Empat Puluh Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KADANG-KADANG aku merasa seperti musuh dalam selimut saat memasang muka polos ketika teman-teman kantorku membahas tentang Vierra atau Nawasena. Aku mendengarkan seolah tidak kenal mereka.

"Kasihan Bu Vierra ditinggal Pak Arsa dalam keadaan hamil kayak gitu," kata salah seorang teman ketika kami melihat Vierra juga berada di lobi saat kami hendak ke salah satu kantin karyawan yang terletak di bagian belakang gedung kantor kami. "Padahal mereka couple goal banget. Satunya cantik, satunya ganteng. Kelihatan banget kalau mereka saling cinta."

"Bahkan cinta yang paling sempurna pun masih kalah sama takdir," timpal yang lain.

"Bu Vierra akan segera move on kalau dia udah notice gue," ujar Darryl terkekeh. Di antara semua teman baruku, dia yang konsisten membuatku risi. Tangannya terlalu jail dan tidak tahu tempat. Dia melihat aku memakai cincin, dan aku juga sudah menjelaskan bahwa aku sudah menikah, tapi hal itu tidak membuatnya menghentikan kebiasaannya menyentuh atau mencolekku. Memang hanya di tangan, lengan, atau bahu, tapi aku tetap tidak suka. Aku hanya tidak mau membuat suasana jadi kurang enak kalau menegurnya terang-terangan. Biasanya aku akan menghindar dan menjaga jarak saat dia berada di dekatku. Seperti sekarang, aku memilih beriringan dengan teman yang lain, meninggalkan Darryl yang tadinya berjalan di sebelahku.

"Sampai kiamat pun, Bu Vierra nggak akan notice keset kaki yang sok kecakepan dan genit kayak lo!" dengus teman yang lain. "Kalau Bu Vierra mau move on, cocoknya sama yang modelan kayak Pak Sena tuh. Ganteng dan tajir. Sebelas-dua belas lah sama Pak Arsa. Nggak turun derajat."

"Tapi, gue pernah lho jalan di belakang Pak Arsa dan Pak Sena, jadi sempat dengar mereka ngobrol. Pak Arsa nanyain kabar istri Pak Sena. Yang pernah gue ceritain tempo hari itu lho, guys."

"Bercanda kali, Vi. Mana mungkin Pak Sena nikah dan kita nggak diundang sih? Kalau kita emang nggak diundang, pasti tetap kedengaran kabarnyalah. Nggak mungkin juga orang kayak Pak Sena nikah diam-diam. Nggak masuk akal aja. Dia anak sulung bos, jadi pernikahannya pasti dibikin besar-besaran kayak pernikahan Pak Arsa dan Bu Vierra dulu. Lagian, Pak Sena juga nggak pakai cincin tuh!"

"Mungkin aja dia golongan yang mengharamkan pakai cincin emas, kan?"

"Pakai cincin yang bukan emas bisa dong. Kalau gue yang jadi istri Pak Sena, gue paksa dia pakai cincin supaya ciwi-ciwi tahu batas dan nggak jelalatan pas lihatin dia."

Untunglah percakapan itu segera berakhir dan berganti dengan topik lain sehingga aku tidak perlu merasa bersalah terlalu lama.

Saat kembali ke kantor, aku sibuk berbalas pesan dengan Sunny sehingga tidak menyadari kalau aku beriringan dengan Darryl. Aku baru tersadar ketika merasa ada tangan yang merangkul bahuku. Aku spontan menghindar.

"Apaan sih, Febi, dipegang dikit aja udah sok kaget gitu," kata Darryl sambil terkekeh.

"Lo juga sih, Ryl, istri orang lo pegang-pegang," omel Evi. "Paling nggak bisa deh lihat perempuan cantik. Kegenitan lo!"

"Yaelah, bahu doang ini," kilah Darryl. "Itu gestur teman, Vi. Masa sih orang kayak gue mau ngelecehin teman sendiri. Febi tuh yang reaksinya berlebihan. Suami lo pasti tipe kolot yang melarang lo temenan sama laki-laki ya?" Gelak Darryl makin menjadi. Dia kembali mengulurkan tangan hendak merangkulku. Mungkin memang hanya candaan, tapi karena aku tidak terbiasa dipegang-pegang, rasanya tetap risi. Mungkin ini akibat dari tidak pernah punya teman laki-laki, apalagi pacar sehingga gestur pertemanan tetap kuanggap serupa dengan colekan pelanggan di kelab saat aku masih bekerja di sana. Sentuhan berbau seksual yang seperti hendak mengetes apakah aku bisa diajak melakukan kencan berbayar.

"Jangan berani pegang-pegang dia kalau masih sayang pekerjaanmu!" seruan itu sontak membuat kami semua membalikkan badan. Nawasena dan Rasta.

Nyaliku seketika ciut. Aku tidak mengharapkan drama di awal bulan kedua aku bekerja. Saat menoleh pada teman-temanku, aku bisa melihat kalau mereka sama terkejutnya denganku, terutama Darryl.

Nawasena menatapku. Aku langsung tahu jika kemarahannya pada Darryl berpindah padaku. "Kamu punya mulut yang bisa dipakai untuk melarang dia pegang-pegang kamu kalau kamu nggak nyaman. Mulut kamu tuh gunanya untuk mengungkapkan apa yang kamu pikirkan, bukan hiasan!"

Aku bisa merasakan kalau teman-temanku menatapku penasaran. Sepertinya statusku akan terbongkar. Aku tidak bisa merahasiakan hubungan dengan Nawasena sehingga bisa tetap bekerja dengan nyaman di kantor ini setelah berpisah, tanpa harus dibayang-bayangi status sebagai mantan istri bos.

Nawasena kembali pada Darryl. "Mungkin kamu terbiasa melakukan kontak fisik dengan perempuan lain. Itu urusan kamu kalau mereka nggak keberatan. Tapi jangan lakukan itu pada istri saya yang jelas-jelas nggak nyaman dengan perlakukan kamu."

Teman-temanku terkesiap.

"Mas...," aku mencoba menengahi.

"Ikut aku sekarang!" bentak Nawasena. Dia lantas berbalik menuju lift direksi.

Aku masih terpaku di tempatku. Rasanya aku ingin menghilang saja saat menyadari jika kejadian barusan ternyata menjadi tontonan banyak orang di lobi, bukan hanya teman-temanku.

"Bu, sebaiknya susul Bapak sekarang," ujar Rasta mengingatkan.

"Maaf ya," kataku pada teman-temanku sebelum buru-buru mengikuti Nawasena yang sudah mendekati lift.

Nawasena tidak bicara satu kata pun sampai kami akhirnya masuk di ruangannya. Walaupun merasa reaksinya terlalu berlebihan, aku tidak berani mengusiknya. Aku hanya perlu diam saja saat dia menumpahkan kemarahan. Strategi yang sudah biasa kupakai saat menghadapinya.

Aku pikir dia tidak akan marah-marah seperti itu lagi karena hubungan kami akhir-akhir ini sangat baik. Tidak ada lagi nada tinggi, raut masam, dan hal-hal lain yang biasanya membuatku takut dan sungkan padanya.

"Ada orang bebal atau pura-pura bebal yang memang harus diberitahu secara verbal kalau kamu nggak suka dengan perlakuannya. Orang seperti itu harus kamu minta untuk menghormati batas yang kamu tetapkan untuk mereka." Nawasena duduk di sofa dan memberi isyarat supaya aku mengikutinya. Syukurlah karena dia ternyata tidak semarah yang kukira. Kesal iya, tapi tidak meledak-ledak. "Kamu mulai harus menempatkan kenyamananmu sebagai prioritas. Jangan selalu merasa nggak enak melulu, padahal kamu sebenarnya risi diperlakukan seperti tadi."

Aku mengakui kebenaran kata-katanya.

"Tapi dia nggak akan berani dekat-dekat kamu lagi kalau masih sayang pekerjaannya."

"Sekarang saya nggak tahu gimana harus menghadapi teman-teman saya yang lain setelah kejadian tadi." Aku berani menggerutu saat melihat raut Nawasena sudah tenang. Nada suaranya juga kembali normal. Aku yakin dia tidak akan marah lagi.

"Kejadian tadi nggak mungkin ada kalau kamu nggak sok-sok merahasiakan status kamu. Memangnya kenapa kalau kamu masuk kerja pakai jalur khusus? Orang yang mencibir dan meremehkan akan mengubah pendapatnya kalau melihat hasil kerja kamu memang bagus. Sama seperti mereka akan membicarakan kamu saat tahu kamu istriku yang masuk lewat jalur normal, tapi nggak bisa kerja. Mereka akan bilang kamu masuk karena koneksi. Pada akhirnya, semua akan kembali sama kinerja kamu. Kamu yang akan menentukan opini mereka."

Aku menatapnya cemberut. Nawasena bisa bicara begitu karena bukan dia yang akan berhadapan dengan teman-temanku yang sekarang pasti punya penilaian lain tentang aku.

Nawasena menyentuh bibirku dengan telunjuknya. "Jangan lihat aku kayak gitu. Kita lagi di kantor, bukan di rumah. Ini wilayah profesional. Kamu balik ke bawah deh. Kamu nggak perlu ngasih penjelasan apa pun sama teman-teman kamu. Kamu nggak melakukan kesalahan yang harus diklarifikasi."

Masalahnya, aku bukan orang cuek seperti Nawasena, jadi aku tetap peduli pendapat orang tentang aku, apalagi mereka adalah orang-orang yang kutemui lima hari seminggu. Aku ingin diterima sehingga bisa bekerja dengan nyaman.

Saat kembali ke kubikelku, aku bisa merasakan jika sikap orang-orang di sekelilingku berbeda dengan saat sebelum kami keluar makan. Sekarang, mereka tidak mungkin akan memintaku mengambil paket atau membeli minuman. Bahkan supervisorku mungkin tidak akan menegurku seandainya aku tidak bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.

"Bu...," sapa Evi sambil tersenyum canggung.

"Panggil Febi saja kayak biasa, Mbak," jawabku ikut kikuk. "Saya minta maaf karena Mas... maksud saya Pak Sena bikin suasananya jadi nggak enak."

"Kami yang minta maaf, Mbak. Apalagi tadi kesannya kayak menjodoh-jodohkan Bu Vierra sama Pak Sena."

Sekarang aku bahkan tidak dipanggil dengan "lo" lagi. Rasanya tidak terlalu menyenangkan karena seperti menipu mereka. Aku bukan istri Nawasena yang sebenar-benarnya.

Evi tertawa kecil untuk mencairkan suasana. Dia menatap teman-teman kami yang masih berkumpul di dekat kubikelku. "Gue kan udah bilang kalau Tas Mbak Febi itu Dior asli, bukan KW. Lo semua nggak percaya sih. Mata gue tuh ada sensor yang bisa bedain barang asli dan KW."

Semua tertawa. Suasana memang menjadi lebih santai, tapi jelas tidak akan kembali seperti sebelumnya.

EMPAT PULUH LIMA

JODOH adalah misteri. Datangnya kadang tak terduga. Itu yang terjadi pada Mbak Menur. Tiba-tiba saja dia menghubungiku dan mengatakan, "Sabtu pagi nanti gue akan nikah, Bi. Datang ya."

Dia lalu bercerita tentang calon suaminya yang ternyata adalah sepupu Mas Gio yang berasal dari Malang. Mereka baru bertemu dua bulan lalu, tapi sudah memantapkan diri untuk menikah. "Duda anak satu, Bi. Anaknya masih balita. Lucu banget deh."

Mbak Menur memang suka dan terbiasa dengan anak-anak karena dia besar di panti asuhan. Dia tidak pernah cerita kenapa dia berakhir di panti, dan aku tidak mau bertanya, takut membuka luka lama masa kecilnya. Aku tidak suka diingatkan bagaimana Ibu menelantarkan aku dan Asya, jadi tidak mau melakukan hal menyakitkan seperti itu pada orang lain.

Dua hari sebelum acara besar Mbak Menur, aku izin pada Nawasena supaya dianggap benar-benar minta izin, bukan sekadar memberi tahu kalau aku akan keluar rumah. Apalagi dia selalu pulang ke rumah.

"Nanti kita pergi sama-sama," jawab Nawasena saat aku minta izin saat kami sarapan bersama.

"Mas mau ikut?" tanyaku tidak percaya. "Nggak usah. Biar saya pergi sama Asya aja." Pasti tidak menyenangkan hadir di acara orang yang tidak dikenalnya. Aku tidak yakin Nawasena ingat wajah Mbak Menur meskipun mungkin pernah berpapasan di kelab yang remang-remang.

"Kenapa aku nggak boleh ikut? Undangannya bersama pasangan, kan? Tidak spesial untuk kamu dan Asya aja?"

"Terserah Mas aja deh." Aku tidak mau membantah, takut izinnya dicabut. Salahnya sendiri kalau nanti hanya jadi patung penghias di masjid tempat akad nikah Mbak Menur dilaksanakan.

"Hari Selasa aku ke Kalimantan, jadi kita bisa jalan-jalan dulu setelah pulang dari acara nikahan teman kamu itu. Kamu mau ke mana?"

Aku menggeleng. Aku tidak punya tempat khusus yang ingin kudatangi selain acara akad nikah Mbak Menur.

"Asya nggak suka ke Dufan?" tanya Nawasena lagi.

Jiwa kekanakan Asya pasti menyukai Dufan. Dia belum pernah ke sana. Tiket masuknya terlalu mahal untuk ukuran kantong kami. Sayang uangnya. Lebih baik dipakai untuk hal lain. Sekarang, setelah aku punya uang, kenapa aku tidak pernah memikirkan membawa Asya ke Dufan ya? Seharusnya ide itu datang dari aku, bukan Nawasena.

"Asya belum pernah ke Dufan."

"Kalau gitu, kita Dufan aja setelah dari acara nikahan teman kamu."

Senyumku mengembang lebar. "Terima kasih, Mas. Asya pasti senang banget."

Nawasena menghabiskan minumannya. Dia sudah selesai sarapan. "Kamu masih nggak mau ikut aku ke kantor?" tanyanya. "Biar nggak capek nyetir."

Aku langsung menggeleng. "Mobilitas Mas tinggi. Kalau saya ikut, ujung-ujungnya saya akan ngerepotin Mas Rasta karena harus ngantar saya pulang duluan saat Mas ada meeting."

"Itu bagian dari tugas dia, jadi dia nggak akan merasa repot. Kamu saja yang selalu nggak enakan."

Aku tetap menggeleng. "Saya lebih suka pergi sendiri."

"Saat bicara dengan kamu kayak gini, kadang-kadang aku merasa lagi bicara sama sekretarisku. Saya... saya melulu."

Aku cemberut.

"Saya" adalah sebutan formal untuk menunjukkan penghormatan sekaligus menjaga jarak. Aku tahu batasku.

**

Mbak Menur tampak cantik dalam balutan kebaya putihnya. Wajahnya semringah. Semua orang pasti akan terlihat seperti itu pada hari pernikahan impian mereka. Sayangnya, aku mungkin tidak akan pernah mengalami momen seperti itu.

Tapi sumber kebahagiaan setiap orang memang tidak sama. Ada yang berbahagia karena menemukan pasangan hidup seperti Mbak Menur, ada yang bahagia hanya bersama kucing atau anjing peliharaan mereka, dan ada yang bahagia bersama saudara selamanya. Aku dan Asya, contohnya.

"Gue akan pindah ke Malang ikut Mas Ikram," bisik Mbak Menur saat aku memeluknya memberi selamat. "Nanti gue kirimin alamatnya, jadi lo sama Asya bisa liburan di sana. Mas Ikram punya resor dan kebun buah."

Mbak Menur beruntung karena mendapatkan suami mapan yang tidak peduli pada latar belakangnya. Tapi Mbak Menur bukan pekerja kelab yang aneh-aneh kok. Mas Gio tidak mungkin mengenalkan sepupunya pada Mbak Menur kalau tidak kenal kepribadian Mbak Menur dengan baik.

Dalam perjalanan menuju Dufan, aku masih memikirkan Mbak Menur. Aku senang karena dia akhirnya menemukan kebahagiaan setelah sekian lama hidup sebatang kara setelah meninggalkan panti. Sekarang dia sudah mempunyai keluarga sendiri. Keluarga yang akan mencintai dan menerimanya, sama seperti dia mencintai keluarga barunya, sehingga tidak akan pernah berpikir untuk meninggalkan mereka, seperti yang dilakukan Ibu padaku dan Asya.

"Mikirin apa?" Nawasena memotong lamunanku.

Aku menggeleng. Aku tidak ingin membahas ibuku karena sudah pernah melakukannya. Nawasena akan bosan mendengarnya.

"Pasti ada yang kamu pikirin. Melamunnya serius banget gitu."

"Saya hanya mikir kalau saya mungkin nggak akan ketemu Mbak Menur lagi setelah hari ini karena dia akan pindah ikut suaminya keluar Jakarta." Lebih baik membicarakan Mbak Menur daripada Ibu. "Saya nggak punya banyak teman. Kalau Mbak Menur pergi, teman saya yang beneran dekat tinggal Sunny aja."

"Yang peduli sama kamu bukan Menur dan Sunny aja. Masih ada Ibu yang sayang bahkan cenderung terobsesi sama kamu dan Asya karena nggak punya anak perempuan. Mbok Sarti dan Bik Ika memang digaji, tapi perhatian mereka nggak bisa diragukan. Aku juga peduli."

Mereka berbeda dengan posisi Mbak Menur atau Sunny. Ada hal-hal yang bisa kubahas terbuka dengan Sunny, tapi tidak akan kubicarakan dengan ibu Nawasena, Mbok Sarti, Bik Ika, atau Nawasena sendiri.

"Iya, mungkin saya terlalu melankolis dan egois karena melihatnya dari sudut pandang saya sendiri, padahal Mbak Menur bahagia banget. Semua perempuan memimpikan hari pernikahan mereka, dan hari ini impian Mbak Menur terwujud."

"Kalau kamu, seperti apa pernikahan impianmu?"

Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan itu. "Semua perempuan, kecuali saya, Mas," ralatku. "Mimpi dan tujuan hidup saya adalah bahagia bersama Asya. Itu aja. Saya belum pernah punya pikiran untuk menikah. Saya malah berpikir nggak akan menikah untuk ngurus Asya." Mungkin karena Nawasena semakin melunak menghadapiku, aku juga semakin berani bicara dan mengungkapkan pendapat.

"Kamu tetap bisa mengurus Asya meskipun sudah menikah. Apakah sekarang Asya telantar?"

Aku mendelik menatapnya. "Maksud saya, pernikahan sungguhan, Mas." Bisa-bisanya dia membandingkan pernikahan kami dengan pernikahan sebenarnya.

"Memangnya pernikahan kita nggak sungguhan? Kita punya akta nikah jadi sah secara hukum negara dan agama. Kita juga tinggal dan tidur bersama. Bagian mana yang nggak sungguhan?"

"Pernikahan sungguhan itu seperti pernikahan Pak Cipto atau Mbak Menur tadi, Mas. Dipersiapkan bersama, pengantinnya memakai kebaya, dihadiri keluarga, ada makanan seperti perayaan pada umumnya, dan ada dokumentasi. Itu pernikahan sungguhan, yang diniatkan sampai maut memisahkan, bukan sudah tahu akan bercerai bahkan sebelum masuk KUA. Motivasi pernikahan sungguhan nggak sama dengan motivasi kita saat menikah."

Nawasena terdiam.

"Wah, sudah hampir sampai!" seruku saat melihat kami sudah mendekati pintu masuk utama tempat wisata yang kami tuju. Aku menoleh ke belakang untuk membangunkan Asya yang tertidur. "Sya... bangun, Sya. Kita sudah sampai!"

"Nanti aja dibangunin kalau kita sudah parkir." Nawasena menghentikanku. "Dia masih bisa tidur beberapa menit lagi."

Tampang mengantuk Asya langsung berganti dengan raut antusias saat kami memasuki Dufan. Senyumnya lebar dan matanya membelalak takjub.

"Aku sudah beli tiket fast track, jadi nggak perlu ngantri kalau mau masuk wahana yang Asya pengin," kata Nawasena.

"Tapi Asya nggak bisa nyobain banyak wahana yang bikin dia capek atau adrenalinnya meningkat drastis," jawabku ragu. "Mungkin kita keliling aja sambil lihat-lihat kali ya?"

"Pasti ada wahana yang aman untuk Asya," ujar Nawasena yakin. "Nggak semua wahananya ekstrem kok. Asya bisa main komidi putar, bomb-bomb car, dan masuk istana boneka. Sambil jalan, kita lihat wahana mana yang kira-kira bisa Asya masuki untuk main."

Beberapa jam berikutnya, aku sibuk mengikuti Asya yang menyeretku ke sana kemari. Dia hanya berhenti ketika kami makan.

"Asya senang?" tanyaku sambil mengusap bibir Asya yang berlepotan saus dari burger-nya. Hari ini aku melonggarkan dietnya dan membiarkannya memesan burger berukuran besar.

Asya mengangguk kuat-kuat. "Senang banget, Ebi. Sayang, Ebi."

"Yang ngajak ke sini Mas Sena. Bilang terima kasih sama Mas Sena dong."

Asya melihat Nawasena dan tersenyum malu-malu. "Terima kasih."

Nawasena mengusap kepala Asya. "Kalau aku sudah pulang dari Kalimantan, kita bisa jalan-jalan lagi. Asya mau ke kebun binatang?"

Asya lagi-lagi mengangguk. "Mau... mau... mau. Mau ke kebun binatang, Ebi. Lihat buaya."

Aku tertawa melihat ekspresi Asya yang penuh pengharapan. Memorinya mungkin tidak panjang, tapi aku yakin jika ditanya, Asya akan mengatakan bahwa ini adalah hari terbaik dalam hidupnya. Aku belum pernah melihatnya tersenyum dan tertawa sebanyak hari ini. Terima kasih pada Nawasena yang sudah menghadiahkan hari yang istimewa untuk Asya.

**

Asya tidur lebih lama dari biasanya. Dengan kosa katanya yang terbatas dan terpatah-patah, dia merekap kembali keseruan hari ini. Semangatnya tergambar jelas dari suaranya. Seharusnya aku mengajaknya ke Dufan sejak beberapa bulan lalu saat sudah punya uang.

"Mau ke sana lagi, Ebi!" Asya berbalik. Kami berbaring berhadapan di bantal yang sama. Matanya tampak berbinar.

Apa yang membuat Ibu tidak bisa mencintainya? Tapi Ibu bahkan tidak bisa menyayangi aku yang terlahir normal. Memang mustahil mengharapkannya mencintai Asya.

Aku mencium pipi Asya yang kemerahan. "Nanti kita ke sana lagi," janjiku.

"Sayang, Ebi!"

"Sayang Asya juga."

Aku kembali ke kamarku setelah Asya tertidur. Mimpinya pasti berisi pengalamannya di Dufan karena dia tersenyum dalam tidurnya. Aku ikut tersenyum melihat ekspresinya. Aku benar-benar menyayanginya. Asya layak mendapatkan yang terbaik dan aku akan melakukan apa pun untuknya tanpa berpikir dua kali.

Nawasena sedang membaca di iPad-nya di atas tempat tidurku. Dia tetap menumpang di ranjangku meskipun kami tidak melakukan apa-apa selain tidur. Sudah beberapa kali dia menyuruhku pindah ke kamarnya, tapi aku pura-pura tidak mendengar. Aku lebih nyaman di kamar ini karena ukurannya jauh lebih kecil sehingga lebih cocok untukku. Aku juga sudah terbiasa berada di sini karena inilah tempatku sejak awal masuk di rumah ini

Aku menyibak selimut dan membungkus tubuhku.

"Capek ya ngikutin Asya yang tadi semangat banget?" tanya Nawasena. Dia melepaskan mata dari iPad. Senyumnya tipisnya mengembang. Akhir-akhir ini dia lebih sering tersenyum. Mungkin dia sudah capek menarik urat leher saat berhadapan denganku sehingga sumbunya tidak lagi sependek sebelumnya.

Aku telentang menatap langit-langit yang putih. "Tapi senang banget. Rasanya sudah lama banget saya nggak sesenang hari ini."

"Nanti kita bisa lebih sering jalan-jalan ke tempat wisata lain. Banyak yang bisa dikunjungi. Asya pasti suka."

"Terima kasih, Mas."

Nawasena mengusap kepalaku. "Kamu tidur duluan aja. Aku masih mau baca-basa."

Aku berbalik dan memunggunginya. Aku lebih suka tidur dengan posisi menyamping. Aku benar-benar cape sehingga beberapa menit berikutnya aku sudah kehilangan kesadaran.

"Ebi... Ebi...." Suara Nenek memanggilku. "Ebi, bangun, Sayang."

Aku tahu itu mimpi karena Nenek sudah tidak ada. Aku mencoba bangun, tapi tidak mampu. Mataku tidak bisa terbuka. Anggota gerakku seakan lumpuh. Aku seperti dipaku di atas tempat tidur.

Ini mimpi. Ini mimpi. Aku mengulang kata-kata itu. Aku hanya ketindihan. Ini hanya sementara. Tapi napasku mulai terasa sesak. Aku gelagapan. Apakah aku akan mati?

"Bi... Ebi...!" Suara Nenek berganti dengan suara Nawasena.

Belenggu yang mengikatku mendadak terlepas. Aku akhirnya bisa membuka mata. Aku berada dalam pelukan Nawasena, setengah duduk.

"Kamu mimpi buruk? Kamu sampai ngigau-ngigau gitu."

"Ketindihan, Mas." Aku merasa bibir dan tenggorokanku kering. Tadi aku lupa membawa air putih ke atas. Aku melepaskan diri dari Nawasena. "Saya mau ambil air minum."

"Biar aku yang ambil. Kamu di sini aja."

Setelah Nawasena pergi, aku menyibak selimut. Aku harus melihat Asya. Janga-jangan juga ketindihan seperti aku.

Asya tidur menyamping seperti biasa. Selimutnya sudah bertumpuk di kaki. Aku mendekat untuk memperbaikinya. Lalu aku melihat lengannya tampak lebam. Apakah dia terbentur sesuatu?

Saat membalikkan tubuh Asya, aku melihat lebam yang sama di wajahnya. Aku berteriak histeris. Lalu gelap.

**

Hari ini adalah hari terakhir PO ya. Jadi penayangan di Wattpad resmi dihentikan. Untuk yang nggak mau ikutan PO, tapi mau baca sampai tamat, bisa ke Karyakarsa. Bab-bab akhir ada di sana.

Oh ya, novelnya hanya bisa dipesan melalui WA Kak Sela Belibuku dan di akun shopee @belibuku.fiksi ya. Nggak ada di toko buku atau olshop lain. Dan hanya dicetak eksklusif sesuai jumlah PO yang akan ditutup hari ini.

Terima kasih udah ngikutin ceritanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro