Sepuluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokan paginya Daneswara menahan langkahku saat aku hendak masuk mobil. Tidak biasanya. Seringnya, percakapan kami di pagi hari terjadi di meja makan, saat Mama berada di antara kami. Tadi kami sarapan bertiga karena Mama sudah merasa lebih sehat.

"Aku ikut kamu, nggak apa-apa, kan?"

Pertanyaan itu membuatku sadar kalau mobil Daneswara tidak ada di garasi. "Tentu saja boleh, Mas." Aku tidak menanyakan ke mana mobilnya dan bagaimana dia bisa sampai di rumah. Kalau menurut asumsi liarku, dia pasti diantar Camilla. Mungkin orang yang berulang tahun dan membuat Daneswara pulang tengah malam adalah perempuan itu sendiri.

"Biar aku yang nyetir." Daneswara mengulurkan tangan meminta kunci.

"Biar aku saja, Mas. Tadi Malam Mas kurang istirahat, jadi santai aja di mobil." Daneswara sudah segar saat tadi kami sarapan bersama Mama, tapi mungkin saja sakit kepalanya belum hilang. Kata orang-orang (dan film yang kutonton), pengar itu biasanya bertahan cukup lama setelah bangun tidur.

"Semalam aku hanya minum dua gelas wine kok. Seharusnya aku nggak mabuk. Toleransiku sama alkohol saja yang jelek. Sekarang aku sudah beneran sadar. Biar aku yang nyetir."

Aku menyerahkan kunci dan memutar menuju kursi penumpang. Aku tidak akan mendebat. Lebih baik aku pura-pura sibuk dengan ponsel sepanjang perjalanan.

Sebelum mulai menyetir, Daneswara memundurkan kursi sopir. Ukuran tungkainya berbeda denganku sehingga butuh ruang yang lebih lebar. Jenis mobil kami juga berbeda. Aku memakai city car yang kecil sedangkan dia mengemudikan SUV Land Cruiser yang lebih besar.

Mobil perlahan meninggalkan pekarangan rumah Mama. Hanya ada suara musik dari radio mobil yang mengisi keheningan di antara kami. Aku menunduk menekuri ponsel, membaca berbagai berita remeh yang biasanya tidak akan kulirik kalau tidak terpaksa.

Perjalanan tanpa percakapan itu mulai terasa nyaman ketika Daneswara lantas membuka suara, "Maaf banget untuk yang semalam ya."

"Nggak apa-apa, Mas."

"Kamu jadi harus tidur di sofa karena aku yang tidur di ranjang."

"Nggak apa-apa," jawabku lagi. Rasanya ada yang kurang karena aku hanya mengulang kata-kata yang sama, jadi aku melanjutkan, "Sofanya nyaman kok."

"Itu nggak akan terjadi lagi. Lain kali, aku nggak akan minum lebih dari segelas wine."

Aku pikir Daneswara akan bilang tidak akan minum lagi. Tapi apa pun yang dia putuskan toh tidak ada hubungannya denganku. Karena bingung harus merespons bagaimana, kali ini aku diam saja.

"Kenapa nggak pakai mobil satunya? Mobil matik kan lebih enak dipakai kalau sering terjebak macet. Kaki kamu nggak capek."

Maksud Daneswara adalah mobil Ibu yang tidak ikut kubawa di rumahnya. Memang benar kalau mobil Ibu lebih enak dipakai ketimbang mobilku yang manual. Aku hanya tidak enak memakainya setelah kepergian Ibu. Rasanya tidak benar saja memanfaatkan fasilitasnya seenaknya begitu Ibu tidak ada. Mungkin nanti akan kupakai, karena aku toh harus menjual salah satu dari mobil yang sekarang kumiliki. Dua mobil terlalu banyak untukku. Tidak mungkin menjual mobil Ibu karena itu akan menjadi kenang-kenangan seumur hidupku.

"Udah telanjur bawa yang ini ke rumah Mama, Mas."

"Tukar aja."

"Iya, Mas. Nanti aku tukar." Aku yakin Daneswara pasti menganggapku membosankan karena tidak bisa menjadi teman ngobrol yang menyenangkan.

"Biasanya kamu makan siang di mana?" Daneswara mengalihkan percakapan.

"Seringnya di dalam gedung, Mas. Kadang-kadang di luar, terutama kalau ada meeting dengan klien." Aku mengusahakan kalimat yang lebih panjang supaya terkesan responsif.

"Ooohhh...."

Hening lagi.

"Aku pernah beberapa kali makan di gedungmu. Diajakin teman karena katanya ada soto yang enak banget. Dan ternyata emang enak."

"Oohhh...." Sadar karena mengimitasi respons Daneswara, aku buru-buru melanjutkan. "Itu pasti soto Banjar Pak Karmin. Emang enak. Aku juga sering makan di sana."

"Kapan-kapan kita bisa makan siang di sana sama-sama ya?"

Aku tahu itu hanya basa basi, jadi tidak ragu untuk menyetujui. "Iya, Mas."

"Kita belum sempat ke ATM untuk memindahkan mobile banking dari ponselku ke ponselmu." Daneswara kembali melompat ke topik berbeda. "Karena kebetulan sedang sama-sama, kita bisa mampir di ATM yang ada di depan gedung kantormu."

"Lain kali aja, Mas. Nggak urgen kok." Aku tidak suka membahas masalah keuangan seolah kami benar-benar pasangan.

"Kamu belum pernah memakai kartu itu untuk bertransaksi karena nggak ada notif yang masuk di ponselku. Kamu pasti akan merasa lebih nyaman menggunakannya kalau notifikasi transaksi nggak masuk di ponselku, tapi langsung ke ponselmu sendiri."

Aku tidak nyaman menggunakannya karena itu bukan uangku, tetapi tidak mungkin mengakui hal itu pada Daneswara karena khawatir dia akan tersinggung. "Aku memang belum pernah belanja di mal selama pegang kartu itu, Mas. Lebih sering belanja online."

"Makanya, kalau mobile banking-nya sudah pindah ke ponselmu, kamu bisa transfer saat belanja. Atau untuk mengisi dompet digital kamu."

Seperti biasa, aku tidak akan mencoba memenangkan perdebatan. Kami akhirnya mampir di ATM untuk memindahkan mobile banking dari ponsel Daneswara ke ponselku. Lebih baik begitu, jadi dia tidak akan menanyakan lagi mengapa aku tidak pernah menggunakan uangnya untuk berbelanja.

"Aku nggak bermaksud membayarmu untuk kesepakatan kita karena sejak awal kamu sudah menolak. Ini hanya bentuk tanggung jawab, karena gimanapun cara kita melihat pernikahan ini, hubungan kita tetap sah secara hukum dan di mata orang-orang. Artinya, aku adalah suami yang harus memenuhi semua kebutuhan kamu. Tolong jangan membuatku merasa semakin bersalah karena sudah menjerumuskan kamu dalam pernikahan ini."

"Mas nggak menjerumuskan aku," ralatku. "Aku menyetujui kesepakatan kita dengan sadar."

"Dengan pertimbangan untuk membalas budi, kan?"

Aku tidak bisa mengatakan tidak karena membalas budi Ibu adalah alasan utama mengapa aku menerima tawaran Daneswara. Tapi tidak ada yang salah dengan alasan itu. Aku sudah dewasa dan mengerti semua konsekuensi dari keputusan yang aku ambil.

"Aku mengambil keputusan yang emosional dengan memintamu menikah denganku karena merasa bertanggung jawab pada kebahagiaan dan ketenangan batin Mama. Padahal aku sebenarnya nggak perlu bertindak sejauh itu. Aku bisa memintamu tetap pindah ke rumah untuk menemani Mama tanpa perlu buru-buru menikah. Kita hanya perlu memberikan kesan sedang melakukan pendekatan. Dampaknya ke kamu nggak akan seburuk setelah kita berpisah nanti."

Sudah terlambat untuk membahas itu sekarang, saat hubungan kami sudah dikuatkan akta nikah yang dikeluarkan negara. Tetapi aku hanya mendengarkan curhat Daneswara tanpa menyela. Dia mungkin butuh mengeluarkan unek-unek supaya merasa lebih baik. Persis yang Simbok selalu lakukan saat Ibu mengeluh tentang pekerjaan, kolega yang menyebalkan, atau macet yang membuatnya kelelahan di jalan. Simbok hanya menyimak dengan tekun sambil mengurut betis atau punggung Ibu, tidak memberikan pendapat.

"Aku boleh mengatakan sesuatu dengan jujur?" tanya Daneswara. Keraguan dalam suaranya membuatku merasa jika apa yang akan dia katakan bukanlah sesuatu yang membuatnya merasa nyaman.

"Mas bisa bilang apa saja. Silakan."

"Kesepakatan kita hanya tentang Mama, jadi kamu nggak perlu bersikap sangat baik padaku. Itu memberatkan aku, Nit. Kamu bisa bilang terus terang kalau ada sikapku yang mengganggumu. Kamu bisa marah padaku. Seperti tadi malam, saat aku pulang dalam keadaan mabuk dan mengambil tempat tidurmu. Kamu berhak menegur dan memintaku untuk tidak mengulangi itu lagi karena apa yang kulakukan mungkin sudah di luar toleransimu. Kamu nggak boleh diam saja dan memendam kekesalan di dalam hati karena memikirkan kenyamananku. Bukan aku yang berkorban, jadi kenyamananmu seharusnya lebih penting."

"Itu hanya tempat tidur, Mas." Aku melihat gedung kantorku yang melambai-lambai. Aku ingin segera masuk agar bisa memutus percakapan ini. Daneswara tidak perlu kuingatkan supaya tahu kalau apa yang dilakukannya salah. Dia punya hati nurani sendiri untuk menilai kepantasan perbuatannya. Lagi pula, aku tidak mungkin menegur apalagi memarahinya. Dia ponakan Ibu. "Sofanya beneran nyaman kok."

"Ini bukan tentang sofanya. Ini tentang...." Daneswara menyugar. "Nggak apa-apa. Mungkin aku berlebihan karena terus merasa bersalah sudah melibatkanmu untuk masalah yang seharusnya murni menjadi tanggung jawabku."

Aku tidak bisa bertahan lebih lama. "Aku... aku harus masuk kantor sekarang, Mas. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan."

**

Buat yang belum main di Karyakarsa, bisa ke sana untuk baca versi tamat lebih cepet ya. Tengkiuuu untuk semua dukungannya ya, Gengs. Lopyuol soberimac.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro