Dua Puluh Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SUDAH lima hari, dari hari Senin sampai Jumat, Daneswara rutin menjemput dan mengantarku pulang kantor. Biasanya kami mampir makan dulu sebelum pulang. Kata Daneswara supaya aku tidak perlu repot memikirkan makan malam lagi setelah sampai di rumah.

Mungkin beginilah rasanya orang pacaran. Aku hanya mengira-ngira karena tidak pernah melewati proses itu sebelumnya. Aku langsung menikah dengan orang yang ditunjuk Ibu dan Mama untukku.

Hari ini, Daneswara mengajakku nonton setelah makan malam. Sebelumnya kami tidak pernah nonton bersama. Biasanya, kalaupun makan di luar selepas kantor, kami akan segera pulang supaya bisa ngobrol dengan Mama sebelum dia tidur.

Daneswara membiarkan aku yang memilih filmnya. Hanya ada film komedi romantis yang jadwal putarnya akan segera dimulai. Aku sebenarnya lebih memilih action supaya Daneswara bisa menikmati filmnya. Aku tidak mau dia terkantuk-kantuk kalau harus menemaniku nonton drama romantis.

"Nggak ada film action," sesalku, masih terus mengawasi jadwal dan judul film yang akan tayang.

"Nggak apa-apa, kita nggak harus nonton film action. Atau kamu maunya nonton film action?"

Aku menggeleng. "Aku pikir Mas suka film action."

"Aku mau nonton sama kamu. Filmnya nggak terlalu penting sih. Mau menikmati suasananya aja. Kita belum pernah nonton di bioskop sama-sama. Biasanya nonton di TV aja. Suasana dan sound-nya nggak seseru di bioskop gini."

Suasana nonton di bioskop memang berbeda dengan di rumah. Apalagi kami mengambil studio VIP yang kursinya didesain dua-dua dan tidak terlalu padat. Aku tidak tahu apakah yang membuatku senang adalah filmnya yang sesuai seleraku ataukah Daneswara nyaris tidak melepaskan genggamannya di tanganku. Minumanku nyaris tidak tersentuh karena takut momennya akan rusak kalau aku bergerak.

Tangan kami masih bertaut sampai kami keluar dari bioskop, dan baru terlepas ketika masuk mobil. Perjalanan dari bioskop ke tempat parkir jadi terasa sangat cepat. Iya, memang lebay sih.

Sudah tengah malam saat kami sampai di rumah.

"Aku boleh minum kopi dulu?" tanya Daneswara. Biasanya dia hanya mengantarku sampai di depan pintu lalu pulang. "Biar nggak ngantuk di jalan."

"Tentu saja boleh, Mas." Aku juga tidak mau dia menyetir dalam kondisi mengantuk. Bahaya. Aku membuka pintu supaya Daneswara mengikutiku. "Mas tunggu di sini aja, biar aku bikinin kopinya." Aku menunjuk sofa di ruang tengah.

Setelah mengantarkan kopi untuk Daneswara, aku pamit masuk kamar. Dia butuh waktu untuk menghabiskan kopinya, jadi aku bisa mandi kilat, mengganti baju lalu turun lagi menemuinya. Ngobrol sebentar sebelum dia pulang.

Saat aku kembali ke ruang tengah, aku melihat Daneswara sudah tertidur dengan posisi duduk bersandar. Kopinya belum tersentuh. Ternyata dia benar-benar mengantuk. Itu bukan posisi yang ideal untuk tidur, tapi aku tidak berani membangunkannya. Aku lalu mengambil bantal dan selimut yang ada di kamar tamu. Bantal kuletakkan di ujung sofa, jadi kalau dia terbangun karena posisinya tidak nyaman, dia bisa berbaring. Selimut kuhamparkan di atas tubuhnya.

Aku lalu mengambil kuncinya di atas meja untuk memasukkan mobilnya yang diparkir di luar. Setelah masuk kembali ke rumah dan mematikan lampu ruang tamu, aku kembali ke ruang tengah.

Mungkin seharusnya aku membangunkan Daneswara dan menyuruhnya pindah ke kamar tamu, bukannya membiarkan tidur di sofa seperti ini. Tapi bagaimana kalau terbangun mendadak bisa membuat kantuknya hilang dan dia izin pulang, lalu kembali mengantuk di jalan? Aku tidak mau mengambil risiko itu.

Aku terus mengamati Daneswara. Kepalanya sedikit menengadah sehingga garis rahangnya terlihat semakin tegas. Bahkan hanya dengan menatapnya seperti ini, aku merasa berdebar-debar. Aku benar-benar mencintainya.

Beberapa hari ini aku menunggu Daneswara menagih jawabanku untuk permintaannya supaya kami meneruskan pernikahan karena aku sudah siap dengan jawaban yang mantap. Aku mau. Aku bersedia. Dia memang tidak mengatakan mencintaiku, tapi dia bersungguh-sungguh berniat mempertahankan pernikahan. Dia memperhatikan kenyamanananku. Itu cukup. Apalagi hubungannya dengan Camilla sudah sangat jelas. Mereka tidak terikat komitmen apa pun. Aku saja yang selalu sial karena sering berpapasan dengan mereka.

Setelah puas mengamati Daneswara, aku  memadamkan lampu. Dia lebih suka tidur dalam ruangan yang gelap daripada terang. Aku lalu masuk kamar sendiri dan bergelung dalam selimut.

Aku tidak bisa langsung tertidur. Adrenalinku masih mengalir deras. Daneswara tidur di rumahku. Ini untuk pertama kalinya dia menginap di sini. Memang bukan dengan sengaja, tapi aku tetap saja merasa senang dengan kehadirannya walaupun kami tidur di ruangan yang berbeda.

Untuk pertama kalinya pula sejak pulang ke rumah ini, aku tidur sangat nyenyak. Pulas tanpa mimpi. Ketika turun setelah menyelesaikan ritual subuhku di kamar, aku tidak menemukan Daneswara di sofa. Selimut yang semalam kulekatkan di tubuhnya sudah terlipat rapi dan diletakkan di atas bantal.

Kekecewaan sejenak menyusup dalam hati. Kenapa dia tidak menunggu sampai aku turun dulu dan berpamitan? Aku yakin Daneswara baru pulang pagi ini karena dia tidak mungkin meninggalkan rumah tengah malam tanpa menguncinya.

Aku hendak keluar untuk memastikan kalau Daneswara sudah benar-benar pergi saat mendengar denting sendok yang beradu dengan cangkir. Senyumku spontan terbit. Dia belum pulang! Tentu saja, dia tidak mungkin pergi begitu saja.

Di dapur, aku melihat Daneswara sedang mengaduk cangkirnya. Aku baru teringat jika kopi yang kuseduh tadi malam untuknya adalah kopi yang terakhir. Di rumah aku lebih sering minum teh, jadi tidak pernah menyetok kopi banyak-banyak.

"Maaf, aku jadi bongkar-bongkar dapur kamu." Daneswara tersenyum saat menyadari kehadiranku. Kemejanya yang sudah keluar dari ban celana tampak kusut. Lengan kemejanya digulung asal saja sampai di siku. Dia kelihatan santai dan berantakan, tapi tetap enak dilihat.  Atau mataku saja yang setelannya salah sehingga tidak pernah bisa melihatnya jelek. "Aku kedinginan. Mau teh juga?" tawarnya.

"Biar aku bikin sendiri, Mas." Aku tidak terbiasa dilayani.

"Nggak apa-apa, kan sekalian." Daneswara dengan cekatan membuka rak dan mengeluarkan sebuah cangkir. Dalam  sekejap, dia sudah hafal tempat barang-barang di dapurku.

Aku buru-buru mendekatinya dan mengambil alih cangkir yang baru dikeluarkannya untuk membuat minumanku sendiri. "Maaf, kopinya habis, Mas."

"Teh panas enak juga kok." Daneswara akhirnya duduk di stool.

Aku menyusulnya setelah menyeduh tehku. Aku tidak bisa menawarkan sarapan apa pun pada Daneswara karena aku tidak punya stok makanan. Bahkan tidak roti tawar. "Maaf, nggak ada makanan apa-apa, Mas. Aku belum sempat belanja." Aku memang baru berencana untuk belanja hari ini. Kalau tahu Daneswara akan menginap, aku pasti menyempatkan membeli sesuatu yang bisa dimakan untuk mengganjal perut saat sarapan..

"Nggak apa-apa. Nanti kita keluar cari makanan atau pesan di aplikasi kalau udah ada yang buka. Kamu udah lapar?"

Aku menggeleng. "Aku kadang nggak sarapan saat ke kantor. Minum teh aja. Di kantor baru cari makanan atau camilan. Tapi Mas kan biasa sarapan." Sarapan adalah kewajiban di rumah Mama. Ibu juga membiasakan aku sarapan, tapi setelah dia pergi, kebiasaan itu mulai luntur. Tidak enak makan sendiri.

"Mama pasti ngomel kalau tahu kamu suka skip sarapan," gerutu Daneswara.

Anehnya, omelan itu malah membuatku senang. Sepertinya otakku memang sudah geser. Seminggu ini aku terlalu sering tersenyum sampai Giana mengernyit dan menatapku curiga. Aku belum menceritakan perkembangan hubunganku dengan Daneswara. Nanti saja, setelah kami resmi kembali bersama, saat Daneswara mengulangi permintaannya dan aku menjawab "iya".

"Tadi aku masuk ke kamar di depan. Ada sikat gigi yang belum dibuka dari kemasannya, jadi aku pakai aja."

"Itu kamar tamu, Mas. Memang ada peralatan mandi yang sengaja disiapkan untuk tamu." Walaupun sudah cukup lama sejak terakhir kali kamar itu terisi. Semoga saja pasta gigi yang dipakai Daneswara belum kedaluwarsa. Terakhir kali membersihkan kamar mandinya beberapa minggu lalu, aku tidak sempat mengecek tanggalnya.

Aku suka minum teh dalam keadaan panas, jadi aku lebih dulu menghabiskan minumanku daripada Daneswara. Saat melewati Daneswara ketika hendak menuju bak cuci piring untuk mencuci cangkir, Daneswara menahan pergelangan tanganku sehingga langkahku terhenti. Aku buru-buru meletakkan cangkir yang kupegang di atas kitchen island karena takut menjatuhkannya.

Daneswara berdiri sehingga kami berhadapan. Nyaris tidak ada jarak di antara kami. Aku mendongak menatapnya ketika telunjuknya menyusuri garis rahangku, lalu naik mengusap bibirku. Aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang. Terlebih lagi saat dia menunduk dan akhirnya menciumku. Ketika bibir kami kami bertemu, aku menyadari kalau aku sangat merindukan sentuhannya.

**

PO Melarung Mimpi dan Chasing Upik Abu (ganti judul jadi: Hingga Ujung Cakrawala) resmi dibuka hari ini sampai tanggl 7 Maret ya. Buat yang mau ikutan, bisa masuk dalam link di atas untuk mengisi data.

Untuk progres PO sampai dengan pengiriman buku, bisa ikutin di akun Instagram @titisanaria dan Kak Sela belibuku.fiksi.

Jangan sampai ketinggalan ya. Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro