Tiga Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

KE kamarku sekarang. 5021.

Aku langsung cemberut saat membaca pesan itu. Ternyata Nawasena bisa mengirim pesan, tapi tidak mempertimbangkan untuk membalas pesanku yang bertubi-tubi tadi siang.

Nggak bisa, Mas. Teman-teman saya akan tanya saya ke mana kalau saya keluar kamar.

Sebagai panitia, kami berusaha mengefisienkan biaya. Salah satu caranya adalah dengan memakai kamar yang seharusnya untuk dua orang menjadi 4 orang seperti sekarang. Wika dan Dita sebagai senior tidur di ranjang, sedangkan aku dan seorang teman lain kebagian kasur tambahan di bawah.

Dengan kondisi seperti itu, aku tidak mungkin menyelinap keluar kamar tanpa ketahuan tiga orang yang lain. Apalagi mereka masih asyik ngobrol meskipun sudah pukul sepuluh lewat.

Mau pakai alasan apa untuk keluar kamar? Tidak mungkin ke toilet karena ada kamar mandi di dalam kamar. Kalau aku bilang mau beli camilan supaya bisa keluar agak lama, bagaimana kalau mereka mau ikut? Kalaupun mereka tidak ikut, berarti aku harus membawa camilan saat kembali ke kamar, kan? Tidak mungkin ada camilan di kamar Nawasena karena dia hanya makan makanan sehat.

Harus bisa. Sekarang!

Dasar diktator! Aku mengomel dalam hati.

Besok aja, Mas. Di rumah.

Aku sudah bisa menduga alasannya memanggilku. Apalagi kalau bukan itu. Hubungan kami sebatas hal itu saja. Tidak mungkin dia mengajakku ngobrol soal perang Rusia-Ukraina, atau membahas masalah inflasi yang mengancam setelah kenaikan BBM.

Kamu datang sekarang, atau aku yang samperin kamu ke situ?

Aku tersenyum mengejek. Toh tidak bisa dia lihat. Mas nggak tahu kamarku.

Kamu pikir aku nggak bisa cari tahu? Ya sudah, tungggu di situ.

Senyumku menghilang. Dasar pemeras! Dia tahu persis kalau aku tidak mau teman-temanku tahu hubungan kami.

Saya ke situ sekarang.

Aku tidak punya pilihan. Aku bangkit dari posisi berbaring. "Saya keluar dulu ya, Mbak," pamitku pada Wika dan teman lain.

"Mau ke mana, Bi? Udah malam lho. Dingin banget di luar."

Aku mengangkat ponsel. "Mau teleponan dulu, Mbak."

"Kalau mau teleponan sambil cup...cup...muah...muah, di sini aja. Nanti kita pura-pura nggak dengar," sambung Dita. "Asal jangan VCS aja. Bahaya. Bisa-bisa lo sengaja direkam, dan rekamannya disebar pas lo putus. Terus rekaman bugil lo saat sedang mendesah di depan kamera itu tersebar di situs porno yang diakses orang di seluruh dunia."

"Bagus kalau hanya dijadiin bahan tontonan doang. Badan Febi kan bagus. Nggak malu-maluin. Yang bahaya itu kalau dia malah berurusan dengan polisi gegara rekaman itu. Kena undang-undang pornografi kayak kasus yang rame kemarin."

Aku hanya tersenyum mendengar gurauan itu. Setelah mengambil kunci cadangan untuk akses lift, aku bergegas keluar. Aku merasa seperti penjahat yang sedang menjalankan aksi saat celingak-celinguk untuk meyakinkan diri bahwa tidak ada teman kantor yang melihatku saat mengetuk pintu kamar Nawasena.

Aku menerobos masuk melewati Nawasena yang membuka pintu. Sebenarnya apa yang kulakukan tidak salah, tapi rasanya tetap seperti maling.

"Kenapa kayak orang panik gitu?" tanya Nawasena. "Ada yang godain dan ngikutin kamu dari lift?" Dia hendak melongok saat aku tarik.

"Jangan ngintip, Mas!" cegahku. "Nanti kelihatan orang. Mungkin aja ada teman-teman saya yang kebetulan lihat saya tadi masuk ke sini."

Nawasena menutup pintu lalu bersedekap menatapku dengan sorot mengejek seperti biasa. "Kenapa kamu harus takut kelihatan orang lain saat masuk dalam kamar suamimu sendiri? Kamu nggak sedang berselingkuh dengan orang lain."

Kami sudah membicarakan hal itu berulang kali, dan aku tidak ingin mengulangnya sekarang. Yang kupikirkan adalah kembali secepat mungkin ke kamarku sebelum teman-temanku khawatir karena aku keluar terlalu lama.

Aku duduk di ranjang dan mulai melepas kancing blus.

"Kamu ngapain?" tanya Nawasena.

Tanganku yang sudah mencapai kancing ketiga spontan berhenti. Aku menatap Nawasena bingung.

"Mas memanggil saya untuk... itu, kan?" Aku mengangkat bahu canggung.

"Untuk apa?"

Aku mengerutkan bibir cemberut. Masa harus disebutkan sih? Tapi sudahlah, kalau dia mau bermain tanya-jawab, aku layani saja. "Ya, untuk tidur sama-sama. Kan nggak mungkin untuk ngobrol. Biasanya juga kita nggak ngobrol. Saya hanya mendengarkan perintah Mas saja." Aku melanjutkan melepas kancing baju. "Cepatan, Mas. Saya harus balik ke kamar sebelum dicariin teman-teman saya karena terlalu lama keluar."

Mata Nawasena melebar. Dia tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Melihat posenya seperti itu, aku jadi ragu. Jangan-jangan dia memang tidak memanggilku untuk seks. Pikiranku saja yang terlalu negatif padanya.

"Oh, jadi Mas nggak memanggil saya untuk itu ya?" Aku tersipu dan merasa tolol. Aku mulai mengancing kembali blusku.

"Kenapa dikancing lagi?"

Aku menatap Nawasena gusar. Orang ini kenapa sih? "Katanya Mas nggak memanggil saya untuk itu?"

"Aku nggak bilang begitu."

Apa-apaan sih! Aku sudah seperti pesulap yang mencoba trik buka-pasang kancing baju. Aku kembali membuka kancing blus. "Ya sudah, kalau begitu cepetan, Mas!" ujarku tidak sabar. Bukan dia yang dikejar waktu. Situasiku sekarang mirip Cinderella. Penyamaranku akan terbongkar kalau aku tidak kembali tepat waktu ke kamarku.

"Aku udah kehilangan minat karena disuruh cepat-cepat. Apa kamu nggak tahu kalau gairah laki-laki bisa hilang karena kata-kata seperti itu? Ah, kamu kan nggak punya pengalaman jadi nggak tahu hal-hal seperti itu. Jangan ulangi lagi. Aku akan cepat-cepat kalau aku memang mau cepat."

Tanganku masih di kancing baju. Jujur, kata-katanya membuatku bingung. "Kalau Mas udah nggak minat lagi, berarti saya boleh pergi sekarang?"

"Tentu saja tidak. Kamu tinggal di sini sampai aku berminat lagi."

"Apa?" Aku menatapnya putus asa. Orang ini benar-benar ujian mental. "Berapa lama?"

Nawasena menyipitkan mata mata mengawasiku. Aku tidak yakin, tapi sepertinya dia sedang menahan senyumnya. "Berapa lamanya, itu gantung kamu sih."

"Tapi saya nggak bisa lama-lama di sini, Mas. Besok aja di rumah ya, Mas," pintaku memelas.

"Urusan besok itu lain lagi. Kita kebetulan sudah di sini. Suasananya berbeda dengan di rumah. Kita belum pernah liburan berdua seperti ini."

Ini bukan liburan kami! Ini acara liburan kantorku. Kalau membunuh itu dilegalkan, aku akan melempar kepalanya dengan benda paling berat yang bisa kutemukan di dalam kamar ini. Saat kepepet, aku pasti bisa mengangkat brankas dengan tenaga dalam.

"Kenapa kamu suka sekali menatap aku seperti nantangin gitu?"

Aku mengembuskan napas pasrah. "Saya nggak mungkin nantangin mesin ATM saya, Mas."

"Kamu itu mirip Gober Bebek. Hanya uang dan uang saja yang dipikirin. Kalau kamu mau cepat-cepat balik ke kamar kamu, berarti kamu harus cepat-cepat juga membangkitkan hasratku untuk bercinta sekarang juga."

"Bagaimana?" tanyaku bersemangat. Aku akan melakukan semua yang dia perintahkan supaya kereta kencanaku tidak berubah jadi labu.

"Akan aku ajarin caranya."

Tapi Nawasena membohongiku. Dia memang bisa mengajariku cara membuat hasratnya kembali lagi, tapi dia tidak segera melepasku setelah dia rebah di sebelahku dengan napas memburu. Aku baru berhasil melepaskan pelukannya menjelang subuh ketika tidurnya sudah benar-benar lelap.

Untunglah teman-temanku tidak terbangun saat aku kembali ke kamarku. Aku tidak bisa segera tertidur lagi. Ingatanku menguliti apa yang tadi terjadi di kamar Nawasena. Rasanya seperti menonton film biru yang kuperankan sendiri.

Kedua jari tanganku tidak cukup untuk dipakai menghitung jumlah sesi hubungan intim yang telah kami lakukan, tapi biasanya tidak seperti tadi. Tadi itu rasanya berbeda. Lebih tak terkendali dan terkesan liar. Nawasena memintaku melakukan hal-hal yang tidak pernah kulakukan, sama seperti dia yang menyentuhku dengan cara yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya.

Apakah itu karena kami melakukannya di tempat yang berbeda? Selama ini kami memang hanya berhubungan di kamar Nawasena, meskipun tidak melulu di atas ranjang. Sofa termasuk tempat yang dia sukai.

Apakah wajar memikirkan dan membayangkan hubungan intim seperti yang sedang kulakukan sekarang? Apakah setelah sering melakukannya, seks akan menjadi adiksi?

Percakapan dengan Sunny terngiang kembali. Apakah melakukannya dengan siapa saja rasanya akan sama, atau berbeda karena aku mempelajari semuanya dari Nawasena, sehingga dia menjadi istimewa? Berbagai pertanyaan yang tidak kutahu jawabannya terus berputar di dalam kepalaku.

Aku tertidur pukul empat lewat, dan terbangun hampir satu jam kemudian dengan kepala yang sakit dan tubuh yang pegal. Pasti pengaruh kasur tambahan yang tidak nyaman.

Untunglah pening yang kurasakan tidak menghambatku mengerjakan tugas sebagai panitia gathering, walaupun aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi lesu karena Pak Rigen menghentikan langkahku saat lewat di dekatnya.

"Kamu sakit, Bi? Mukamu pucat tuh. Istirahat saja dulu."

"Hanya sakit kepala sedikit kok, Pak." Akibat kurang tidur, tapi aku hanya menambahkan dalam hati.

"Sudah minum obat?" Pak Rigen benar-benar tampak khawatir.

"Belum, Pak." Aku tidak membawa persediaan obat untuk berjaga-jaga. Aku tidak merasa membutuhkannya. Selain flu dan pegal-pegal saat PMS, aku hampir tidak pernah sakit. Kurasa tubuhku mengerti bahwa aku harus selalu sehat untuk Asya.

"Duduk di sini." Pak Rigen berdiri dan menyuruhku duduk di kursinya. "Saya ambil obat dulu di kamar. Jangan ke mana-mana. Biar yang lain yang beresin peralatan yang sudah dipakai untuk kegiatan outbond tadi. Kamu memang pasti capek karena dari kemarin udah sibuk banget. Nanti pulangnya ikut mobil saya saja, nggak usah ikut bus. Biar saya antar langsung ke rumah kamu." Pak Rigen sudah bergerak pergi sebelum aku menjawabnya.

Aku mengurut dahi. Kepalaku semakin berdenyut. Dering ponsel yang kukantongi mengalihkan perhatianku.

"Iya, Mas?" jawabku lesu. Mudah-mudahan bukan perintah lagi. Kepalaku sudah nyaris pecah.

"Pulangnya kamu ikut aku aja, nggak usah ikut rombongan." Kata-katanya sama persis seperti yang diucapkan Pak Rigen. "Ini perintah, bukan tawaran, jadi nggak usah nolak." Telepon ditutup.

Aku menatap layar ponselku sebal. Aku tahu itu perintah. Sejak kapan dia meminta atau menawarkan sesuatu? Dia selalu menyuruh.

Aku pamit pada Wika dan teman-teman lain setelah semua anggota rombongan gathering yang tidak membawa mobil sendiri masuk bus.

"Saya ikut keluarga saya aja, Mbak, jadi langsung pulang ke rumah. Tadi ketemu dia di lobi. Ternyata dia juga liburan ke sini." Aku menambah catatan dosa dengan berbohong.

Aku baru duduk di mobil Nawasena saat ponselku berdering. Aku mengaduk-aduk tas dan mengeluarkan benda itu. Pak Rigen! Astaga, aku terlalu sibuk mengurus rombongan sampai lupa kalau aku belum sempat menolak ajakannya untuk pulang bareng.

"Saya ikut pulang bersama keluarga saya yang kebetulan liburan di sini juga, Pak," kataku saat Pak Rigen menanyakan keberadaanku. "Maaf saya lupa memberi tahu kalau saya tidak jadi ikut Bapak." Aku tidak berani menoleh pada Nawasena saat berbohong di depan hidungnya seperti sekarang. Dia pasti sedang tersenyum mengejekku.

"Gimana kepala kamu, masih sakit?" tanya Pak Rigen.

"Sudah mendingan setelah minum obat yang Bapak kasih tadi kok. Terima kasih, Pak," jawabku formal.

Setelah berbasa basi menyuruhku istirahat, Pak Rigen akhirnya mengakhiri percakapan. Aku menarik napas lega karena tidak perlu menambah kebohongan lagi.

"Rigen ngajak kamu pulang bersama dia, terus kalian hanya berdua di mobilnya?"

"Tadi saya nggak enak badan, Mas. Jadi Pak Rigen ngasih obat dan nawarin pulang bareng supaya langsung diantar ke rumah," jawabku jujur.

"Jadi, kalau aku nggak suruh kamu ikut aku, kamu akan ikut pulang sama dia?"

Tentu saja tidak. Aku aku pasti akan ikut rombongan. Aku tidak mau jadi bahan gosip kalau ikut Pak Rigen yang membawa mobil sendiri.

"Sa—"

"Lain kali jangan terlalu naif. Hati-hati sama orang yang nawarin obat. Bisa saja itu obat tidur atau obat perangsang. Kalau kamu dikerjain bagaimana?"

"Pak Rigen nggak mungkin ngerjain saya, Mas." Aku spontan membela Pak Rigen. "Dia baik banget."

"Baik yang kamu nilai itu hanya di permukaan. Kamu nggak pernah tahu isi pikiran orang lain. Jangan pernah percaya sama siapa pun juga!"

Termasuk dirinya. Tapi aku tidak mau berdebat. "Iya, Mas." Aku mengatur kursi supaya bisa setengah berbaring. Peningku belum benar-benar hilang. Kantuk mulai menyerangku.

"Jangan terlalu dekat sama Rigen di luar urusan kantor, nanti dia salah paham dan mengira bisa mendekati kamu."

Pak Rigen tidak mungkin berpikir untuk mendekatiku, tapi lebih baik tidak membantah. "Iya, Mas." Mataku mulai terasa berat. Aku memejamkan mata.

"Aku sudah bilang kalau kamu harus pakai cincin. Kalau kamu memang mau merahasiakan status kamu yang sudah menikah, dengan pakai cincin, setidaknya orang akan tahu kalau kamu sudah terikat, dan nggak berusaha mendekati kamu. Kamu toh nggak perlu menjelaskan terikat dengan siapa."

"Iya, Mas." Posisiku sudah sangat nyaman. Rasanya mulai di awang-awang.

"Aku masih nggak mengerti kenapa kamu nggak mau teman kantormu tahu kalau kamu sudah menikah. Sama seperti aku nggak ngerti kenapa aku mau saja ikut dalam permainan ko...."

Suara Nawasena timbul tenggelam dan aku tidak bisa lagi menangkap apa yang dia katakan, tapi aku merasa harus meresponsnya.

"Iya, Mas."

"...."

"Iya, Mas."

"...."

"Iya, Mas."

Dan aku terlelap.

**

Bisa ke Karyakarsa kalau mau baca cepat ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro