Bagian Satu:: Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di luar hujan. Rintik air yang tumpah dari langit telah mengguyur daerah sekitar sini, dari siang hingga sore hari.

Di dalam ruang musik SMA Cendana, terlihat seorang siswi perempuan yang bernama Shania Aluna Euphony, sedang memainkan jari jemarinya di atas tuts piano klasik yang ada di sana.

Alunan beethoven - virus terdengar mencekam.

Langit gelap seakan mendukung suasana hatinya. Hujan yang semakin deras seperti mengajaknya untuk terus-terusan berlomba menciptakan nada yang paling pilu.

Shania menghentikan permainannya, ia menatap ke arah jam tangan yang dipakainya.

Satu jam lagi, adzan maghrib akan berkumandang.

"Ck ... sial," umpatnya pelan.

Hujan sepertinya takkan berhenti. Mau tak mau, Shania harus pulang, atau ia akan berada di sini sampai esok pagi. Shania akan menerobos hujan kali ini. Untung saja besok libur, jadi ia tak perlu repot-repot mencari seragam lain untuk dikenakannya.

Sekolah sudah sepi, hanya terlihat beberapa murid saja yang masih berada di sekolah, mungkin ada urusan lain.

Ia keluar dan mengunci pintu ruangan, lalu ia langsung mengenakan sweater abu-abu yang selalu dibawanya di dalam tas.

"Shan! Pulang bareng gua, yuk," ajak seorang lelaki yang menggunakan almamater OSIS yang berwarna hitam-kuning.

Ia berjalan mendekati Shania, dengan senyum lebar hingga menampakkan lesung pipit di kedua pipinya.

Tampan.

Bagi kalangan siswi-siswi lain, Sandy merupakan salah satu dari para cogan sekolah. Parasnya yang tampan, hidungnya mancung, dan ditambah hiasan lesung pipit di kedua pipinya.

Sungguh sempurna ciptaan Tuhan. Perempuan mana yang tak tertarik saat melihatnya?

Ada, Shania orangnya. Perempuan di hadapannya itu.

Shania sama sekali tidak tertarik kepada Sandy. Bukan hanya Sandy, namun ia terlihat menjauhi diri dari semua lelaki yang ingin mendekatinya.

Sandy sendiri sebenarnya bingung terhadap sikap aneh perempuan di depannya ini.

Tetapi menurut Sandy, perempuan ini tidak aneh. Baginya, Shania hanya perempuan cantik yang ingin menjaga dirinya dari para lelaki.

Ah, Shania ....

Sandy memikirkan Shania dalam hati. Lalu senyum-senyum sendiri.

"Gak mau," tolak Shania.

"Shan, harus mau bareng gua pokoknya." Sandy mengambil kunci mobilnya di dalam tas. "Gua ambil mobil di parkiran dulu, ya. Lo tunggu di gerbang, oke?" pinta Sandy.

Shania hanya menatap Sandy sekilas, lalu berjalan cepat menuju gerbang. Ia harus mengembalikan kunci ruang musik kepada Pak Bondan --satpam sekaligus penjaga sekolah SMA Cendana.

"Eh, Neng Shania teh, mau pulang hujan-hujan begini?" tanya Pak Bondan, setelah Shania menyerahkan kunci.

"Hm," jawab Shania singkat sambil mengangguk, lalu langsung berlari menerobos hujan, menuju halte yang berada di ujung jalan.

Tak perduli dengan Sandy yang menyuruhnya untuk menunggu. Dia sudah bilang, dia tidak mau.

Pak Bondan yang sudah tahu sifat Shania yang memang dingin itu hanya mengedikkan bahunya, lalu masuk kembali ke dalam pos satpam.

***

Shania sampai ke rumah dengan keadaan basah kuyup. Dia memang naik bus tadi, lalu harus berjalan masuk ke komplek agar sampai ke rumahnya. Alhasil, bajunya basah.

Dia tadi meninggalkan Sandy, yang mungkin sedang sibuk mencarinya di gerbang.

Tapi, masa bodo. Shania sama sekali tidak perduli.

Langit sudah semakin gelap dan hujan yang turun semakin deras, Shania makin menggigil kedinginan di luar. Ia mengetuk pintu rumahnya dengan keras, harap-harap ada yang membuka pintunya dengan cepat.

Terdengar suara pintu terbuka, ternyata kakaknya yang membuka pintu.

Tumben mau bukain pintu, sinis Shania dalam hati.

Laki-laki bermata hitam tajam di depannya itu, hanya menampakan wajah datar. Lalu lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada dan mengangkat sebelah alisnya, "Dari mana, hm?" tanya Alfa.

Shania langsung masuk ke dalam rumah dan berjalan ke arah kamarnya, tanpa memerdulikan pertanyaan dari kakaknya itu.

Namun, tak masalah bagi Alfa, ia hanya mengangkat bahu acuh, sambil menutup pintu rumah.

Hubungan keluarga mereka memang sedang dingin. Semenjak beberapa kejadian dalam keluarga mereka terjadi. Kehilangan yang membuat suasana menjadi seperti ini.

Perempuan berambut panjang berwarna hitam lebat itu, baru saja keluar dari kamar mandi. Ia barusan berendam dengan air hangat. Mukanya pucat pasi, matanya sayu, badannya panas.

Dia demam, sepertinya.

"Ma ... dingin," ucapnya pelan sambil memeluk dirinya sendiri, lalu ia membaringkan diri di kasur dan membalut badannya dengan selimut.

"Ma, Luna butuh mama ... Luna sakit, ma," racaunya sambil memejamkan mata.

Ia butuh tidur, tapi rasa sakit di kepalanya semakin terasa saat ia memejamkan matanya. Namun, untuk membuka mata pun rasanya ia tak sanggup lagi.

Tok ... tok ... tok.

Seseorang mengetuk pintu kamar Shania. "Non Luna, makan malam sudah siap. Den Alfa sudah menunggu," ujar Bi Ratih, asisten rumah tangga di rumah itu.

"Luna gak mau makan, Bi. Luna lagi gak enak badan," jawab Shania dengan suara serak, khas orang sakit.

Luna adalah nama panggilan untuk Shania di keluarganya. Setiap orang punya nama panggilan yang berbeda-beda, bukan?

"Aduh ... Non sakit? Bibi masuk, ya, Non," ujar Bi Ratih dari depan pintu kamar Shania dengan cemas.

"Gak usah. Jangan masuk," larang Shania.

"Ya ... ya udah, Non. Kalo ada apa-apa, bilang ya, Non." Shania menangkap sebuah ketulusan, yang selama ini jarang ia temukan.

Bi Ratih sudah menjadi asisten rumah tangga sejak Shania duduk dibangku SD. Bi Ratih juga sudah tahu sifat-sifat dan perubahan pada diri Shania, dan bagi Shania, Bi Ratih adalah orang yang paling ia percaya setelah ibunya.

***

Jam sudah menunjukan pukul sebelas lewat dua puluh menit, Shania tidak keluar dari kamarnya dari tadi. Mau tidurpun tidak bisa. Kepalanya terasa berat, perutnya keroncongan. Fix! Dia sepertinya akan mati sebentar lagi.

Ia ingat, dulu ibunya pernah berkata, bahwa tidak ada siapapun yang bisa menolong diri kita selain kita sendiri. Jadi, ia akan menolong dirinya sendiri saat ini.

Badan, tolong jangan manja! Shania mengumpat dalam hati.

Shania berjalan ke dapur, menghidupkan lampu dan mengambil makanan yang masih ada di meja makan, lalu makan dengan pelan.

Hanya dentingan suara sendok dan garpu yang terdengar.

Shania makan dengan tidak nikmat, makanan apapun yang masuk di mulutnya terasa tidak enak. Minum pun rasanya pahit.

Shania makan hanya beberapa suapan saja, -yang sekiranya mampu membuat perutnya tidak kosong.

Dia kembali ke kamarnya yang berada di lantai atas. Berjalan dengan pelan, sakit di kepalanya masih terasa.

Shania butuh ... obat.

Tapi, dia tidak tau di mana tempat persediaan obat di rumahnya.

Jadi, Shania harus menahan rasa sakitnya hingga esok. Mungkin ia bisa minta tolong Bi Ratih.

Shania membuka pintu kamarnya. Tidak langsung tidur, tapi dia mencari keberadaan handphone-nya.

Mungkin di tas, pikirnya dalam hati.

Masih dengan keadaan pusing, dia mencari handphone-nya di dalam tas.

Setelah ketemu dengan iPhone seri 5s black-nya di tas, Shania langsung menghidupkan daya, setelah seharian dia tidak menghidupkan handphone-nya itu.

Beberapa notification masuk.

Tapi, hanya WhatsApp dari ayahnya yang menanyakan kabar.

"Masih inget, huh?" sarkasnya.

Ayahnya memang jarang pulang ke rumah. Kerjanya ya, kerja, kerja, kerja.

Shania jadi sebal sendiri terhadap ayahnya. Padahal ia tahu, mengerti dan paham kenapa ayahnya begitu.

Lalu, ada pesan masuk dari line.

Langsung saja Shania buka. Ternyata pesan itu dari Sandy.

Sandy C. 19.25
Yaudah, good night Shan :) (6)

Line Today 17.33
Lihat beberapa kejadian terbaru di Indonesia... (23)

Enam pesan baru dari Sandy, tapi Shania hanya menghiraukannya.

Ia kembali mencoba tidur, dan kali ini ia bisa tidur dengan sedikit nyenyak.

Entah kenapa, hatinya sedikit menghangat melihat lelaki itu berjuang untuknya. Hanya sedikit.

Tapi entahlah, Shania tidak perduli dengan perasaannya sendiri. []

***
A/n

H a i!

Beberapa minggu dipendam.

Hope u like it :)





Bkl, 22 juli 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro