Empat Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

AKU akhirnya mengundurkan diri dari kantor. Seperti kata Pak Rigen, dia membantu memudahkan prosesnya. Aku tidak perlu menunggu waktu selama yang ditetapkan UU tenaga kerja untuk mengangkat barang-barang pribadiku dari kantor.

Aku juga tidak perlu nganggur lama di rumah karena panggilan wawancara di kantor Nawasena segera datang. Aku tahu itu hanya formalitas. Nawasena tidak akan memintaku berhenti dari kantor lama kalau dia tidak memastikan aku akan diterima di kantornya. Ya, aku menggunakan jalur orang dalam walaupun mengikuti proses rekrutmen seperti halnya calon karyawan lain.

Hubunganku dengan Nawasena nyaris sama seperti di awal pernikahan. Dia kembali tinggal di apartemennya yang memang lebih dekat dari kantornya, tak lagi menyempatkan pulang ke rumah. Kadang-kadang aku merasa dia seperti marah padaku tentang sesuatu, tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku jadi meragukan dugaan itu. Maksudku, aku tidak merasa melakukan sesuatu yang seharusnya membuatnya tersinggung.

Kalau Nawasena marah karena aku sempat menolak perintahnya untuk pindah kantor, seharusnya kemarahan itu tidak berlangsung lama. Toh akhirnya aku mengikuti perintahnya. Seharusnya dia senang karena berhasil memenangkan perdebatan kami. Seperti sebagian besar perdebatan yang pernah kami lalui.

Saat berada di lobi, menunggu di depan lift yang akan membawaku ke ruangan yang akan kutempati untuk melakukan wawancara, aku melihat Nawasena juga memasuki lobi bersama Rasta. Keduanya bercakap-cakap dengan wajah serius sambil berjalan cepat menuju lift khusus bagi direksi.

Aku sudah sering melihat Nawasena dalam balutan jas karena dia berpenampilan seperti itu ketika dia berangkat kerja dari rumah. Tapi baru kali ini aku melihatnya mengenakan pakaian kerja di kantor, di antara banyak orang yang lalu lalang.

Dalam mode seperti itu, Nawasena tampak seperti orang asing. Orang yang termasuk dalam kaum eksklusif yang tidak mungkin beririsan dengan jalan hidup denganku. Orang yang tak terjangkau.

Tanpa sadar, aku tersenyum ketika pikiran itu melintas. Sejatinya, takdir kami memang tidak akan bertemu di titik yang sama. Pertemuan dan kebersamaan kami hanyalah persinggahan sesaat, bukan tujuan. Seperti yang sekarang kami lakukan, sama-sama akan naik ke lantai atas, tapi kami menggunakan lift berbeda. Aku tidak diperkenankan menggunakan lift khusus itu, sama seperti dia yang tidak mungkin berdesakan dalam lift karyawan. Kasta yang berbeda tidak akan bisa melebur.

Aku mengalihkan pandangan pada pintu lift yang masih menutup saat melihat Rasta tiba-tiba menoleh ke arahku. Tatapan kami tidak sempat berserobok, jadi semoga saja dia tidak merasa jika aku sudah memperhatikan mereka sejak memasuki lobi.

Setelah selesai wawancara, aku mampir di sebuah kafe di dekat gedung kantor Nawasena untuk menghabiskan waktu. Asya belum pulang dari sekolah di waktu seperti ini. Aku enggan pulang cepat kalau dia tidak ada di rumah.

Sambil menunggu pesananku disiapkan, aku mengawasi interior kafe yang mengusung konsep vintage. Beberapa bulan lalu, tempat seperti ini tidak akan berani kuinjak karena tahu aku akan mengeluarkan banyak uang untuk membayar suasana bukan makanan dan minumannya. Ajaib bagaimana sesuatu yang dulunya haram menjadi halal bagiku karena merasa secure dengan jumlah angka yang ada di rekeningku.

Aku berubah, itu benar. Nenek akan merasa sedih kalau tahu jika orientasi hidupku sekarang adalah uang karena dia tidak pernah mengajarkan aku seperti itu. Nenek menekankan pentingnya menjadi orang yang baik. Pribadi yang membawa manfaat, bukan menyusahkan orang lain.

"Uang penting karena hidup kita akan sulit kalau kita nggak punya uang, Bi. Tapi uang hanyalah salah satu, bukan satu-satu hal yang akan membuatmu bahagia. Kamu nggak membutuhkan semua uang yang ada di dunia, karena nggak akan ada batas untuk merasa cukup kalau kamu memakai rumus keinginan, bukan kebutuhanmu."

Aku tersenyum miris saat mengingat wejangan itu. Aku pernah berpegang teguh pada prinsip Nenek itu sampai ketika kenyataan menghantamku dengan kekuatan penuh dan membuatku sadar bahwa uang adalah segalanya. Semua kebutuhan yang sifatnya materi butuh uang untuk didapatkan.

Maafkan karena aku mengecewakanmu, Nek. Aku hanya realistis, walaupun berakhir menjadi materialistis.

**

Aku terjaga ketika merasa kasurku melesak. Detik berikutnya, tangan yang familier menyusup di bawah selimut, terus bergerak sampai menemukan kulitku. Jari-jarinya terasa dingin di perutku, berbeda dengan embusan napasnya yang hangat di tengkukku.

"Kamu belum tidur, kan?" bisiknya.

Aku sudah terbangun sempurna. Tapi karena aku membelakangi Nawasena sehingga dia tidak melihat mataku yang terbuka lebar, aku lantas menggeleng.

Nawasena menarikku sehingga aku berbalik menghadap padanya. Jujur, aku sedikit terkejut melihatnya di atas tempat tidurku setelah hampir sebulan menghilang dari rumah ini. Terakhir kali dia pulang adalah ketika kami berdebat tentang masalah pengunduran diriku. Waktu itu dia meninggalkan kamarku dalam keadaan marah. Setelah itu tidak ada kabar apa pun darinya. Tidak telepon ataupun pesan teks. Tentu saja aku tidak bertanya. Aku tidak ingin melanggar batas. Selama ini aku hanya akan mengirim pesan lebih dulu kalau itu benar-benar penting, bukan remeh-temeh untuk menanyakan kabarnya.

Apa pun yang Nawasena lakukan dengan hidupnya di luar rumah ini selama sebulan terakhir, satu hal yang pasti, dia tidak melupakan kewajibannya mengisi rekeningku saat pergantian bulan. Itu yang paling penting untukku dalam hubungan kami, kan? Uang. Itulah yang mengikatku tetap berada di tempat ini.

"Jam segini biasanya kamu belum siap-siap tidur," kata Nawasena.

Karena jam segini biasanya aku belum lama sampai di rumah. Statusku sekarang adalah pengangguran. Aku masuk kamarku setelah Asya tidur karena tidak ada hal lain lagi yang bisa kukerjakan. Tidak ada ruangan berantakan yang harus kubereskan. Tidak ada piring dan pakaian kotor yang harus kucuci.

Aku tidak menjawab pertanyaan itu karena tahu Nawasena tidak benar-benar butuh jawabanku. Dia tidak datang ke kamarku untuk berbasa-basi. Kami sama-sama tahu apa yang membawanya ke sini.

Dalam keremangan kamar yang lampu utamanya sudah kupadamkan sebelum masuk dalam gelungan selimut, aku menatap Nawasena. Wajahnya sangat dekat karena kami berbaring di atas bantal yang sama. Apa ada hal lain yang tidak berhubungan dengan nafsu yang dia pikirkan tentang aku? Sepertinya tidak, karena tangannya yang sekarang melekat di dadaku pasti digerakkan oleh nafsu.

"Kenapa kamu lihat aku seperti itu?" Tangannya berhenti bergerak.

Aku memaksakan senyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa, Mas." Aku bangkit dari posisi berbaring untuk melepas piama. Nawasena datang untuk seks bukan melakukan percakapan dari hati ke hati seperti pasangan normal, karena kami tidak termasuk dalam golongan itu.

Nawasena menghabiskan sisa malamnya di kamarku. Aku mengawasinya saat dia tenggelam dalam tidur yang dalam. Rasanya sulit dipercaya jika ini adalah orang yang sama dengan yang aku lihat di lobi kantornya tadi pagi. Bagaimana mungkin seseorang bisa terasa sangat asing dan dekat di saat yang sama?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro