It's My Time

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semua orang sudah membuktikan diri
Kapan giliranku?

🎼🎼🎼

“Kayaknya ada hal yang perlu kita luruskan dulu,” kata Randhi yang diangguki Rhiana.
Kedua kembar itu masing-masing mengambil kursi dan duduk di atasnya. Mereka mempersilakanku untuk mengambil kursi.

Aku yang merasakan tidak adanya aura perdebatan memilih untuk mengikuti intruksi mereka beruda. Kuambil satu kursi yang terdekat dan duduk.

Randhi mengambil napas panjang lalu berkata, “Gue justru sangat menghindari hal yang lo ucapkan tadi.”

“Maaf?” Aku sama sekali belum mengerti arah pembicaraan ini. Bukankah mereka tadi hendak meluruskan satu hal.

“Jadi, hal yang mau kita berdua luruskan adalah, kita nggak mau bergantung sama keluarga.” Rhiana menatapku yang masih terlihat bingung. “Maksudku, kita nggak mau dikenal orang hanya sebatas bagian dari sesuatu.”

Aku masih belum bisa mencerna apa yang dimaksud oleh Rhiana. Kulihat dia memahami kebingungan yang ditunjukkan wajahku. Untuk kali ini aku tidak bisa mempertahankan wajah tenangku.

“Gini, deh, Tar. Eh gue panggil lo Tara aja, ya?” Aku mengangguk. Kemudian dia melanjutkan penjelasannya. “Lo suka nggak kalo dikit-dikit orang bawa nama Tranggana di setiap urusan lo?”

Aku langsung menggeleng cepat, tapi langsung diam. Menyesali tindakan spontanku.

“Nggak usah malu-malu. Karena itu juga yang gue rasain sama kakak gue ini,” kata Rhiana sambil menunjuk Randhi yang hanya cengengesan.

“Makanya gue paling anti banget ngenalin diri pake nama Anggara. Itu nama bokap.”

Aku masih menunggu penjelasan lebih lanjut dari Rhiana. Rasanya jauh lebih baik mendengarkan dia dibanding Randhi yang sering menyelanya.

“Kebanyakan orang bakalan ngomong hal yang sama kayak lo tadi?”

“Oh, ya?” Aku merasa tidak salah bicara. Atau memang tadi aku sudah menyinggung hal yang sensitif.

“Lo ternyata setipe sama kakak gue. Punya ingatan jangka pendek. Lo tadi ngomong, kenapa kita berdua nggak ngeluarin album lewat bokap kita. Inget?”

Ahh, aku mengangguk mengingat hal itu. Dan baru kusadari bahwa aku sudah bersikap sama seperti si siswi di kantin tadi.

Ah, sorry. I don’t mean it.”

“Tenang aja. Kemungkinan lo bersikap kayak tadi sebagai bentuk pertahanan diri lo!” Randhi mengibaskan tangan tak ambil peduli. “Lagipula, seperti yang adik gue bilang. Hampir semua orang akan berpikir seperti itu.” Lanjutnya.

“Lo sendiri mungkin mengerti posisi kita. Lo nggak suka orang menyangkut-pautkan diri lo sama Tranggana. Begitu juga, kita berdua. Kita nggak suka kalau kita tampil lalu dianggap biasa aja karena kedua orangtua kita.”

Pelan aku mengangguk memahami kalimat Rhiana. Setidaknya mereka berdua tidak jauh berbeda denganku. Sama-sama membenci perhatian publik karena latar belakang keluarga kami. Sejenak aku kembali mengingat malam ulang tahun Eyang. Saat itu semua anggota keluarga Tranggana berkumpul.

Sebagai yang termuda, aku hanya bisa mengamati. Semua sepupuku sudah bekerja. Akulah satu-satunya cucu Eyang Putri Nastiti yang masih mengenyam pendidikan di pendidikan dasar.

Mas Jagad, sebagai cucu tertua sudah lama berkecimpung di Tranggana Tekstil. Mas Angga sudah punya butik sendiri. Mbak Zana ikut bekerja di perusahaan bareng Pakde Endras.

Sementara itu, Mbak Savita dan Mbak Renata sama-sama sedang menyelesaikan S-2 di Singapura. Tidak jauh berbeda, Mas Awan, kakak pertamaku, yang baru pulang dari Australia juga baru menyelesaiakan pendidikan S-2.

Mbak Arumi saja yang terkenal selalu pulang malam dan sering terlihat di pub, adalah seorang arsitek yang andal. Pernah sekali kulihat hasil arsirannya yang luar biasa.
Mbak Lyra, anak Pakde Omar yang baru saja diperkenalkan di malam ulang tahun Eyang kemaren, ternyata seorang peneliti dan desainer pakaian yang andal. Aku bahkan baru mengetahui bahwa brokat biru yang dikenakannya malam itu adalah hasil jahitannya sendiri. Ah, aku merasa semakin tidak berarti.

Mbak Rara saja, walaupun baru tersangkut kasus yang memalukan, sebenarnya meraih cumlaude dalam pendidikan S1-nya.

Sembilan orang itu semuanya berhasil menunjukkan eksistensi mereka. Sementara aku masih saja berkutat dalam pengawasan Mami. Tidak salah juga jika banyak yang berpikir bahwa kelak aku akan memiliki profesi yang tidak jauh dari masalah kapas dan kain.

Namun, sesungguhnya aku sama sekali tidak pernah tertarik dengan semua hal itu. Aku bosan mendengar itu. Setiap pertemuan keluarga Tranggana, yang dibicarakan selalu tentang kain dan kain. Kalau tidak tentang kain, pasti tentang couture yang sedang in.

Ditambah aku sama sekali tidak memiliki prestasi di bidang akademik. Jauh berbeda dengan semua sepupuku. Aku malah berharap tidak perlu melanjutkan S1.

“Sebenarnya gue tertarik banget sama dunia musik. Asal lo tahu, bokap gue tuh idola gue,” Randhi memecahkan lamunanku.

“Nggak usah banyak omong, deh, Dhi,” sela Rhiana.

“Loh, kenapa? Itu kenyataan. Ngeliat gimana bokap gue kerja, bikin gue ngeliat dunia musik itu sebagai dunia ajaib.”

“Terus kenapa kamu sekarang malah bikin band sendiri,” tanyaku.

“Masalahnya adalah, orang-orang nggak menganggap apa yang gue lakuin sebagai kemampuan gue. Kalau misalkan gue main piano, orang bakalan bilang ‘wajarlah bapakya kan musisi’.”

“Begitu juga gue.” Rhiana menyela perkataan Randhi. “Lo tau, nggak, sih? Banyak orang nyuruh gue sekolah vokal, padahal suara gue kayak kaleng rombeng. Nyebelin, deh.”

Aku tertawa mendengar perempuan di depanku menyamakan suaranya seperti kaleng rombeng.

“Itu kenyataan, Tar. Gue sadar diri kok sama kemampuan gue. Sementara lo. Lo punya suara yang bisa bikin orang noleh dua kali.”

“Nggak usah berlebihan.” Aku merasa dia terlalu berlebihan memujiku.

“Udahlah, to the point aja. Lo mau kan jadi vokalis di band kami?”

Aku menatap keseriusan dua kakak beradik di hadapanku. Sejenak aku memalingkan wajah. Aku menatap pantulan wajahku di salah satu jendela.

Mungkin ini saatnya aku berdiri sebagai diriku.

🎶16.10.21🎶

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro