Dua Puluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

BI, gue udah di Indo nih. Ketemuan yuk! Ini nomer gue yang baru. Lo save ya.

Senyumku langsung merekah saat membaca surel itu. Sunny, satu-satunya teman dekatku akhirnya pulang ke tanah air setelah menyelesaikan pendidikan dan bekerja di luar negeri. Kami bersekolah di tempat yang sama sejak SD sampai SMA. Kami juga kuliah di universitas yang sama meskipun fakultasnya berbeda. Setelah menyelesaikan S1, Sunny mendapat beasiswa dan melanjutkan S2 di Italia.

Komunikasi kami tidak intens setelah dia berada di luar negeri karena perbedaan waktu, kesibukan masing-masing, dan tentu saja karena aku tidak punya akses wifi atau paket data yang banyak supaya bisa video call ketika sedang senggang.

Aku menyimpan nomor baru Sunny dan membalas pesannya melalui ponsel. Kalau tidak sedang berada di ruang rapat bersama Pak Rigen dan rekan-rekan lain, aku pasti sudah menelepon, tidak sekadar mengirimkan pesan.

Kapan? Gue bisa kapan aja setelah jam kantor. Weekend juga gue bebas.

Weekend deh, Bi. Biar puas ngobrolnya. Gue juga harus ngantor. Mau ketemuan di mana?

Aku tidak mungkin mengajak Sunny ke rumah Nawasena.

Di tempat lo aja, gimana?

Oke. Sekalian lo bantuin gue beres-beres apartemen. Hehehe... Gue baru pindah dua hari lalu dan belum sempat beberes karena langsung melapor ke kantor di sini.

Setelah menyelesaikan S2, Sunny langsung diterima di perusahaan Italia yang memberinya beasiswa itu. Aku menyangka dia akan selamanya tinggal di sana, tidak lagi kembali ke Indonesia. Mungkin hal itu juga yang membuat komunikasi kami makin renggang.

Gue lanjut meeting dulu ya. Pulang kantor, gue telepon.

Oke. Ajak Asya kesayangan gue. Kangen banget sama dia!

Aku meletakkan ponsel di atas meja dan berusaha mengembalikan fokus mendengarkan Pak Rigen yang sedang bicara. Senyumku tak putus. Rasanya tidak sabar menunggu weekend tiba.

"Happy banget," bisik Wika yang duduk di sebelahku setelah Pak Rigen menutup rapat. Dia pasti melihat aku senyum-senyum sendiri saat berbalas pesan dengan Sunny. "Gebetan atau udah jadi pacar?"

"Teman, Mbak," elakku. "Cewek kok."

"Lo beneran belum punya pacar?" tanya Wika.

Tentu saja aku tidak menceritakan kisah hidupku yang suram pada teman-teman kantorku. Aku tidak perlu dikasihani. Masa sih aku harus mengakui orang yang pura-pura tidak mengenalku di depan bosku sebagai suami?

Aku juga melepas cincin yang diberikan ibu Nawasena karena takut menghilangkannya. Cincin dengan permata berlian seperti itu jauh lebih mahal daripada nyawaku. Kilau berlian bisa mengundang perampok. Bagus kalau hanya cincinku yang diambil. Tapi kalau nyawaku ikut melayang, siapa yang akan menjaga Asya?

"Pak Rigen masih bisa digebet tuh kalau lo emang belum punya pacar." Wika tidak menungguku menjawab. "Calon ideal tuh, Bi. Cakep, bodi atletis, baik hati, dan mapan. Dia kan jadi bujangan paling diburu di kantor kita."

Aku membelalak. "Masa mau ngegebet bos sendiri sih, Mbak?"

"Kenapa enggak? Mungkin aja jodoh, kan?"

Aku buru-buru menggeleng. "Enggak ah, Mbak. Jangan diomongin lagi. Nggak enak kalau didengar Pak Rigen."

"Nggak apa-apa. Kelihatannya Pak Rigen juga tertarik sama elo tuh. Dia lumayan sering ngajakin makan siang, kan?"

"Basa basi, Mbak," jawabku cepat. Pak Rigen harus melewati kubikelku saat hendak keluar. Wajar kalau dia berbasa basi mengajak. Aku juga tidak pernah mengiakan. Aku akan ikut bersamanya kalau memang ada hubungannya dengan pekerjaan, atau beramai-ramai dengan teman kantor lain.

Wika terkikik. "Yaelah, lo aja tuh yang nggak peka. Gue sama teman-teman lain yang udah bertahun-tahun kerja di sini, sejak zaman masih jomlo sampai udah punya gandengan hanya diajakin makan kalau emang keluar bareng pas ada kerjaan. Basa basi kok tiap hari sih?"

Wika berlebihan. Tidak tiap hari juga Pak Rigen berbasa basi menawarkan makan bersama. Dia tahu aku membawa bekal dari rumah sehingga hanya makan di luar ketika ada acara kantor.

"Mbak, sssttt... jangan membahas itu lagi dong!" kataku panik saat melihat Pak Rigen yang tadi sudah keluar ruang rapat, masuk lagi. "Saya udah punya pacar kok." Kalau aku mengaku sudah punya pasangan, Wika pasti tidak akan membahas Pak Rigen lagi.

Tawa Wika meledak. "Makanya, ngaku dong dari tadi kalau udah punya pacar. Nggak usah bilang chat sama teman perempuan."

"Siapa yang udah punya pacar?" tanya Pak Rigen sambil berjalan ke ujung meja, tempatnya tadi duduk memimpin rapat. Dia mengambil berkasnya yang ternyata ketinggalan di atas meja.

"Febi akhirnya ngaku kalau dia sudah punya pacar, Pak," sahut Wika di antara derai tawanya. "Padahal tadi saya nawarin dia bergabung dalam barisan cewek penggemar Pak Rigen. Ternyata Pak Rigen belum beruntung."

Candaan Wika benar-benar di luar dugaanku. Pak Rigen memang kerap bercanda saat kami tidak sedang membahas pekerjaan, tapi aku tidak menyangka Wika akan sefrontal itu. Aku pasti sudah tampak pucat.

Pak Rigen tersenyum. "Orang yang udah nikah aja bisa cerai, apalagi yang baru pacaran," balasnya pada candaan Wika. "Kamu pasti udah pernah putus sama pacarmu yang lain sebelum akhirnya bertunangan, kan?"

Wika menyeringai lebar. "Tiga kali, Pak."

"Nah, kan! Pacaran itu proses untuk mengetahui kecocokan. Penjajakan. Menurut statistik, kemungkinan putusnya jauh lebih besar daripada peluangnya lanjut sampai jenjang pernikahan. Sa—" kalimat Pak Rigen dijeda oleh dering ponselnya. Dia beralih pada benda itu. "Baik, Pak. Saya segera ke ruangan Bapak." Dia menunjuk keluar ruangan dan bergegas pergi.

Aku menarik napas lega.

"Gue bilang juga apa!" seru Wika. "Pak Rigen tuh tertarik sama elo, Bi. Dengar apa yang dia bilang tadi, kan?"

Pak Rigen tidak bicara soal ketertarikan. Dia membahas peluang hubungan pacaran yang kemungkinan putusnya lebih besar daripada berakhir pada ikrar pernikahan.

Aku mengangkat catatanku. "Saya mau bikin teh di pantri. Mbak Wika mau biar sekalian?" Lebih baik memutus percakapan yang tidak masuk akal tentang Pak Rigen.

**

Aku berjingkat meninggalkan ranjang Asya. Dia baru saja tertidur. Asya sudah makan saat aku pulang dari kantor, jadi aku buru-buru mandi supaya bisa berbaring di sisinya untuk mengulang cerita tentang Snow White yang entah sudah berapa ribu kali aku kisahkan untuknya.

Dari kamar Asya aku langsung ke dapur untuk makan malam. Aku lebih suka makan di area dapur daripada di meja makan yang superbesar. Kesannya terlalu resmi.

"Makan sekarang, Mbak?" tanya Mbok Sarti yang masih ada di dapur.

"Iya, Mbok. Lapar banget." Aku sudah sering mengatakan bahwa aku bisa mencari dan memanaskan makanan sendiri, tapi Mbok Sarti dan Bik Ika tidak akan masuk kamar sebelum aku selesai makan malam dan kembali ke kamarku. Aku akhirnya menyerah mengingatkan. Memberikan pelayanan prima mungkin sudah menjadi moto mereka. Aku tidak berhak meminta mereka menurunkan standar. Aku tidak akan menjadi majikan mereka selamanya.

"Ada empal, tahu bacem, dan ayam goreng kesukaan Asya." Mbok Sarti mengeluarkan piring lauk dan meletakkannya di kitchen island di depanku. "Sayur lodehnya juga kesukaan Asya."

Pada dasarnya, makanan yang disajikan Mbok Sarti dan Bik Ika adalah semua makanan kesukaan Asya. Tidak heran kalau adikku itu mengalami kenaikan berat badan yang cukup banyak selama tinggal di sini. Jenis masakan yang sering berulang adalah masakan yang akan dimakan dengan lahap oleh Asya saat disajikan.

"Saya juga suka kok, Mbok."

Warung kecil Nenek menjual berbagai macam lauk dan gorengan, tapi menu daging dan seafood mahal tentu saja tidak masuk dalam daftar. Target pasar Nenek adalah tetangga yang tingkat ekonominya menengah ke bawah. Golongan orang yang menganggap kepiting, udang galah, daging sapi, atau salmon terlalu mewah dan tak terjangkau untuk jadi makanan sehari-hari seperti di rumah Nawasena.

Aku sedang menikmati makan malamku saat mendengar langkah kaki menuju dapur. Itu bukan langkah kaki Bik Ika yang nyaris tak terdengar. Aku memejamkan mata dan berdoa. Tidak, jangan dia. Kalau dia datang, setidaknya tunggu sampai aku selesai makan dan sudah berada di dalam kamarku.

Tapi doaku tentu saja tidak terkabul. Nawasena muncul dan menarik kursi di dekatku.

"Mbok, kopi ya," katanya pada Mbok Sarti.

"Iya, Mas. Nanti saya antar ke ruang kerja Mas Sena."

"Di sini aja."

Aku tidak mau tinggal lebih lama, jadi aku mengunyah cepat-cepat, berusaha memindahkan isi piring ke dalam lambungku secepat yang kubisa. Aku tidak mengangkat kepala sama sekali.

Kenapa Nawasena pulang ke sini di hari Selasa? Tidak biasanya dia datang ke rumah ini dalam jeda waktu yang singkat. Dan kenapa pula di ke dapur? Biasanya dia ke ruang kerja atau kamarnya.

Apakah dia ingin melanjutkan percakapan kami yang kutinggalkan dua hari lalu? Pikiran itu membuatku tersedak. Aku terbatuk-batuk.

"Kamu makan seperti orang kesurupan kayak gitu hanya untuk menghindariku?" Nawasena mendorong gelas minum ke depanku.

Aku buru-buru meraih dan meneguk isinya. "Saya... saya...." Aku tidak tahu hendak mengatakan apa. Nawasena semacam alat pembeku otak untukku. Sering kali, aku akan bertindak dan terlihat tolol di depannya.

Mbok Sarti datang membawa kopi pesanan Nawasena.

Laki-laki itu berdiri dan mengangkat cangkirnya. "Setelah makan, aku tunggu kamu di kamarku." Dia berlalu begitu saja.

Aku kembali terbatuk-batuk.

**

Buat yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah lama tamat. Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro