Bagian Tujuh Belas:: Jatuh?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis bermata cokelat terang itu membuka matanya perlahan, iris matanya menatap sekitar yang sudah gelap. Dia memegang pergelangan tangannya yang terasa sakit, punggungnya juga terasa pedih.

Hal-hal itu memang sering terjadi kepadanya. Sudah terlalu lama kakaknya itu selalu menjadi penyebab sakit batin dan fisiknya selama ini. Bahkan menjadi penyebab dari dinginnya Shania saat ini.

Rumahnya gelap, mungkin hari sudah mulai malam. Sesegera mungkin Shania mencoba berdiri untuk menghidupkan lampu.

Shania berdiri, kemudian menurunkan rok sekolahnya yang sedikit terangkat, mungkin karena dia tidur di sofa ruang keluarga. Oh, jangan lupakan dirinya yang sekarang masih mengenakan seragam sekolahnya.

Apa? Tidur di sofa?

Shania mengerjapkan matanya. Bukannya dia tadi sedang bertengkar dengan Alfa, kemudian dia menangis di lantai ruang tamu, dan kemudian Sandy datang dan-oh dia baru ingat.

Perempuan itu segera melangkahkan kakinya menuju depan rumahnya.

Pintunya masih terbuka, namun lampu ruang tamu dan terasnya sudah dihidupkan.

"Sandy?" panggil Shania.

Lelaki yang sedang duduk di kursi teras itu melepas pandangan dari ponselnya kemudian menatap ke arah Shania yang tadi memanggilnya.

"Eh, iya, Shan?"

Shania hanya diam, dia tak tahu mau berbicara apa. Namun dia tiba-tiba duduk di kursi sebelah lelaki berlesung pipi itu.

"Eh itu, sori tadi gue ngidupin lampu teras sama lampu ruang tamu lo, soalnya gelap banget, terus tadi bingung saklarnya di mana, eh gak taunya di dinding pojok," cerocos Sandy sambil menatap wajah ayu Shania di sebelahnya.

"Gak papa," balas Shania dengan aksen suara datar khas dirinya.

"Tadi gue ke sini mau balikin hape lo, terus tadi pas abis nangis 'kan, lo tidur. Jadi gue tungguin di teras, takutnya nanti ada apa-apa." Sandy masih berbicara dengan panjang.

Shania menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Iya."

"Di rumah lo gak ada orang, ya?" tanya Sandy penasaran, walaupun dia tahu bahwa sedari tadi memang tak ada orang.

"Ada," balas Shania.

"Eh? Siapa?" Sandy terbelalak kaget.

"Gue."

Sandy menyipitkan matanya sebal. "Iya tau kalo itu mah," ucap Sandy.

"Pulang sana," usir Shania dengan nada suara santai.

"Ngusir banget, sih."

"Iya."

Sandy berdiri. "Lo gak papa, nih, gue balik?" tanya Sandy.

Shania mengangguk pelan. "Hm."

"Lo gak mandi dulu? Biar gue tungguin, ntar ada apa-apa pas gue tinggal."

Shania mendengus, "Pulang aja."

"Ya udah. Gue pulang, nih."

Shania lagi-lagi mengangguk. Kemudian Sandy melangkahkan kakinya untuk berjalan menuju mobil. Dia belum mandi, belum salat dan belum makan malam. Tapi kondisinya bahkan jauh lebih baik daripada Shania saat ini.

Oh iya!

Sandy memutar badannya seratus delapan puluh derajat.

"Shan!" panggilnya dengan sedikit gugup.

Shania yang hendak berjalan memasuki rumahnya kemudian berbalik badan. "Ya?" balasnya sambil menaikkan sedikit alisnya.

Sandy maju beberapa langkah. "Besok pagi ... gue jemput, ya?" ucapnya dengan gugup yang terpancar dari nada bicaranya.

Perempuan itu terdiam sejenak sambil mengerutkan dahinya. "Gak usah, thanks."

Shania tidak ingin dijemput oleh siapapun untuk saat ini. Bukannya dia sombong atau apa, tapi memang bagi Shania, jika hal-hal kecil itu tidak perlu maka tidak usah dilakukan. Kalau dia masih bisa sendiri, kenapa harus ada bantuan orang lain?

"Emm ... ya udah, deh," Sandy menghela napas pelan kemudian tersenyum manis hingga menampakkan lesung pipinya. "See you, Shan."

Shania membalas dengan anggukan. Kemudian Sandy berjalan meninggalkannya.

Darahnya berdesir, jantungnya berdetak, sampai-sampai Shania memegang dadanya sendiri untuk memastikan sesuatu.

Ini kacau.

Shania hampir saja terjatuh karena lelaki itu.

Atau bahkan ... sudah terjatuh.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro