Dua Puluh Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

GIANA dan Simon ada pekerjaan di luar kantor sehingga aku memutuskan untuk memesan makan siang melalui aplikasi. Aku datang agak siang sehingga tidak sempat bertemu mereka, padahal ini hari pertama aku masuk setelah mengambil cuti selama 2 hari.

Sibuk dengan pekerjaan yang terbengkalai selama aku tidak masuk kantor membuatku untuk sesaat melupakan masalah yang kutinggalkan di rumah.

Aku tidak bisa terus-terusan menghindari Daneswara karena masih tinggal satu atap dengannya. Aku akhirnya berhasil menunda saat dia mengatakan jika kami harus bicara. Aku bilang, "Kita bicara setelah tahlilan hari ke-7 Mama selesai." Aku merencanakan sekalian pamit pulang ke rumah Ibu saat itu juga. Mengembalikan hidupku seperti sebelumnya, meskipun aku tahu semua tidak akan pernah sama lagi. Aku meninggalkan rumah Ibu dengan status lajang dan kembali menyandang gelar janda. Perbedaannya besar.

Aku sudah memindahkan semua barang-barangku dari kamar kami. Sebagian kecil kusimpan di kamar tamu yang sekarang kutempati, dan sebagian besar sudah kukembalikan ke rumah Ibu. Saat pamit beberapa hari ke depan, aku hanya perlu membawa tas jinjing, bukan koper seperti orang mau pindahan.

"Nit, makan yuk!" Vincent tiba-tiba sudah berada di dekatku.

Aku memperlihatkan layar ponsel yang sedang kupegang. "Saya baru mau pesan makanan nih, Mas. Mau sekalian saya pesenin? Mas mau makan apa?"

Vincent menggeleng. "Gue sedang pengin makan di luar, nggak mengunyah sambil dipelototin iMac. Yuk!" ajaknya.

Aku buru-buru menarik dompet dari dalam tas karena Vincent sudah berjalan menuju pintu keluar. Itu artinya dia tidak menerima penolakan.

Vincent sibuk dengan ponselnya dari kantor sampai di mobilnya. Dia membiarkan aku yang menekan tombol lift untuk kami, padahal biasanya dia yang melakukannya saat keluar bersama aku dan Giana. Kecuali kalau Simon ikut, maka tugas itu otomatis jatuh ke tangannya.

Perjalanan menuju restoran di luar gedung kantor yang dipilih Vincent juga kami lalui dalam keheningan. Vincent seperti sedang memikirkan sesuatu sehingga aku tidak berani mengajaknya ngobrol lebih dulu. Dia seharusnya tidak mengajakku kalau sedang tidak ingin bicara dengan orang lain. Hanya membuat aku jadi serba salah karena tidak tahu bagaimana harus bersikap.

"Maaf gue nggak sempat melayat ke rumah tante lo ya, Nit." Vincent baru membuka percakapan saat kami sudah duduk berhadapan di restoran, setelah memesan makanan.

"Nggak apa-apa, Mas." Aku paham kalau kesibukan Vincent segunung. Dia adalah nyawa kantor, sehingga tidak bisa seenaknya mengubah jadwal yang sudah tersusun rapi.

"Gue udah telanjur dalam perjalanan ke Bandung saat Gi ngabarin."

Aku memang menunggu agak siang sebelum menelepon kantor untuk mengajukan cuti, sekalian memberi tahu Giana dan Simon di grup kami. Rupanya Giana meneruskan kabar itu pada Vincent.

"Beneran nggak apa-apa, Mas. Tante saya udah lama sakit. Pergi mungkin adalah jalan terbaik supaya dia nggak merasa sakit lagi."

"Gi bilang kalau tante lo itu adalah ibu Danes, pacar Camilla." Vincent menyipitkan mata menatapku intens. "Tapi dia juga dengar sesuatu yang aneh waktu di sana. Orang-orang yang ngobrol saat melayat bilang kalau Danes sudah menikah, dan lo adalah istrinya. Gi bilang, dia hampir pingsan saking kagetnya. Dia hanya nggak mau nelepon dan nanyain ke lo karena lo masih dalam suasana berkabung. Apa itu benar?"

Untung saja aku tidak sedang makan atau minum karena pasti akan tersedak mendengar pertanyaan itu.

Aku menghela napas panjang sebelum menjawab, "Itu benar." Aku memutuskan jujur. Tidak ada yang perlu ditutupi lagi. Kebohongan dan drama ternyata menguras energi. Aku belajar hal itu beberapa hari terakhir ini. Aku kelelahan terus berpura-pura baik-baik saja dan tidak punya masalah dengan Daneswara di depan keluarga.

"Berengsek...!" desis Vincent. "Gue pikir dia laki-laki baik-baik. Ternyata dugaan gue salah. Bisa-bisanya dia menikah sama lo, tapi masih terus bersama Camilla. Gue mungkin masih bisa ngerti kalau yang dia selingkuhin itu Camilla, tapi kalau lo, gue beneran nggak habis pikir. Sekarang gue ngerti reaksi lo beberapa hari lalu saat kita bertemu mereka di restoran."

Ketahuan meratapi suami yang sedang menghabiskan waktu bersama perempuan lain itu memalukan, tapi aku bisa apa?

"Jadi lo ternyata nggak bohong waktu tempo hari bilang cuti untuk menikah."

Itu pernyataan, bukan pertanyaan, tapi aku tetap mengangguk. "Mas dan teman-teman aja yang nggak percaya."

"Seharusnya lo meyakinkan kami, bukannya malah bersikap seolah-olah membenarkan kalau dugaan kami bahwa lo hanya bercanda itu benar."

Seharusnya memang seperti itu, tapi aku dan Vincent telanjur melihat Daneswara dan Caamilla bersama, dan Vincent mengenali mereka. Bagaimana harus jujur tanpa membuat Daneswara terlihat buruk?

"Daneswara nggak selingkuh dengan Camilla kok." Aku berusaha tersenyum saat mengucapkan kalimat itu. "Pernikahan kami nggak seperti pernikahan lain yang terjadi karena kami saling jatuh cinta dan ingin menghabiskan sisa hidup bersama. Sebelum menikah, kami sudah sepakat untuk berpisah."

"Apa...?" Vincent kembali mendesis untuk menjaga supaya suaranya tidak meninggi.

"Tante dan ibu saya sepakat untuk menjodohkan kami," jelasku. "Mereka berpikir kalau saya dan Daneswara akan menjadi pasangan yang cocok. Saya nggak menolak karena nggak tahu Daneswara sudah punya pacar. Kalau saya tahu, tentu saja saya akan menerima ide itu. Saya nggak mau merusak hubungan orang."

"Tunggu dulu...!" Vincent mengangkat tangan memintaku berhenti menjelaskan. "Ini agak membingungkan. Lo menyebut ibu Danes sebagai tante lo. Lo juga mengakui Danes sebagai sepupu lo. Berarti ini pernikahan antarkeluarga? Jangan bilang kalau ibu dan tante lo bersaudara. Kalau iya, berarti hubungan darah lo dan Danes kental banget. Kok bisa-bisanya ibu kalian sepakat untuk menjodohkan kalian sih?"

Sebenarnya, tidak nyaman membahas masalah sepribadi ini dengan Vincent, tapi tidak mungkin menghindarinya juga. "Ibu saya dan mama Daneswara memang bersaudara, tapi kami nggak punya hubungan darah, Mas." Aku terpaksa harus menceritakan hal yang tidak pernah kubicarakan dengan teman-temanku di kantor. "Saya bukan anak kandung Ibu. Saya diadopsi Ibu setelah ibu kandung saya, ART Ibu, meninggal." Ini seperti judul sinetron televisi. Ibuku bukan Ibu Kandungku karena Ibu Kandungku adalah ART Ibuku.

Vincent bersandar di kursinya. Tatapannya masih menghujam, membuatku gelisah. Simbok tidak pernah malu menjadi pembantu Ibu. Dia sangat menghormati Ibu yang dianggapnya sebagai pahlawan. Aku juga seharusnya tidak perlu malu terlahir sebagai anak pembantu karena seorang anak tidak pernah bisa memilih orangtuanya. Tapi cara Vincent mengawasiku rasanya aneh.

Aku tidak pernah menganggap bosku ini sebagai orang yang membeda-bedakan kelas sosial saat bergaul, tapi sekarang aku tidak yakin saat dia menatapku dengan sorot mata menilai sambil bersedekap. Apakah nilaiku di matanya baru saja turun setelah tahu kalau aku sebenarnya adalah anak pembantu, bukan anak dokter seperti yang selama ini dipikirnya?

"Jadi, lo sebenarnya mau menikah dengan Danes karena nggak enak menolak sebab merasa berutang budi?"

Kalimat Vincent mirip dengan apa yang dikatakan Sherin, jadi kali ini aku tidak berusaha mendebat lagi. Meskipun aku berkeras jika apa yang kulakukan tidak pernah kuanggap sebagai pengorbanan, di mata orang lain akan tetap terlihat seperti itu.

"Saya dan Danes sepakat jika pernikahan kami akan berakhir setelah Mama, maksud saya, ibunya meninggal karena kami melakukannya untuk membuatnya bahagia di saat-saat terakhir dalam hidupnya." Aku memilih mengucapkan kalimat itu daripada menjawab pertanyaan Vincent.

"Tapi kalau lihat reaksi lo saat ketemu Danes dan Camilla, kayaknya lo nggak mau pernikahan lo berakhir, kan?"

Di antara semua pertanyaan Vincent yang bertubi-tubi, inilah yang paling mengejutkanku. Saking kagetnya, aku merasa mulutku spontan menganga. Bagaimana harus merespons pertanyaan seperti itu? Aku merasa seperti ikan dalam sebuah akuarium bening yang bisa diamati dengan saksama oleh Vincent. Aku tahu dia memang cerdas dan teliti, tapi karena aku pikir selalu bisa menyembunyikan perasaan dengan baik, aku tidak mengira akan bisa dibaca semudah itu. Tingkah konyolku beberapa hari lalu benar-benar telah merusak imej dan menguliti karakter yang susah payah kubangun.

**

Untuk yang belum baca sampai tamat, dan nggak mau nungguin di WP yang slow update banget, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah lama banget tamat. Terus bisa baca banyak ekstra part dari novel-novel yang udah tamat seperti: Starting Over, Mantan Rasa Gebetan, Midnight Prince, dan masih banyak lagi. Cerita baru tentang Rakha juga ada di sana. Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro