Delapan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku harap aku memiliki keberanian dan kemampuan untuk mengungkapkan isi hati dan isi kepala secara verbal. Karena jika aku bisa bicara blakblakan, aku tidak akan ragu menanyakan kepada Daneswara tentang bentuk hubungan kami sekarang. Apakah hubungan itu sudah mengalami perubahan format sehingga kami perlu membahas kesepakatan yang telah kami setujui setelah dia berpindah dari sofa ke tempat tidur?

Sofa di kamar sudah mengalami pergeseran fungsi dari ranjang menjadi pajangan karena Daneswara sudah memindahkan aktivitasnya di tempat tidur. Semua kegiatan yang dulunya dilakukan di sofanya seperti duduk memangku laptop, membaca buku, bermain ponsel, sampai tidur sudah dilakukannya di tempat tidur.

Daneswara resmi bermigrasi sejak kami tidur bersama. Aku tidak menyebutnya bercinta karena apa yang kami lakukan tidak melibatkan perasaan. Hanya saja, situasinya agak membingungkan karena kegiatan tidur bersama yang diawali oleh ketidaksengajaan karena terbawa suasana itu berubah menjadi rutinitas.

Kalau aku tidak tahu Daneswara punya pacar, aku pasti mengira jika kesepakatan kami tentang pernikahan sementara sudah tidak berlaku lagi. Akta nikah kami sudah permanen, dan kami tidak merencanakan untuk mengunjungi pengadilan agama suatu saat di masa mendatang. Kami akhirnya menuju akhir yang bahagia. Persis seperti kisah cinta dalam novel-novel Abby Green atau Sarah Morgan.

Tapi karena Daneswara punya pacar, yang konsisten ada di pikiranku adalah, "Apakah Daneswara tidak merasa mengkhianati pacarnya setiap kali kami tidur bersama?" Rasa penasaran itu menggelitik, tapi tidak bisa kukeluarkan untuk mendapatkan jawaban pasti dari Daneswara.

Aku kemudian sibuk menganalisis sendiri untuk mendapatkan jawaban yang mungkin saja jauh dari kebenaran hanya untuk menyenangkan dan menenangkan hatiku sendiri. Hasil analisisku adalah: Daneswara tidak tampak menyesal tidur denganku karena dia seperti menantikan saat-saat itu. Orang yang menyesali sesuatu yang dia lakukan tidak akan membuat pengulangan nyaris setiap hari, kan? Dan kalau dia tidak tidur di kamar Mama setiap kali kami selesai melakukannya, maka dia akan tidur di sisiku sambil memelukku sepanjang malam.

Mungkin saja dia sudah putus dengan Camilla. Karena kalau menilik dari karakternya yang kunilai selama tinggal bersamanya beberapa bulan ini, Daneswara tidak terlihat seperti orang yang bisa dengan mudah menyakiti hati orang lain. Buktinya, dia sering mengungkapkan perasaan bersalah karena merasa mengorbankan aku untuk membuat Mama bahagia.

Daneswara pasti paham risiko dari berhubungan tanpa pengaman seperti yang kami lakukan. Dia juga tidak melakukan kegiatan pencegahan apa pun, seperti misalnya senggama terputus untuk menghindari pembuahan yang mungkin saja bisa terjadi.

Aku bukannya tidak menyukai rutinitas kami yang baru itu. Tidak, bukan seperti itu. Aku sama seperti perempuan lain yang gampang bermain hati. Aku tahu kalau aku sudah jatuh cinta pada Daneswara. Entah sejak kapan.

Mungkin sejak melihatnya begitu menyayangi Mama sehingga membuatku ikut berharap mendapat kasih sayang seperti itu darinya. Mungkin sejak menyadari jika dia ternyata mendengar dan mengingat apa pun yang aku katakan sehingga tahu dan bersedia membelikan makanan favoritku, meskipun dia tidak terlalu menyukainya. Atau mungkin sejak jantungku berdebar saat kami bertatapan, berciuman, dan akhirnya berhubungan untuk pertama kalinya.

Kapan pun waktunya, itu tidak penting. Yang penting adalah, rasa itu ada di sana. Aku mencintai Daneswara. Itu pasti. Aku menyukai kedekatan kami meskipun percakapan kami tetap belum selancar yang aku harapkan. Bukan salah Daneswara karena akulah yang tidak komunikatif. Aku masih harus belajar untuk lebih spontan, tidak harus memikirkan matang-matang apa yang hendak kuucapkan. Butuh waktu untuk itu, karena mengubah kebiasaan tidak pernah mudah.

Aku juga menikmati hubungan fisik kami. Itu lebih gampang dilakukan karena hubungan fisik itu tidak perlu komunikasi verbal. Itu adalah basic instict yang lebih melibatkan naluri, tidak perlu waktu khusus untuk dipelajari. Semua orang bisa langsung melakukan praktik, walaupun tidak punya landasan teori yang cukup. Aku buktinya.

Teori tentang tahapan percintaan secara visual kulihat dari drama Korea dan film-film Hollywood yang kutonton. Foreplay yang mendetail dan disambung menu utama yang hanya menampilkan gerakan punggung dan desahan karena penonton dianggap sudah bisa memvisualisasikan adegan itu dalam pikiran sendiri.

Dan itu memang sudah cukup untuk menjadi referensi pemula seperti aku. Selanjutnya, learning by doing. Aku belajar dengan cepat tentang apa yang disukai Daneswara ketika kami berhubungan. Bagian tubuh mana yang harus kusentuh untuk membuat hasratnya memuncak. Sama seperti dia yang semakin mengenali tubuhku.

Aku jadi menyesali pertemuanku dengan Daneswara dan pacarnya. Seandainya aku tidak pernah melihat mereka bersama, aku tidak akan tahu Daneswara punya hubungan dengan perempuan lain sehingga aku tidak akan diganggu perasaan bersalah karena telah menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka.

Sekarang, karena aku tidak tahu apakah mereka sudah putus atau belum, aku selalu dihantui rasa tidak nyaman setiap kali teringat Camilla. Rasanya seperti berselingkuh dengan pacar orang. Memang aku yang punya akta nikah sehingga hubunganku dengan Daneswara halal, tetapi Camilla adalah orang yang terhubung secara emosi dengannya. Dialah yang mendapat janji-janji manis Daneswara tentang masa depan.

"Kamu ke kantor pakai taksi aja, pulangnya aku jemput." Suara Daneswara membuatku menoleh. Berbagai pikiran yang berseliweran di benakku mendadak berhamburan.

Dia baru keluar dari kamar mandi, hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya. Dia memang sudah sesantai itu. Aku saja yang masih setia dengan kebiasaan membawa pakaian ganti ke kamar mandi. Walaupun kalau dipikir-pikir konyol sih karena tubuhku bukan rahasia lagi, karena Daneswara melihatnya nyaris setiap hari di atas tempat tidur. Tapi rasanya tetap saja sungkan. Aku khawatir dia berpikir jika aku sengaja menggodanya saat keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan jubah mandi.

"Nggak usah dijemput, Mas. Aku bawa mobil aja." Hari ini Daneswara hendak membawa Mama ke rumah sakit untuk kontrol. Aku tidak bisa ikut karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan.

"Jangan bawa mobil. Aku memang tetap akan ke kantor setelah mengantar Mama pulang dari rumah sakit, jadi kita bisa pulang sama-sama."

"Baiklah, aku naik taksi aja." Aku memilih tidak membantah lagi. "Tapi Mas nggak usah maksain ke kantor kalau niatnya cuma mau jemput aku aja. Pulangnya aku bisa naik taksi lagi kok."

"Kenapa sih kamu selalu bersikap seperti itu?" Daneswara yang hendak masuk walk in closet berbalik menghadapku. "Aku nggak suka kamu selalu bersikap sungkan padaku. Kamu bisa menyuruhku melakukan sesuatu untuk kamu, bukannya malah kayak gini, berusaha mencegahku saat aku bilang akan menjemputmu. Hubungan kita jadi nggak imbang kalau kamu bersikap seolah aku adalah majikan yang semua keinginannya harus dituruti. Yang apa-apa harus dilayani."

Sayangnya, seperti itulah ajaran Simbok yang melekat kuat di kepalaku. Kalau aku sudah berhasil menghapus doktrin itu, aku tidak akan gelisah seperti sekarang karena aku sudah bertanya tentang bentuk hubungan kami pada Daneswara. Apakah kami masih terikat kesepakatan untuk berpisah, atau kami sudah menjalani pernikahan yang sebenarnya?

"Aku lebih suka kalau kamu menyampaikan apa pun yang sedang kamu pikirkaan daripada diam. Kadang-kadang aku merasa kalau kamu punya banyak pertanyaan yang mau kamu tanyakan padaku."

Aku kaget karena Daneswara bisa membaca ekspresiku yang aku pikir sudah minimal. Dia benar. Aku ingin menanyakan tentang Camilla; Aku ingin tahu tentang arti diriku di hatinya; Aku perlu tahu bagaimana masa depan pernikahan kami. Atau, apakah kami akan terus tidur bersama seandainya kesepakatan kami tentang perpisahan belum berubah?

Ada banyak hal yang ada di kepalaku yang ingin kuketahui jawabannya. Sayangnya aku tidak bisa mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan itu secara lisan. Dan aku benci diriku sendiri karena bersikap inferior seperti ini.

Alih-alih menanggapi penyataan Daneswara yang memberiku kesempatan untuk membuka diri, aku malah bersikap layaknya seorang pengecut. Persis seperti kebiasaanku. Aku memilih melanjutkan kegiatanku memulas wajah sebelum berdiri. "Aku ke kamar Mama dulu ya, Mas."

Daneswara menghela napas panjang. "Aku ke bawah setelah pakaian."

Aku menggunakan kesempatan itu untuk kabur sambil mengutuki diri sendiri. Ternyata pendidikan dan pekerjaan bagus hanya bisa memperbaiki level kehidupanku, tetapi tidak memberikan dampak apa pun pada mental babu yang kumiliki. Aku benar-benar menyedihkan.

**

Di Karyakarsa udah tamat ya, gengs. Bisa baca di sana kalau pengin cepet. Beli koinnya di web ya karena lebih murah. Masuk aja lewat browser dan ketik: karyakarsa.com

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro