Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

NAWASENA baru muncul di rumah di hari kesembilan setelah kami menikah. Aku sedang berada di anak tangga, turun dari kamarku di lantai atas ketika melihatnya masuk di ruang tengah. Langkahku spontan terhenti. Dia menoleh ke arahku sehingga tatapan kami bertaut.

Hanya sekilas, karena dia kemudian mengawasi Asya yang sedang bermain boneka bersama Bik Ika, ponakan Mbok Sarti yang sudah beberapa hari datang dari kampung. Karena hanya melihat profil wajah Nawasena dari samping, aku tidak bisa membaca ekspresinya untuk mengetahui apa yang dia pikirkan tentang Asya. Tapi apa pun itu, aku harap dia tidak menganggap Asya sebagai benalu yang menyusahkan.

Setelah tersadar dari keterpakuan, aku meneruskan langkah menuruni tangga untuk menghampirinya. Kalimat basa basi apa yang sebaiknya kuucapkan padanya? Aku berpikir keras. Menanyakan kabar? Tapi dia kelihatan baik-baik saja. Menanyakan maksud kedatangannya? Tapi ini rumahnya. Dia bisa datang dan pergi sesuka hatinya.

Sampai akhirnya berdiri di dekatnya, aku belum bisa memutuskan apa yang akan kuucapkan. Aku harap dia tidak datang untuk menuntut haknya sebagai suami. Aku mulai menikmati ketidakhadirannya di rumah ini dan perlahan lupa bahwa aku punya kewajiban membuka baju dan naik ke ranjang untuk berhubungan intim dengannya, kapan pun dia menginginkannya.

"Ibu akan datang," kata Nawasena datar sambil melirik pergelangan tangan. "Dia sudah di jalan, jadi harusnya nggak sampai sejam lagi dia sampai."

"Ibu?" ulangku seperti orang tolol.

Bukan apa-apa, tapi karena pernikahan kami dilakukan di KUA dengan temannya sebagai saksi, alam bawah sadarku mulai memersepsikan kalau kami sama-sama tidak memiliki keluarga. Aku malah telah meragukan kalau Nawasena adalah keturunan langsung dari Wardhana yang memiliki perusahaan tambang itu. Mungkin saja persamaan nama belakang itu hanya kebetulan semata. Nama Wardhana sangat umum dan banyak dipakai, kan?

"Ibuku." Sorot mata Nawasena seolah mengatakan kalau aku memang bodoh. "Dia datang untuk ketemu kamu. Sebenarnya dia pengin datang beberapa hari lalu sejak tahu aku sudah menikah. Tapi aku suruh tunggu sampai aku punya waktu karena kamu pasti bingung mau bilang apa kalau ditanyain tentang hubungan kita."

"Ooh...."

"Mbok Sarti mana?" Nawasena mengganti topik dengan cepat. "Aku mau minum kopi."

"Ada di belakang, Mas." Aku tahu Nawasena menolak kupanggil dengan embel-embel "Mas", tapi aku sungkan memanggilnya dengan sebutan nama saja.

"Kopinya suruh antar ke ruang kerjaku." Dia berbalik menjauhiku, menuju ruang kerjanya.

Aku buru-buru ke dapur untuk meminta Mbok Sarti membuat kopi. Aku tidak tahu seperti apa takaran dan jenis kopi yang disukai oleh Nawasena, jadi tidak mau sok tahu. Bisa-bisa kopi yang aku bikin malah berakhir di wastafel.

Setelah itu aku bergegas ke kamarku untuk berganti pakaian. Bajuku yang terbaik adalah yang kupakai saat akad nikah. Tapi aku tidak mungkin memakai itu lagi, kan? Rasanya aneh saja. Aku tidak punya banyak waktu untuk menimbang-nimbang, jadi aku menarik sehelai gaun lain yang belum terlalu kusam..

Aku pikir, aku tidak akan pernah lagi merasakan ketegangan seperti yang aku rasakan saat berada di KUA, tapi ternyata sekarang aku jauh lebih tegang daripada waktu itu.

Bagaimana aku akan menghadapi ibu Nawasena? Beliau tidak mungkin tertawa bahagia kalau aku menceritakan riwayat hubungan kami. Bertemu di kelab dan Nawasena menawarkan pernikahan saat aku hendak menjual diri pada temannya. Mana ada ibu yang ingin mendengar kisah seperti itu? Masalahnya, aku tidak ahli mengarang cerita. Tidak mungkin memodifikasi kisah hubungan kami di depan Nawasena juga, kan?

Sambil menunggu ibu Nawasena datang, aku membantu Mbok Sarti yang berinisiatif menyiapkan makan siang setelah tahu siapa yang akan berkunjung.

"Ibu suka tempe mendoan dan aneka olahan ayam," kata Mbok Sarti bersemangat. "Kalau sayur, Ibu suka yang bening aja. Jadi nggak repot nyiapin makanan untuk Ibu."

"Mbok Sarti hafal banget makanan favorit Ibu." Mungkin aku bisa mengorek sedikit informasi tentang ibu Nawasena supaya bisa mengantisipasi cara menghadapinya.

"Kenal dong, Mbak. Saya sudah di rumah Ibu sejak Mas Sena berumur 2 tahun. Dulu rencananya saya kerja hanya sampai hamil aja. Tapi ternyata saya nggak hamil-hamil sampai akhirnya diceraiin mantan suami. Keterusan deh di rumah Ibu. Baru pindah ke sini ikut Mas Sena waktu dia ribut sama Ibu. Eh, maksudnya... setelah rumah ini kelar," Mbok Sarti buru-buru meralat kalimatnya. "Saya kan sejak dulu ngurus Mas Sena, jadi Ibu minta saya ke sini aja. Tapi karena Mas Sena lebih senang di apartemen, saya malah jadi ngurus rumah aja."

Aku pura-pura tidak memperhatikan kalimat yang diralat Mbok Sarti, tapi tentu saja aku menyimpannya di kepala. Jadi Nawasena pernah ribut dengan ibunya. Pasti bukan pertengkaran biasa karena dia sampai dia merasa harus punya rumah sendiri.

Ibu Nawasena datang saat aku sedang menyiapkan meja makan. Dia adalah perempuan paling anggun yang pernah kulihat dengan mata kepala sendiri. Dia mengingatkanku pada Widyawati, aktris senior yang kerap memainkan peran sebagai ibu bagi tokoh utama di film-film.

Aku sudah mengantisipasi raut angkuh dan arogan, terutama setelah tahu dia pernah ribut dengan Nawasena. Tapi aku kecele. Beliau tampak ramah. Sebaliknya, Nawasena-lah yang kelihatan dingin menyambut ibunya.

"Ibu baru sempat datang karena Sena bilang kamu sibuk dan baru punya waktu untuk ketemu Ibu hari ini," katanya sambil memelukku sejenak.

Sentuhan itu membuatku kikuk karena tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku hanya terbiasa memeluk Asya. Ada rasa sungkan yang kental ketika menerima hal itu dari orang lain. Apalagi dia adalah perempuan anggun yang menebarkan wangi lembut, yang menyadarkan bahwa aku sama sekali tidak memakai parfum. Losion yang kupakai jelas tidak bisa menandingi aroma mahal itu.

Aku tidak berani melihat Nawasena, apalagi untuk mempertanyakan maksudnya mengatakan aku terlalu sibuk sampai tidak bisa bertemu ibunya. Aku baru sekali keluar rumah untuk menyurvei sekolah Asya sekaligus mengambil motorku di rumah Mbak Menur. Selain itu, aku terus tinggal di rumah karena Asya baru akan masuk sekolah tiga hari lagi. Yang aku lakukan di dalam rumah hanyalah bersantai karena Mbok Sarti dan Bik Ika selalu melarangku saat hendak ikut beres-beres rumah yang dibuat berantakan oleh Asya. Kata sibuk tidak bisa disematkan padaku. Aku belum pernah sesantai ini sejak berumur enam tahun.

"Ebi... Ebi...." Asya yang diikuti Bik Ika menyerbu ke arahku. "Es krim boleh?"

Tadinya aku sempat berpikir untuk meminta Bik Ika menemani Asya di atas supaya tidak perlu langsung bertemu ibu Nawasena. Tapi itu tidak akan adil untuk Asya dan ibu Nawasena. Asya tidak perlu kusembunyikan, dan ibu Nawasena sebaiknya langsung tahu kalau aku punya adik yang berkebutuhan khusus.

Nawasena tidak merasa perlu memberi tahu ibunya tentang pernikahan kami, jadi aku yakin dia juga tidak akan mengatakan detail soal aku punya adik yang istimewa.

"Nanti ya, Sya." Aku mengusap kepala Asya. "Setelah makan siang, baru boleh makan es krim."

"Es krim, Ebi. Es krim...!" Asya mengulurkan tangan untuk memeluk leherku. "Sayang Ebi. Es krim, Ebi. Boleh ya?"

"Tadi dia udah sarapan, kan?" sela ibu Nawasena. "Kasih aja dikit." Dia maju mendekati Asya. "Nama kamu siapa?"

Asya yang sudah melepaskan pelukannya di leherku hanya mematung menatap ibu Nawasena. Cengkeramannya di lenganku menguat. Dia selalu seperti itu saat menghadapi orang yang belum dia kenal. Hanya pada Mbok Sarti dan Bik Ika dia cepat akrab. Mungkin karena keduanya konsisten Asya lihat sejak bangun sampai tidur lagi.

"Kasih dikit aja ya, Bik." Aku langsung mengikuti saran ibu Nawasena. Tidak mungkin menentangnya padahal baru beberapa menit bertemu, kan? "Setelah makan siang, baru boleh dikasih lebih banyak."

"Baik, Mbak." Bik Ika kemudian membujuk Asya untuk mengikutinya ke belakang.

"Adik kamu?" Pandangan ibu Nawasena terus mengikuti Asya yang melompat-lompat kegirangan di sisi Bik Ika. Tidak ada penghakiman seperti yang aku khawatirkan dalam nadanya.

"Iya, Bu. Namanya Asya."

Ibu Nawasena duduk di sofa panjang ruang tengah. "Duduk sini." Dia menepuk tempat di sisinya.

Aku ikut duduk dengan canggung. Nawasena berada di sofa lain yang terpisah. Dia seperti pengamat yang mengawasi interaksi semua orang. Ibunya, aku, dan Asya.

"Kalau kamu nggak mau resepsi besar, seharusnya kita tetap bikin syukuran untuk pernikahan kamu," kata ibu Nawasena pada anaknya. "Nikah kok di KUA sih?"

"Aku ketemu Febi di kelab karena dia bekerja di sana," jawab Nawasena lugas dan tegas. "Ibu yakin mau semua orang tahu kalau aku menikah dengan pegawai kelab?"

Ibu Nawasena terdiam.

Aku terpaku di tempatku. Rasanya aku ingin menghilang dari situ supaya tidak perlu terlibat ketengangan di antara ibu dan anak itu.

"Ibu punya standar sendiri tentang menantu yang Ibu inginkan, kan? Orang seperti Febi pasti tidak masuk standar Ibu. Itulah alasan mengapa aku menikah tanpa memberi tahu keluarga."

"Kok kamu ngomong gitu di depan istri kamu sih?" gerutu ibu Nawasena. "Pikirin perasaan dia dong."

"Aku hanya ngomongin kenyataan, Bu. Febi memang bekerja di kelab. Dia juga tahu itu. Jadi istriku nggak berarti menghapus masa lalu dia sebagai pekerja kelab." Nawasena terus mengulang pekerjaanku sebagai pegawai kelab, seolah hendak menegaskan betapa nistanya pekerjaan itu.

Seberkas kesadaran tiba-tiba menerobos masuk dalam benakku. Nawasena tidak membutuhkan aku sebagai pelampiasan nafsu. Dia menjadikan pernikahan ini sebagai lambang perlawanan pada ibunya. Ini pasti ada hubungannya dengan ribut-ribut yang dimaksud Mbok Sarti tadi.

Nawasena pasti sangat sakit hati pada ibunya sampai rela mengorbankan status lajangnya dengan menikahi pegawai kelab hanya untuk menumpahkan kekesalan. Pertanyaannya, apakah yang mereka ributkan? Aku tahu itu bukan urusanku, tapi aku benar-benar penasaran.

**

Di Karyakarsa udah tamat ya. Bisa ke sana kalau mau baca cepet, karena di sini low update. Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro