Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Mbak menur membawa sekotak besar es krim vanila yang disambut Asya dengan sorot mata bahagia.

"Sayang Ebi." Asya memelukku. Artinya adalah: dia minta es krimnya dimakan sekarang.

"Sayang Mbak Menur juga dong," aku mengingatkan sambil tersenyum. "Ini bukan Ebi yang beli, tapi Mbak Menur."

Pandangan Asya tetap tertuju pada kotak es krim, seolah tak mendengar kata-kataku. Aku memutuskan mengambil sendok dan mangkuk kecil. Asya lantas duduk tenang di depan meja, mulai menyuap es krim yang sudah kupisahkan dalam mangkuk. Kotaknya aku masukkan dalam kulkas kecil kami.

"Kondisinya gimana?" tanya Mbak Menur sambil menatap Asya prihatin.

Aku terpaksa menceritakan kondisi Asya kepadanya karena harus berhenti bekerja untuk menemani Asya. Mas Gio menyarankan aku mengambil cuti, tapi aku menolak. Meninggalkan Asya semalaman tidak akan membuat hatiku tenang setelah tahu dia benar-benar menderita penyakit jantung. Dokter anak kardiologi sudah mengonfirmasi hal itu.

Aku tidak terlalu mengerti penjelasannya yang sangat berbau medis, tetapi aku paham bahwa Asya punya masalah dengan irama jantung. Asya akan diberikan obat-obatan untuk mengatasi masalah itu dan terus dipantau perkembangannya. Diharapkan, obat-obatan saja sudah cukup untuk memperbaiki irama jantung Asya. Tapi kalau obat-obatan saja ternyata tidak cukup, Asya perlu menjalani operasi ablasi jantung.

Dokter mengatakan jika operasi itu masuk dalam perlindungan BPJS jika dilakukan sesuai mekanisme yang berlaku, jadi aku tidak perlu memikirkan soal biaya. Dia juga mengatakan jika operasi itu bukan jenis operasi besar. Tingkat kegagalan dan komplikasinya sangat kecil.

Dokternya menjelaskan dengan yakin, tapi karena aku sama sekali tidak paham tentang dunia medis, apalagi prosedur operasi, kedengarannya tetap saja menakutkan. Jantung lho ini. Pusat kehidupan. Tingkat keberhasilan yang tinggi tetap saja memiliki risiko kegagalan. Aku tidak siap menerima risiko itu.

Sekarang, saat melihat Asya asyik menjilati sendok es krimnya, dia tampak begitu sehat. Dia seriang biasa. Tidak ada tanda-tanda dia memiliki masalah dengan jantung. Percakapan dengan dokter jantung yang kulakukan minggu lalu terasa seperti mimpi buruk semata. Tidak nyata.

"Mas Gio tanya, lo nggak mau balik kerja lagi? Banyak pelanggan yang nanyain elo tuh." Mbak Menur mengerling jenaka. "Suasana remang-remang bikin orang yang modal makeup aja udah kelihatan cantik, apalagi lo yang dasarnya udah cantik banget dan nggak pernah aneh-aneh."

Aku menggeleng pasrah. "Saya nggak bisa ninggalin Asya sendirian di rumah, Mbak. Kayaknya saya mau cari kerjaan yang bisa dikerjain di rumah aja deh."

"Kerja apa?"

Itu dia. Pertanyaan Mbak Menur sangat wajar, tetapi sangat menohok. Apa yang bisa aku kerjakan dari rumah dengan dasar ilmu keuangan? Aku punya kemampuan memasak dari Nenek yang membuka warung makan kecil-kecilan, tapi aku tidak punya warung, dan sudah ada beberapa warung makan di gang tempat tinggal kami. Aku juga punya keterampilan menjahit, yang lagi-lagi kupelajari otodidak dari Nenek yang serbabisa, tapi aku baru sebatas menjahit baju sendiri dan Asya. Biasanya modelnya simpel. Lurus-lurus saja, tanpa aksen kerut, menggelembung, dan berbagai ornamen lain. Aku belum pernah menjahit baju untuk orang lain secara penuh. Biasanya aku hanya membantu Nenek menjahit potongan-potongan kain yang sudah digunting sesuai pola. Bagian yang rumit akan dikerjakan Nenek. Aku tidak yakin ada tetangga yang mau menyerahkan kain mereka untuk menjadi kelinci percobaanku. Lagi pula, di zaman sekarang, orang lebih suka membeli baju jadi untuk kemudian dipermak sesuai bentuk tubuh. Aku bisa menjadi tukang permak yang pekerjaannya lebih sederhana itu, tapi hasilnya tidak akan bisa menutupi kebutuhanku dan Asya. Kalau pelangganku banyak, tidak masalah, tapi kalau baru merintis usaha? Memangnya berapa banyak orang di gang ini yang membeli baju setiap hari? Jasa permak baru laris di momen-momen tertentu.

"Belum kepikiran, Mbak," jawabku lesu. Rasanya menyesakkan saat aku sendiri tidak tahu apa yang akan kulakukan untuk menyambung hidup, sementara tabunganku yang sekadarnya terus tergerus. Seandainya saja aku bisa bekerja di luar rumah dengan membawa Asya, itu akan lebih mudah. Tapi mana ada tempat kerja yang mengizinkan pegawainya membawa adiknya yang berkebutuhan khusus?

Mbak menur berdeham. "Gue mau nyampain sesuatu, tapi gue khawatir lo menganggap ini ide gue, padahal bukan. Gue hanya murni perantara. Gue nggak nyambil untung atau apa...." Kalimat itu menggantung, mencungkil rasa penasaran.

"Soal apa, Mbak?" Aku kenal Mbak Menur sejak pindah ke sini, dan tahu dia sangat baik padaku dan Asya. Aku percaya dia tidak akan mengambil keuntungan dari aku. Apa juga yang bisa diambil dari orang kere seperti aku? Satu-satunya barang berharga (yang tidak bisa dibilang mahal) hanyalah motor bututku. Aku yakin percakapan ini tidak ada hubungannya dengan motor butut itu.

"Duh, gimana cara ngomongnya ya?" Mbak Menur malah kelihatan ragu. "Ngomongin ini sama lo, gue malah merasa jadi makelar."

"Mbak udah telanjur bikin saya penasaran," tukasku. "Bilang aja, Mbak."

"Gue takut lo marah sama gue, Bi." Mbak Menur kembali menghindar, seperti sengaja membuatku makin penasaran.

"Mbak Menur udah baik banget sama saya dan Asya, jadi saya nggak mungkin marah sama Mbak."

Mbak Menur meringis. "Lo ingat Fajar?" tanyanya.

"Pelanggan kelab itu?" Hanya dia satu-satunya orang bernama Fajar yang berdua kami kenal.

Anggukan Mbak Menur tampak mantap. "Dia nanyain lo."

"Oooh...." Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tapi rasanya wajar sih kalau ada pelanggan yang menanyakan pelayan kelab yang kerap bertugas melayani pesanannya.

"Dia tanya lo sekarang kerja di mana waktu gue bilang lo udah berhenti dari kelab." Mbak Menur menyentuh lenganku. "Karena dia mendesak, jadi gue terpaksa bilang kalau lo berhenti bukan untuk kerja di tempat lain, tapi untuk jagain adek lo karena lo satu-satunya orang yang bertanggung jawab merawatnya." Mbak Menur kembali berdeham. Dia lantas merogoh saku celana dan mengeluarkan sehelai kartu nama. "Dia nitip ini untuk lo."

Aku tidak lantas mengambil kartu itu. "Untuk apa?"

Kali ini Mbak Menur menggaruk kepala. "Gue nggak bisa bohong saat dia tanya apa lo butuh duit, Bi. Lo memang butuh duit untuk hidup lo dan Asya, kan? Apalagi lo sekarang belum kerja."

"Terus?" desakku. Aku tidak melihat hubungan antara aku butuh uang dengan Fajar, kecuali, "Dia nawarin pekerjaan untuk saya? Kantornya butuh tenaga keuangan?"

Mbak Menur menggeleng ragu. Matanya menyipit. "Gue nggak tahu apa yang dia tawarkan itu bisa disebut pekerjaan, tapi gue yakin dia akan ngasih duit yang banyak."

Aku menganga. Sekarang aku bisa meraba arah percakapan ini. Pantas saja Mbak Menur ragu-ragu saat mengatakannya. Aku tertawa pahit tanpa suara. Dari sikapnya yang sopan dan ramah, aku pikir Fajar berbeda dengan teman-temannya yang terang-terangan menggodaku.

"Saya bukan PSK, Mbak. Saya nggak menjual tubuh saya. Saya nggak akan tidur dengan laki-laki yang mau membayar untuk dapetin uang." Emosiku mungkin terlalu berlebihan karena seperti yang pernah aku bilang bahwa aku tahu banyak orang yang berpikiran kalau pekerja kelab itu juga melayani pelanggan di luar kelab. Bisnis desahan. Kurasa, kalau bukan Fajar yang menawarkan, aku tidak akan bereaksi seperti ini. Kita memang akan selalu kecewa saat ekspektasi kita tentang seseorang atau sesuatu mendadak patah.

Mbak Menur tampak memahami kekesalanku. "Gue bilang kok sama dia kalau lo bukan cewek seperti itu. Lo di kelab itu beneran murni hanya kerja aja, bukan mencari pelanggan untuk dibawa keluar kelab dengan bayaran yang lebih gede. Lo kerja di sana hanya karena sulit mencari pekerjaan di siang hari karena harus ngurusin adek lo."

Aku menarik napas lega. "Maaf ya, kesannya saya jadi ngomel sama Mbak. Padahal Mbak kan hanya menyampaikan pesan."

"Gue ngerti kok, Bi," kata Mbak Menur sabar. "Ehm... tapi pesannya belum gue sampaikan semua sih."

Mataku kembali melebar. Masih ada yang lain? Yang benar saja!

"Dia bilang dia nggak mencari hubungan jangka pendek, atau yang one stand gitu. Dia juga nggak mau terlibat dengan PSK karena takut kena penyakit. Dia emang nyari orang yang safe, tapi nggak mau berkomitmen dan terlibat secara emosi karena belum siap punya pacar lagi setelah putus sama tunangannya."

"Maksudnya, dia mau jadiin saya sugar baby, yang dia biayain hidupnya, dan sebagai imbalan saya harus tidur sama dia kapan pun dia mau?" Aku spontan menggeleng. "Tidak, makasih!" tolakku tegas.

Mbak Menur mengangkat bahu. "Gue udah bilang sih sama dia kalau lo bakalan nolak, tapi dia tetap minta gue untuk ngomong soal tawarannya ini sama elo." Mbak Menur meletakkan kartu nama Fajar di depanku.

"Kenapa dia nawarin ke saya?" tak urung, aku merasa penasaran juga. Pilihannya lumayan banyak di kelab, dan aku yakin, tawarannya akan dengan mudah diterima oleh beberapa orang.

"Kan udah gue bilang dia nyari yang safe. Dia pasti udah cari tahulah tentang elo dari orang-orang di kelab. Gue yakin dia malah nyari info dari Mas Gio, buktinya dia tahu kalau gue yang deket sama lo, jadi ngajuin tawaran ini melalui gue."

Setelah Mbak Menur pergi, aku menatap kartu nama di atas karpet kecil tempat aku dan Mbak Menur tadi duduk bersila sambil ngobrol. Dasar orang gila! Aku mengambil benda itu, merobeknya dalam potongan kecil dan melemparnya ke dalam tong sampah. Aku belum sampai pada tahap putus asa sampai harus menjual tubuhku untuk mendapatkan uang. Aku akan memikirkan cara mendapatkan pekerjaan yang bisa kulakukan sambil tetap mengawasi Asya.

**

Buat yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana sudah bab 37. Tapi masuknya lewat browser ya. Harga koin di web lebih murah daripada kalau beli koin di aplikasi. Tengkiuuu...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro