yang masih terbilang muda dengan percuma.

Bahaya, bahaya, dan bahaya.

Alasan yang kerap Primura tanamkan pada kedua putranya. Kendati pun begitu Juli tidak masalah. Dia tumbuh jadi anak  patuh yang tidak banyak berkomentar.

Hanya ada hitungan jari Juli berangkat bersama Okto ketika sekolah. Sebab perbedaan jadwal kelas dan kegiatan yang berbeda membuat keduanya berjarak, terlebih karena faktor masalah yang sering Okto perbuat di mana pun menambah ketidakharmonisan hubungan mereka. Namun, siapa sangka kini ayah memberi titah baru soal peraturan itu di awal semester lantara mengetahui keduanya sama-sama berada di kelas sebelas.

"Tapi, Yah?" kata Juli terhenti ketika melihat ibunya yang menggeleng pelan memberi isyarat untuk tak melanjutkan protes. Mau tak mau Juli menurut meski merasa kesal dalam hati.

Ekspresi Mila sudah cukup membuat Juli paham bahwa dia tidak boleh menyangkal omongan ayah. Kalau tidak, bisa-bisa piring terbang menghantam wajahnya. Apalagi dengan kondisinya yang sekarang sedang tidak stabil, ayah tidak akan berkompromi dengan alasan apa pun. Pria berbadan besar dan menyeramkan itu tengah mengalami masalah di kantor sehingga siapa pun yang ada di rumah harus menjaga sikap supaya tidak menyulut emosinya.

"Kamu keberatan, Juli?"

Meski ayah bertanya dengan nada rendah tetap saja terasa mengintimidasi. Suara beratnya yang ditekankan saat menyebut namanya membuat Juli tidak menjawab selain menunduk pasrah.

Keputusan, perintah serta keinginannnya adalah mutlak.

"Itu pesen Ayah buat kalian berdua. Terutama kamu, Okto?" tegas ayah pada anak sulungnya yang terlihat santai-santai saja tanpa beban, dan malah asik menyendok nasi ke dalam piring, nambah.

"Iya."

"Ayah nggak mau denger lagi soal kamu yang bikin masalah di sekolah atau di mana pun. Mumpung masih awal sekolah kamu bisa mulai belajar yang bener, memperbaiki diri. Itu bagus buat kamu berubah."

"Jangan lagi tinggal kelas dan bikin Ayah malu!"

"Kamu udah besar seharusnya bisa jaga nama baik keluarga, bukan main-main."

Tidak ada bantahan dari cowok bermata sipit itu selain merotasi bola mata. Okto sedikit jengah mendengar perkataan Primura yang sering diulang-ulang belakangan ini. Baginya sudah terlalu biasa mendengar ayah ceramah di pagi hari.

"Dan kamu," ucap ayah beralih pada anak bungsunya. "Pertahankan prestasi mu. Awasi terus kelakuan Okto di sekolah. Kalo macem-macem kasih tau--"

"Ayah ... makan dulu."

Ibu menyela dengan nada pelan supaya mencegah Primura tak lagi banyak bicara. Beruntung, suaminya menyudahi sesi pidato walau diiringi raut tak puas.

Kemudian acara sarapan berlanjut seperti semula. Suasana kembali hening, setiap orang sibuk masing-masing menyantap makanannya.

Selang beberapa menit ibu membereskan meja makan, sedangkan ayah siap berangkat bekerja menggunakan mobil bututnya. Primura dengan sengaja menunggu kedua anaknya di garasi rumah. Pria paruh baya itu sedang memantau sebelum benar-benar pergi ke kantor.

Juli mendengus begitu bokongnya duduk di jok belakang dengan terpaksa. Sementara Okto, telah menyalakan mesin motor lalu menarik gas secara lambat bersamaan dengan mama yang melambaikan tangan.

"Bang, bisa pelan-pelan nggak sih!?" gerutu Juli setelah menahan ngeri melewati jalanan menikung.

Keduanya baru berkendara selama kurang lebih lima menit, tapi jantung Juli sudah tidak karuan saja selama dibonceng.

Antara tidak mendengar atau memang pura-pura tuli dibalik helm full face nya, Okto tak menyahut. Sehingga membuat Juli berdecak kasar diikuti kecemasan yang tak berujung.

"Pegangan kalo nggak mau jatoh!" suruh Okto singkat kemudian menarik gas motor lebih kencang dari sebelumnya.

Refleks Juli mengumpat dalam hati sembari meraih bahu sang kakak secara serampangan. Nyaris saja dia terlempar dari motor akibat gerakan tiba-tiba yang Okto perbuat.

"Ngapain sih, ngebut-ngebut segala. Bahaya woii!" teriak Juli tak habis pikir. Dia masih ingin hidup bukan pulang tinggal nama saja.

Sejujurnya Juli ingin turun saja dari motor lalu naik angkutan umum tapi mengingat matahari makin meninggi dia urungkan. Meskipun taruhannya jantung yang berlompatan akibat Okto mengebut tak karuan. Juli hanya bisa bertahan daripada datang terlambat ke sekolah. Itu bukan pilihan terbaik, apalagi pagi ini ada guru killer yang mengajar.

Bisa-bisa dia kena semprot.

Kalau Juli terus-terusan komplain soal berkendara Okto yang ugal-ugalan dan nggak banget, maka di situ lah letak serunya bagi Okto yang memang penyuka adrenalin. Bukannya takut atau memikirkan bahaya  justru Okto abai keselamatan dan lebih mementingkan kesenangan. Biarpun sejuta umat mengutuk atas kelakuannya yang tak pantas. Dia tak peduli.

Di balik spion kaca terlihat jelas bagaimana wajah pucat Juli  yang melempar makian pada sang kakak. Okto cuma mencebik lalu melabeli sang adik dengan kata 'cupu'.

Sedikit terhibur bibir Okto terkembang tipis tapi tak lama kemudian wajahnya berubah serius, tepat saat dua pasang motor ninja mengapit laju kendaraannya.

"Woi berhenti lo kalo mau selamet!"

Salah satu pengemudi motor itu berteriak penuh amarah layaknya orang yang punya dendam kesumat belum terbalaskan. Terbukti matanya melotot tajam setelah membuka kaca helm, pandangannya mengarah ke Okto sambil sesekali menggeber motor kuat-kuat.

Okto tahu siapa yang tengah memprovokasi dirinya sekarang. Salah satu anak dari sekolah lain yang tak menyukainya kini tengah mencari masalah. Tidak bisa dipungkiri musuhnya bertebaran di mana-mana.

Bikin repot!

Sementara itu, Juli yang celingukan terus mendesah seraya berpikir keras soal tindakan yang harus dia ambil supaya tidak menimbulkan lebih banyak masalah baru. Juli tidak mau terlibat di dalamnya apalagi harus membereskan keributan yang timbul nantinya.

"Sialan. Apa sih kerjaan lo sampe diuber-uber orang?" Juli mengumpat usai bertanya nyalang, "nggak usah di ladenin. Gas yang kenceng jangan sampe kekejar."

"Lo takut?" omongan Okto yang tiada berguna membuat kepala Juli pening seketika.

"Lo gila Bang!" selorohnya tanpa memfilter kata-kata yang terdengar sarkas. "Udahlah nurut aja sih kalo nggak mau gue aduin ke ayah!

Sebelum benar-benar mengikuti perintah yang Juli usulkan, jari tengah Okto terangkat sesaat tepat ditujukan pada anak berandal di sisi kirinya. Setelahnya kuda besi itu menghilang di keramaian jalanan.

Akhirnya Juli bisa bernapas lega karena berhasil kabur dan selamat setelah aksi kejar-kejaran tadi. Bersyukurnya lagi, Juli masih diberi umur dan selamat sampai sekarang. Kejadian barusan benar-benar konyol baginya.

Siapa pun pasti enggan jika harus berangkat bersama Okto setiap hari, begitu juga dengan Juli yang telah merasa was-was sejak awal.

"Stop, gue turun di sini," ujar Juli tak sabaran begitu laju motor melambat tepat di depan gerbang yang tertutup.

"Sial. Kita telat."

Dengan tergesa dia melompat turun lalu menatap kesal pada Okto yang masih duduk di tempatnya. Kakaknya itu tak bereaksi banyak saat mengetahui keterlambatannya. Malahan, dia kembali menarik gas motor mulai melaju meninggalkan area sekolah begitu saja.

"Mau ke mana Bang! Jangan bolos mulu kerjaan lo?"

Gimana part ini? Ada komentar? Dipersilahkan ... Jangan lupa lope juga yaaw

Salam 🍉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro