19. Melodi: Hidup

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jika kita tidak bertarung, kita tidak bisa menang."

Attack On Titan — Eren Yeager

"Mel!" Ary berseru di sela napasnya yang terlihat ngos-ngosan.

Kedatangan Ary memicu sesuatu yang aneh bagi jantungku. Seperti tidak ingin berhenti berdebar-debar kencang. Angin sore membelai rambutku, menari-nari diterbangkan dengan pelan. Semburat lembayung yang mulai tampak di langit menyinari pucuk-pucuk daun. Membias dengan indah dan mengilap. Menjadi saksi bahwa sekarang keputusanku untuk menunggu Ary tidak sia-sia.

Aku tetaplah Melodi yang tidak gampang bertindak dan sukar berbicara. Jadi, ketika ingin meminta bertemu atau berbicara dengan Ary, aku tidak memiliki keberanian. Hanya mampu melakukan apa yang menurutku harus kulakukan. Tadinya kupikir Ary tidak akan muncul, tetapi ternyata sebaliknya.

"Belum pulang?" tanya Ary sedikit dibarengi gelagat canggung.

Baru pertama kali aku melihatnya tampak secanggung itu. Aku mengangguk sebagai jawaban. Seluruh kata-kataku seperti hilang dalam sekejap. Padahal aku sudah mempersiapkan diri untuk meminta maaf padanya. Semalaman aku berlatih, tetapi begitu berhadapan langsung aku malah membisu.

Ary juga kelihatan kikuk. Dia hanya mengangguk sekenanya, lalu kami dipeluk hening. Aku menoleh ke sana kemari, hanya agar tidak menatap cowok di depanku.  Ini hal konyol pertama yang aku lakukan demi seorang cowok, demi seorang Ary, aku menunggu sampai sore. Untung saja sudah keberitahu Bapak kalau aku ingin jujur pada Ary tentang tab itu.

"Mau balik sekarang?" tanya Ary, lagi.

Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mengangguk. Ary malah tergelak membuatku membulatkan mata. Kupikir Ary akan marah karena sikapku dan mendadak memintanya berhenti mendekat. Salah, Melodi ... Ary tetaplah Banyu Ashari yang ceria.

Cowok itu kemudian mendekat dan meraih stang sepedaku. "Aku antar kalau gitu," kata Ary saat tawa reda dari bibirnya.

"Apa yang lucu?"

"Tingkahmu." Ary menjawab dengan cepat seraya berjalan menggerus sepeda. Aku berjalan di sisi kirimu. "Masih saja pelit bicara. Kita ini teman. Sering-seringlah bicara padaku."

"Hm, iya."

Jawaban super pendek yang kulayangkan membuat Ary terkekeh pelan. Kami kemudian keluar dari halaman sekolah dan berjalan di trotoar. Padahal ada sepeda, tetapi tidak kami naiki.

Mendadak saja kami diburu aksi diam-diaman lagi. Pikiranku terlalu penuh sampai-sampai kesulitan menemuka kalimat yang tepat untuk memulai pembicaraan. Pada saat ini yang aku lakukan hanya berjalan di samping Ary seraya menunduk memperhatikan langkahku. Juga menggenggam kedua tali tas ransel untuk mencari keberanian.

Langkah kaki Ary kemudian terhenti. "Mel, aku haus. Ayo, minum dulu di sana!" Ary menunjuk sebuah kedai es teh yang tidak jauh dari sebuah minimarket.

Lagi-lagi perkataannya kubalas dengan anggukan. Kami berjalan bersama ke arah kedai dan memarkirkan sepeda. Ary memesan dua gelas es teh, lalu berlari kecil menghampiriku yang duduk di kursi besi dengan meja bundar dan berkanopi payung besar berwarna-warni.

"Boleh pinjam diari kamu?" tanya Ary sesaat setelah duduk.

Pertanyaannya membuat kedua alisku bertaut heran. Namun, aku tidak punya alasan untuk menolak. Sebab, benda itu selalu kubawa ke mana-mana. Aku langsung mengeluarkannya dan memberikan pada Ary. Bertepatan dengan itu, pesanan kami datang.

"Minum dulu," katanya mempersilakan. Sementara dia sibuk menulis sesuatu di sana.

Beberapa detik berikutnya, gantian Ary yang minum dan menyodorkan buku diari yang terbuka. Ada tulisan tangan Ary di lembar yang sempat kosong. Sudah lama sekali kami tidak berbagi cerita lewat buku itu. Aku meraihnya.

Melodiary,

"Kenapa, Mel? Mau cerita?"

Ry, 2017.

Aku mengejap saat membaca kalimat yang tertulis di sana. Walaupun itu hanya pertanyaan, tetapi perasaanku langsung dibuat nyeri. Beberapa hari ini aku melewati banyak hal tanpa bercerita pada Ary. Dia tidak tahu apa pun yang menimpaku. Bahkan tentang tindakan ibu yang telah melampiaskan kemarahan dengan cara merusak tab milik cowok di depanku ini.

"Melodiary?" gumanku.

Ary mengangguk takzim sambil menggigit sedotan. "Kamu keberatan nggak? Soalnya buku diari milikmu sekarang udah nggak dipakai kamu aja, tapi aku juga."

Kedua sudut bibirku terangkat sesaat. Jadi maksudnya ... Melodi dan Ary? Aku terkekeh pelan.

"Kubilang juga apa, sering-seringlah tertawa. Kamu cantik kalau tertawa, Mel." Ary menambahkan lagi.

Seketika senyumku hilang karena dipergoki olehnya. Tingkahku yang canggung malah membuat Ary tertawa untuk ke sekian kali. Dia memang selalu mudah tertawa.

Tanpa mau berlama-lama lagi, aku mengeluarkan tab dan stylush pen milik Ary. Ia tampak kaget saat melihat layar benda itu retak. Aku menunduk dalam-dalam, merasa sangat bersalah. Tak bertanggung jawab sama sekali. Bukankah seharusnya aku lebih bisa menjaga benda itu?

"Maaf, Ary. Aku nggak bisa menjaganya, tapi aku akan mengganti biaya perbaikan tab ini," ungkapku.

"Kamu baik-baik aja, 'kan, Mel?"

Eh? Aku mengangkat wajah, menatapnya dengan heran. Bukankah seharusnya Ary marah, lalu mencemaskan benda itu? Jelas-jelas harganya pasti mahal. Belum lagi itu adalah benda berharga yang ingin Ary hadiahkan untuk Biru, sahabatnya.

"Akhir-akhir ini kamu menjauhiku. Kupikir pasti ada hal besar yang terjadi. Ternyata gara-gara ini, ya? Baik. Kesampingkan dulu tentang ini. Sekarang gimana denganmu? Apa kamu baik-baik aja?" tanya Ary, lagi.

"Ary ...." Aku menghela napas sesaat. "Apa itu penting? Aku merusak benda yang kamu pinjamkan. Ini pasti mahal dan seharusnya kamu marah. Aku minta maaf dan akan kuganti biaya perbaikannya."

"Iya, gantilah dengan kembali belajar di tempat Mas Arun."

Perkataan Ary membuatku terkesiap. "Aku nggak yakin."

"Mel, ada apa sebenarnya? Mas Arun sampai chat aku dan nanyain kamu terus."

Dengan satu tarikan napas untuk mencari keberanian, aku mulai menceritakan semuanya pada Ary. Terkecuali bagian ketika aku berlari ke jalan raya dan berpikir ingin mengakhiri hidup. Seperti biasa, Ary selalu mendengarkan dengan saksama. Kedua matanya tidak beralih dariku ketika aku berbicara. Dia tidak sibuk dengan benda apa pun, seakan-akan hanya ingin fokus padaku saja.

Ary mengangguk-angguk paham. "Jadi, sekarang gimana dengan ibumu? Kalian baikan? Itu yang penting. Benda ini bisa diservis lagi. Tenang saja." Ia menunjuk tab di atas meja.

"Iya, aku dan ibu sudah saling meminta maaf. Ibu juga sekarang sudah mulai bekerja. Bapak ...," kataku memberi jeda sesaat. "Ary, bapak berterima kasih atas saran kamu. Sekarang bapak bisa punya banyak pelanggan. Terima kasih."

Senyum Ary langsung merekah lebar. "Syukurlah. Aku lega mendengarnya. Kubilang apa? Kalau kita tidak berjuang, kita tidak akan bisa bertahan. Kamu mau kembali belajar dengan teman-teman di komunitas, 'kan?"

Aku mengangguk takzim. "Aku nggak tau keputusan ini tepat atau nggak, tapi aku akan berusaha. Bapak dan ibu memberiku kesempatan."

"Bagus, Mel! Aku akan mendukung penuh keputusanmu."

Wajah Ary terlihat sangat antusias. Senyumnya selalu menular padaku. Entah aku ikut tersenyum atau perasaanku yang berangsur lega. Akan kurekam wajah bahagia Ary dan menyimpannya dengan baik-baik dalam memoriku.

Jika bukan karena Ary juga, aku mungkin tidak akan menjadi Melodi yang sekarang, bukan?

"Kamu juga, Ary. Jangan berhenti," kataku, "lakukan apa yang kamu suka."

Kemudian Ary bercerita tentang apa yang terjadi di kolam renang tadi sebelum menemuiku. "Pasti, Mel. Tapi, aku akan mencobanya pelan-pelan. Kamu ... tetaplah hidup, untuk hal sekecil apa pun yang membuatmu tersenyum."

Ucapannya membuatku tersentak. Seakan-akan dia bisa menebak bahwa aku pernah begitu putus asa sampai ingin meninggalkan dunia ini.

MELODIARY

Melodiary,

"Kenapa, Mel? Mau cerita?" Itu pertanyaan Ry, tapi rasanya seperti seseorang tengah memelukku erat-erat.

Mel, 2017.

Kalimat ini mungkin tidak akan pernah dibaca oleh Ary. Aku memutuskan untuk tidak membawa buku diari lagi ke sekolah. Lagi pula, kami bisa berkomunikasi lewat ponsel sekarang. Tadi sore Ary meminta kontakku setelah sekian lama kami bertemu dan sekarang me jadi teman.

Aku tidak pernah sebahagia ini. Entah karena apa? Mungkinkah karena sisa hari ini aku melewatinya dengan Ary. Kami berbaikan lagi dan Ary memaafkan aku atas semuanya. Bukankah dia terlalu baik? Bahkan tab yang retak dibawa pulang oleh Ary dan bersikeras akan memperbaikinya.

Kata Ary tadi sore, "Fokus saja belajar mengasah bakatmu. Jangan pikirkan tentang tab ini. Besok kembalilah ke tempat Mas Arun."

Ingatanku tidak henti memikirkan perkataan Ary. Tekad dan kepercayaan diriku kembali karena dukungan Ary. Ponsel yang sedang aku dekap tiba-tiba bergetar. Pesan masuk terlihat dari Ary.

Banyu Ashari: Mel, sudah tidur? Aku susah tidur, nih. Mau mengobrol denganku? Lewat chat pun nggak apa-apa.

Aku hendak mengetik pesan balasan. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan Imel kecil muncul dari sana.

"Kak Mel, ada apa? Kenapa Kak Mel senyum-senyum sendiri?" tanya anak kecil itu.

Aku beranjak dari kasur. "Saat remaja nanti, kamu akan mengerti."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro