Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nitha, saya Danes, ponakan Bulik Saras. Saya dapat nomor kamu dari Mama. Kita bisa ketemu nanti malam?

Aku menatap pesan itu lama. Tentu saja aku tahu siapa Daneswara tanpa dia harus menyebutkan dirinya secara detail. Dia adalah salah satu ponakan Ibu yang sering datang ke rumah Ibu sejak masih kecil. Semakin besar, frekuensi kedatangannya semakin jarang, tetapi sesekali dia tetap muncul walaupun sekadar untuk mengantar ibunya berkunjung. Hanya mengantar dan menjemput, tidak menunggui, sehingga pertemuan kami lebih cocok disebut berpapasan.

Walaupun saling mengenal sejak kecil, interaksi kami nyaris tidak ada. Dia termasuk majikan, jadi Simbok tidak akan mengizinkan aku ikut bermain dengan Daneswara dan ponakan Ibu lain yang datang berkunjung.

Aku yakin, di mata Daneswara dan sebagian sepupu-sepupunya, aku tidak lebih daripada anak pembantu, yang walaupun tidak digaji seperti Simbok, tapi aku juga bertanggung jawab untuk mengikuti apa pun yang mereka perintahkan.

Ketika ponakan-ponakan Ibu selesai bermain, akulah yang akan merapikan ruangan yang berantakan. Ketika minuman dan camilan yang disajikan Simbok habis, dan mereka masih mau, akulah yang akan disuruh untuk mengambil tambahan minuman dan camilan.

Ya, interaksi kami hanya sebatas itu. Mereka memberi perintah, dan aku menjalankannya dengan patuh. Tidak ikut menggabungkan diri, apalagi ngobrol akrab. Memang ada beberapa ponakan Ibu yang ramah dan sering mengajakku ikut bermain, tapi batas antara majikan dan babu itu tetap ada. Aku merasakannya, entah mereka.

Daneswara tidak termasuk dalam kelompok ponakan Ibu yang ramah, ataupun yang nakal dan suka menggangguku. Sejak kecil dia tidak banyak bicara, dan pertambahan usia tidak mengubah kepribadiannya di mataku. Kalau aku bukan anak seorang pembantu, aku mungkin akan menganggapnya sombong karena dia tidak pernah mau repot-repot tersenyum atau menyapa ketika kami bertemu saat dia mengantar ibunya ke rumah Ibu. Tapi karena dia majikan, aku maklum. Apa urgensinya beramah-tamah dan bersopan santun pada anak pembantu?

Jadi, sangat wajar kalau aku terkejut melihat pesannya.

Bude Adia baik-baik saja kan, Mas? Ibunya pasti adalah alasan mengapa Daneswara menghubungiku. Ibunya selalu minta dipanggil "Bude" sejak aku masih kecil, jadi aku pikir Daneswara tidak akan keberatan kalau aku tetap menyebut ibunya seperti itu.

Ibu masih sedih karena kehilangan Bude, jadi kondisinya menurun. Jadi, kita bisa ketemu selepas kantor?

Aku bisa membayangkan kesedihan yang dirasakan Bude Adia karena kepergian Ibu menghadap yang Kuasa empat bulan lalu. Aku saja yang tidak punya hubungan darah dengan Ibu masih merasakan duka mendalam yang entah kapan bisa sembuh, apalagi Bude Adia sebagai kakak Ibu.

Ibu punya beberapa orang saudara, tetapi Bude Adia adalah saudara sekaligus sahabat terdekat Ibu. Frekuensi pertemuan mereka sering dan rutin, terutama setelah Ibu bercerai dengan Bapak belasan tahun lalu. Mereka saling mengunjungi di akhir pekan, walaupun beberapa tahun terakhir Ibu lah yang lebih sering ke rumah Bude Adia.

Jadi, aku sangat paham kalau Bude Adia terpukul dengan kepergian Ibu yang mendadak karena serangan jantung. Sangat tidak terduga, dan Bude tidak sempat mempersiapkan diri untuk merasakan sebuah kehilangan. Sama persis seperti yang aku rasakan.

Bisa. Mas mau ketemu di mana?

Gedung tempat Daneswara bekerja berada tepat di sebelah kantorku. Bude Adia yang memberi tahu hal itu, tetapi aku tidak yakin Daneswara mau repot-repot menyimpan informasi seremeh itu seandainya Bude Adia kurang kerjaan dan iseng memberitahunya kalau kantor Zanitha, anak Mbok Lastri yang kerja di rumah bibinya berdekatan dengan kantornya.

Saya akan mampir di rumah Bulik Saras sepulang kantor.

Aku bilang juga apa, Daneswara tidak tahu kantor kami berdekatan. Kalau tahu, dia pasti akan mengusulkan pertemuan di kafe di dekat kantor, daripada harus repot-repot ke rumah Ibu yang jaraknya lebih jauh.

Baik, Mas. Saya tunggu.

Aku tidak punya kapasitas untuk mengajukan penawaran karena merasa punya ide yang lebih praktis. Ajaran Simbok tidak seperti itu. Majikan tahu apa yang terbaik untuk mereka, tidak perlu diajari.

**

Ada kesunyian yang menyiksa setiap kali aku masuk ke dalam rumah besar Ibu sepulang kantor seperti sekarang. Dengung AC yang kunyalakan jadi terlalu bising.

Keheningan adalah surga, karena aku menyukainya, tetapi rasanya berbeda ketika aku menikmatinya tanpa keberadaan Ibu di dalam rumah ini.

Aku sudah sangat terbiasa dengan kehadiran Ibu. Selain Simbok, Ibu adalah orang yang pertama kali kukenal dalam hidup.

Seperti kata Simbok, Ibu adalah majikan terbaik yang pernah ada di muka bumi. Aku bisa mengerti mengapa Simbok sangat memuja Ibu. Karena tanpa Ibu, Simbok mungkin akan berakhir di rumah sakit jiwa karena depresi. Itu kemungkinan terbaik. Yang terburuk, dia bisa luntang-lantung di jalanan, dan entah bagaimana nasibku sebagai anaknya.

Simbok tidak pernah menceritakan dengan detail tentang masa lalunya. Ibu yang membagi kisah itu beberapa tahun lalu, ketika dia menganggap aku sudah cukup dewasa untuk menerimanya. Katanya, "Simbokmu dinikahkan dengan tuan tanah di kampungnya oleh orangtuanya. Jadi istri keempat. Bukan pernikahan yang bahagia karena suaminya sangat abusive. Dan bukan hanya dia yang ringan tangan, tapi ketiga istrinya yang lain juga begitu. Ibumu sampai dibawa ke puskesmas karena cedera parah setelah dianiaya. Waktu itu dia dalam keadaan hamil. Kasusnya tidak diproses hukum, tapi ibumu akhirnya bisa keluar dari rumah nereka yang diciptakan suaminya."

Pertemuan pertama Ibu dengan Simbok memang terjadi di puskesmas di kampung Simbok. Ibu yang sedang menjadi dokter PTT di sana yang merawat Simbok. Dan Ibu menerima Simbok tinggal di rumah dinasnya ketika orangtua Simbok memaksanya pulang ke rumah suaminya saat meminta diterima kembali di rumah orangtuanya.

Simbok kemudian mengemis perlindungan pada Ibu yang gigih membelanya ketika tahu Simbok dianiaya suami dan para madunya. Ibu berhasil membuat suami Simbok mundur teratur ketika memaksa Simbok pulang. Ibu bilang, dia akan mengantar Simbok membuat laporan polisi kalau terus dipaksa pulang.

Ketika Ibu menyelesaikan tugas di kampung itu, dia membawa Simbok dan bayi yang sudah dilahirkannya, aku, ikut pulang ke Jakarta.

"Ibu nggak cerita soal ini untuk mengungkit masa lalu Simbok yang kelam, Nitha. Ibu hanya mau kamu mandiri dan bisa menentukan jalan hidupmu sendiri, nggak seperti simbok kamu yang hanya manut saja pada orangtuanya. Kalau kamu mandiri karena punya pendidikan dan pekerjaan bagus, nggak akan ada orang yang berani memandang kamu sebelah mata."

Aku ingat kapan tepatnya Ibu berbagi kisah itu padaku. Setelah aku tamat SMA, ketika Ibu membujukku untuk kuliah.

Kenangan itu selalu mengundang air mata setiap kali teringat. Aku merindukan Ibu. Sangat. Dia adalah majikan sekaligus orangtua pengganti yang luar biasa. Kalau aku tidak menuruti kata-kata Ibu, mungkin aku akan menjadi Simbok jilid dua. Tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia untuk tamatan SMA.

Untuk mengusir suasana sendu yang meliputiku, aku buru-buru mandi sebelum Daneswara datang. Syukurlah dia lebih terlambat daripada yang aku perkirakan.

Selama perjalanan pulang tadi, aku mencoba mengira-ngira apa yang kira-kira ingin dibicarakannya denganku, tetapi benar-benar gelap. Aku tidak punya bayangan apa pun, kecuali kalau hal itu berhubungan dengan Bude Adia. Hanya Bude yang mengaitkan aku dengan Daneswara, terlebih lagi setelah kepergian Ibu.

Tunggu dulu, apakah ini berhubungan dengan warisan yang Ibu tinggalkan untukku? Ibu tidak punya anak kandung karena memiliki masalah infertilitas. Hal itulah yang memicu perceraiannya dengan Bapak yang ingin punya anak sendiri. Ketika Ibu meninggal, warisannya otomatis jatuh kepadaku sebagai anak angkat yang sudah diadopsi secara sah.

Ketika Ibu meninggal empat bulan lalu, tidak ada yang mempermasalahkan warisan Ibu yang jatuh kepadaku. Mungkin karena semua keluarga Ibu adalah orang berada sehingga tidak meributkan warisan. Atau mungkin juga karena mereka menganggap hal itu wajar sebab aku sudah tinggal bersama Ibu seumur hidupku. Entahlah, tapi tidak ada yang mempermasalahkannya, terutama, tidak Bude Adia, sebagai anak tertua dan dituakan di keluarga Ibu.

**

Buat yang pengin baca lebih cepet, di Karyakarsa udah sampai bab 8 ya. Tapi berbayar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro