Sembilan Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SEMUA orang punya hal yang pertama kali dilakukannya dalam hidup. Bagiku, banyak hal pertamaku memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan. Saat pertama mengupas dan mengiris bawang waktu masih kecil, bukan hanya air mataku yang berhamburan, tapi jariku juga terluka. Saat pertama kali membuat nasi goreng, tanganku terkena pinggiran wajan dan melepuh. Saat pertama kali masuk kuliah, aku dikerjain habis-habisan oleh kakak tingkat karena ada perlengkapan yang seharusnya aku bawa, tapi ketinggalan di rumah. Aku juga di-PHK dari pekerjaan kantoran pertamaku. Yang terbaru, hari pertama belajar mengemudi, aku membuat mobil kursus sedikit lecet karena masih kagok saat memutar.

Malam ini aku melakukan hal lain untuk pertama kalinya. Berhubungan intim dengan seorang laki-laki. Suamiku. Kedengarannya seharusnya romantis. Bukankah hal itu merupakan hal yang diantisipasi dengan antusias oleh pasangan suami istri? Terutama pengantin baru. Bayangkan, hal yang tadinya diharamkan berubah status menjadi ibadah ketika dilakukan setelah menikah.

Sayangnya, karena hubunganku dengan Nawasena sifatnya vertikal, tidak horizontal layaknya pasangan normal, apa yang terjadi di antara kami jauh dari kesan romantis. Tidak ada adegan saling menatap lalu wajah berdekatan dan kemudian berciuman seperti penggambaran dalam drama televisi atau film-film. Adegan yang membuat penontonnya ikut terbawa suasana dan lantas punya ekspektasi tentang sesi percintaan mereka sendiri bersama pasangannya di dunia nyata. Sentuhan lembut yang membangkitkan gairah dan memupuk perasaan cinta semakin tumbuh subur.

Yang terjadi antara aku dan Nawasena jauh dari adegan percintaan yang pernah kutonton. Tidak ada tatapan sayang, tidak ada ciuman, dan tentu saja tidak ada kelembutan. Tiba-tiba saja aku sudah telentang di atas ranjang dan dia berada di atas tubuhku. Aku bahkan tidak menyadari ketika pelapis tubuhku yang terakhir terlepas karena masih syok dengan kata-kata pedas Nawasena.

Yang kurasakan kemudian adalah rasa sakit yang menyengat ketika dia masuk dan bergerak di dalam tubuhku. Lebih sakit daripada goresan pisau saat aku mengiris bawang. Lebih sakit daripada ketika tanganku terkena pinggiran wajan panas. Rasanya seperti ada bagian tubuhku yang terkoyak.

Aku berusaha menahan supaya tidak merintih kesakitan. Aku kuat. Aku tidak akan mengeluarkan desis keluhan sekecil apa pun hanya karena rasa sakit seperti itu. Aku memang berhasil meredam suara, tapi aku tidak bisa menahan beberapa butir air mataku yang lolos.

Kurasa itu bukan tangis karena menahan rasa sakit, tapi air mata karena menyadari bahwa aku memang tidak punya harga diri dan kebanggaan sebagai manusia. Sebagai seorang perempuan. Aku adalah objek, bukan subjek. Karena begitulah cara Nawasena melihatku. Benda yang sudah dibeli dan bisa diperlakukan sesuka hatinya. Baginya, aku bukan makhluk bernyawa yang punya perasaan.

"Sialan! Kamu...!" Gerakan Nawasena mendadak berhenti. "Berengsek!"

Aku salah apa lagi? Aku buru-buru mengusap sudut mata, walaupun aku tahu dia sudah sudah melihat air mataku. Aku terus memejamkan mata supaya tidak perlu melihat wajahnya. Aku tidak ingin melihat ekspresi Nawasena yang membuatku semakin merasa terhina. Sudah cukup mendengar kata-kata yang melukai tadi.

Hening.

Aku menarik napas dalam dan panjang. Rasa sakit yang kurasa perlahan mereda. Aku tidak tahu harus melakukan apa karena tubuh kami masih bertaut. Jadi aku terus menutup mata, menunggu Nawasena beranjak dari atasku.

Tapi dia tidak segera pergi. Dia malah mengumpat, membuat nyaliku kembali ciiut. Lalu pinggulnya kembali bergerak, pelan-pelan, kemudian makin cepat sebelum mendorong kuat, bergetar, dan akhirnya rebah di atasku. Deru napas dan detak jantungnya bisa kurasakan dengan jelas.

Dia terasa berat, tapi aku tidak berani mendorongnya. Untunglah beberapa detik kemudian dia kemudian bangkit. Aku terus menutup mata, tapi aku bisa mendengar gerakannya memungut pakaian dan mengenakannya. Lalu terdengar suara pintu dibanting dengan kekuatan penuh.

Pelan-pelan aku membuka mata. Nyala lampu di bawah langit-langit berwarna putih bersih menyilaukan mata. Aku kembali mengusap sisa-sisa air di sudut mata. Aku bukanlah Ebi seperti yang tadi masuk ke kamar ini setelah mengantar Asya ke alam mimpi.

Untuk pertama kali setelah beberapa bulan menikah, aku akhirnya melakukan sesuatu yang seharusnya kulakukan sejak awal untuk semua uang yang aku terima dari Nawasena. Menjadi pemuas hasratnya.

Setelah umpatan dan dentaman pintu yang dibanting kasar, aku tidak tahu bagaimana nasibku ke depan. Dari reaksi itu sudah jelas kalau aku tidak memenuhi ekspektasi Nawasena sebagai teman tidur. Dia pasti mengharapkan seseorang yang bisa mengimbanginya, bukan yang tergolek pasrah seperti batang pisang.

Perlahan, aku bangkit dari tempat tidur. Aku merasa harus mandi lagi. Aku tahu jika berada di bawah pancuran tidak bisa menghilangkan rasa tangan Nawasena yang menjelajah tubuhku, tapi aku merasa perlu membersihkan diri.

Aku menyesali warna seprai yang tersedia di rumah ini saat mataku memindai noda yang ada di sana. Tidak banyak, tapi warna merah itu sudah merusak seprai putih pelapis ranjangku. Aku menarik benda itu, melepasnya dari kasur dan membawanya ke kamar mandi.

Seperti tubuhku, seprai itu juga harus dibersihkan. Dia beruntung karena dia hanyalah benda mati yang tidak berperasaan. Dia tidak perlu menghadapi Nawasena dengan rasa malu saat bertemu lagi. Aku iri padanya.

**

Saat mengintip lewat gorden, aku tidak melihat mobil Nawasena di garasi. Syukurlah. Aku tidak perlu bertemu muka dengannya setelah kejadian semalam. Aku belum siap mendengar hujatan tentang betapa payahnya aku di tempat tidur. Bahwa aku memang hanya cocok dijadikan bahan bakar untuk memancing kekecewaan ibunya serta kecemburuan mantan pacarnya, bukan untuk dijadikan teman tidur.

Aku memutuskan mengajak Asya jalan-jalan karena tinggal di rumah hanya akan membuatku terus memikirkan kejadian semalam dan akan membuatku semakin rendah diri dan merasa tidak berguna. Seharusnya aku bisa menahan air mata. Nawasena pasti menganggapku cengeng dan konyol. Kalau dia aktif berhubungan seksual dengan perempuan yang pernah pacaran dengannya, pasti hanya aku yang bertingkah menggelikan seperti itu. Pasti itu alasan mengapa dia kesal sampai membanting pintu begitu kerasnya.

Aku memang tidak menduga peristiwa semalam karena kejadiannya tiba-tiba, tapi aku sudah mengantisipasinya sejak setuju menikah dengannya. Nawasena tidak bisa dibilang memaksaku untuk berhubungan. Itu konsekuensi yang aku sadari sepenuh hati atas keputusan yang aku ambil saat memilihnya ketimbang Fajar.

Aku sedang menemani Asya makan spageti ketika ponselku berdering. Senyumku mengembang. Pasti Mbak Menur. Hanya dia yang akan menghubungiku di akhir pekan seperti ini. Aku belum cukup dekat dengan teman-teman kantor untuk merencanakan pertemuan di luar tempat kerja.

Mataku nanar menatap layar saat melihat nama yang tertera di sana. Tarikan bibirku perlahan surut. Bukan Mbak Menur, tetapi ibu Nawasena. Kami memang bertukar nomor saat dia meminta nomor teleponku saat kami bertemu di rumah Arsa.

"Kamu di mana?" tanya ibu Nawasena setelah membalas salamku.

"Di luar, Bu. Sedang nemenin Asya jalan-jalan."

"Langsung ke rumah ya. Ibu kirim lokasinya biar gampang kamu cari. Bawa Asya sekalian."

Permintaan itu membuatku terkejut sekaligus tidak nyaman. Nawasena pasti tidak suka kalau tahu aku mengunjungi ibunya. Tapi bagaimana aku bisa menolak permintaan berkunjung seperti itu?

Aku menarik napas panjang. "Baik, Bu." Aku hanya perlu menebalkan telinga kalau Nawasena sampai tahu dan marah.

Saat menerima tawaran menikah, yang terpikir olehku adalah bahwa sebagian besar aktivitasku akan berupa naik-turun ranjang, bukannya berada di tengah-tengah ibu dan anaknya yang mengobarkan perang dingin.

Aku berhenti di depan sebuah rumah supermegah, sesuai dengan lokasi yang dikirimkan ibu Nawasena. Berapa orang yang tinggal di rumah ini sampai mereka membutuhkan tempat yang sebegitu besarnya?

Gerbang terbuka sebelum aku turun dari mobil untuk menekan bel. Kedatanganku sepertinya sudah diantisipasi. Atau memang diawasi dari CCTV. Seorang satpam muncul dan mempersilakan aku masuk.

Saat hendak turun dari mobil, aku meyakinkan Asya sudah tampak rapi. Rambutnya aku kucir kembali. Sayangnya bajunya sedikit kotor terkena saus spageti. Kalau tahu akan mendapatkan undangan ke rumah orangtua Nawasena, aku pasti memasang banyak tisu pengaman di leher Asya saat dia makan tadi.

Aku menggenggam tangan Asya saat menuju pintu superbesar yang tertutup rapat. Semua yang ada di tempat ini tampak berukuran jumbo. Garasi yang kelihatannya bisa menampung selusin mobil, taman yang dilengkapi dengan air mancur, bahkan pos satpamnya pun jauh lebih besar daripada pos satpam pada umumnya.

Seperti gerbang, pintu yang aku tuju terbuka sebelum aku mengetuk. Aku mengeratkan genggaman tanganku pada Asya. Bukan untuk menguatkannya, tapi lebih pada menyemangati diriku sendiri. Tidak seperti Asya yang tampak biasa karena tidak mengerti apa yang sedang dilakukannya di tempat ini, aku merasa terintimidasi berada di sini.

"Silakan masuk, Mbak." ART yang membuka pintu tersenyum sopan. "Ibu sudah menunggu."

Ibu Nawasena yang sedang duduk di sofa ruang tengah superluas berdiri saat melihat aku dan Asya. Setiap kali menatap ekspresi dan senyumnya yang tulus, masih sulit untuk kupercaya jika perempuan sebaik dan selembut ini bisa melahirkan anak semenyeramkan Nawasena.

"Halo, Asya...," sapa ibu Nawasena pada Asya yang spontan berlindung di belakang punggungku. "Duh, dia emang malu-malu sama orang yang belum akrab ya?"

Aku tersenyum rikuh. "Iya, Bu."

"Duduk yuk!" Ibu Nawasena menunjuk sofa empuk yang tadi ditempatinya. "Biar ngobrolnya enak. Oh ya, selain es krim, Asya suka apa lagi? Biar nanti disiapin."

"Es krim enak!" sela Asya. "Es krim enak banget, Ebi. Aku suka es krim!"

Akhir-akhir ini aku membatasi Asya mengonsumsi es krim dan kue-kue manis yang lain. Mbok Sarti dan Bik Ika sudah aku beri tahu. Berat badan Asya naik lumayan banyak sejak kami pindah ke rumah Nawasena. Mbok Sarti dan Bik Ika sepertinya berlomba memberi Asya makan.

"Kemarin kan udah makan es krim, Sya," kataku pelan. "Hari ini nggak boleh dulu ya?"

Asya memeluk lenganku. "Es krim enak, Ebi. Aku suka. Sayang, Ebi," bujuknya.

"Sedikit aja nggak apa-apa." Ibu Nawasena mendukung Asya. Dia melambai pada seorang ART yang berdiri tidak jauh dari tempat kami duduk. "Ajak Asya makan es krim ya."

Asya yang tadinya menyembunyikan wajah di punggungku langsung semringah mendengar kata es krim. Dia bahkan tidak menolak ketika diajak meninggalkan ruang tengah. Hanya es krim yang memiliki kekuatan seperti itu pada Asya.

"Kenapa Asya nggak boleh makan es krim setiap hari?" tanya ibu Nawasena setelah Asya menghilang di bagian belakang ruang tengah. "Takut dia obesitas? Dia emang berisi, tapi belum obes sih. Masih normal aja."

Aku hendak menceritakan tentang riwayat penyakit jantung Asya yang masih rutin minum obat dan kontrol ke dokter, tetapi rasanya seperti curhat. Padahal hubungan kami tidak dekat. Ibu Nawasena bukan Mbak Menur yang tidak keberatan mendengarkan keluh-kesahku. Jadi aku lagi-lagi tersenyum saja.

"Ibu memanggilmu ke sini untuk memberikan sesuatu." Ibu Nawasena tidak memperpanjang pembahasan tentang Asya. Beliau meraih sebuah kotak berukuran cukup besar. Aku membelalak saat dia membuka tutupnya. Cincin. Sangat banyak cincin dengan aneka model dan permata. "Ini adalah cincin Ibu yang Ibu beli sendiri dan yang diwariskan nenek Sena. Pasti ada yang cocok di jari kamu. Waktu Nenek dan Ibu masih semuda kamu, jari kami juga nggak segendut saat sudah berumur," candanya.

Hanya dari penampakannya saja, cincin-cincin itu sudah terlihat mahal. Bukan benda yang biasa dan berani aku kenakan di jariku.

"Nggak usah, Bu," tolakku sungkan.

"Coba yang ini. Kayaknya cocok. Ini cincin waktu jari Ibu masih langsing seperti jari kamu." Ibu Nawasena mengulurkan sebuah cincin yang permatanya menyilaukan mata, seolah tidak mendengar penolakanku. Dia meraih tangan kananku dan menyematkan cincin itu di sana. Seperti ucapannya, cincin itu memang cocok di jari manisku. Seperti diukur khusus untuk kukenakan.

Ukurannya memang pas, tapi benda secantik dan semahal itu tidak seharusnya berada di jariku. Aku memang matre, tapi tidak sampai hati merampok barang yang mungkin punya nilai emosional seperti cincin. Apalagi dari seseorang yang baik hati seperti ibu Nawasena.

"Nggak usah, Bu." Aku mencoba melepas cincin itu.

"Cantik banget di jari kamu." Ibu Nawasena menjauhkan tangan kiriku yang hendak melepas cincin. "Ini sudah jadi milik kamu."

"Tapi, Bu, sa—"

"Ibu nggak tahu apa yang dikatakan atau dijanjikan Sena padamu sampai kamu mau menikahinya dengan cara yang nggak pantas. Dia bahkan nggak ngasih kamu cincin. Cincin memang tidak wajib masuk dalam mahar pernikahan, tapi udah lazim banget untuk menyatakan ikatan."

Aku terdiam.

"Berapa lama kalian saling mengenal sebelum Sena melamarmu?"

Aku tidak yakin ajakan menikah yang diajukan Nawasena bisa disebut lamaran. Berapa lama kami saling mengenal? Itu juga sulit kujawab. Tidak mungkin mengatakan kalau aku baru tahu nama Nawasena dari kartu namanya karena kami tidak pernah berkenalan secara resmi.

"Apakah Sena menawarkan uang?" tanya ibu Nawasena setelah aku diam saja. "Kamu pasti membutuhkan uang untuk merawat Asya setelah ibu kalian melarikan diri dari tanggung jawab, kan?"

Tenggorokanku tercekat. Ibu Nawasena seperti punya kekuatan khusus pada kelenjar air mataku karena aku merasakan desakan untuk menangis. Aku meneteskan air mata saat bertemu dengannya di rumah Arsa. Sekarang, bendungan air mataku kembali terancam jebol.

Aku menengadah untuk mengusir butiran air yang mulai terbentuk dan siap mengalir di mata. Aku benci terlihat cengeng karena ingin orang melihatku sebagai orang yang kuat. Tapi sulit sekali terlihat tegar di depan orang yang berempati.

"Ibu lahir dari keluarga yang bisa memenuhi semua kebutuhan Ibu jadi Ibu nggak bisa bilang kalau Ibu mengerti dan bisa merasakan apa yang kamu lalui. Apalagi Ibu nggak pernah harus bertanggung jawab pada orang lain seperti kamu yang mengasuh Asya. Yang Ibu tahu, pasti berat untuk anak seumuran kamu merawat seseorang yang istimewa seperti Asya."

Tanggul air mataku akhirnya pecah.

"Ibu sebenarnya nggak mau ikut campur dalam kehidupan pribadi Sena lagi, tapi sulit untuk tidak melakukannya ketika tahu dia mendadak menikah dengan orang asing di KUA tanpa memberi tahu keluarga karena dia bukan orang yang impulsif. Ibu juga nggak bisa pura-pura nggak peduli setelah tahu latar belakang kamu dan Asya karena nggak mau anak Ibu merusak kebahagiaan orang lain untuk kepentingannya sendiri."

Dari kata-kata itu, aku semakin yakin jika ibu Nawasena-lah yang menyuruh orang berkeliling untuk mencari informasi tentang aku dan Asya. Beliau juga pasti paham alasan Nawasena menawarkan pernikahan padaku. Jika beliau bisa menggali masa laluku, beliau juga pasti tahu jika Nawasena tidak tinggal di rumah yang kutempati bersama Asya.

"Kalau kamu butuh bantuan, apa pun itu, dan nggak berani minta dari Sena, kamu bisa bilang sama Ibu. Jangan sungkan. Kalau hubunganmu dengan Sena nggak bertahan, kamu dan Asya tetap bisa mengandalkan Ibu."

Aku terisak seperti ketika meratapi kepergian Nenek yang mendadak. Suara tangisku memenuhi ruangan. Sesungguhnya aku adalah orang yang lemah. Aku tidak pernah cukup kuat seperti yang aku inginkan.

**

Jangan menagih update-an di sini ataupun di IG ya. Makin ditagih akan makin lama aku update. Kalau mau baca cepet karena penasaran dan nggak mau nunggu, bisa baca berbayar di Karyakarsa. Tapi bacanya lewat web aja karena lebih murah ketimbang di aplikasi. Tengkiuuu....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro