Tujuh Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HAMPIR tengah malam saat aku sampai di rumah. Selepas kantor, aku bergabung dengan teman-teman kantor mengajakku nongkrong. Acara nongkrong itu menjadi semacam rutinitas setelah gajian. Biasanya aku tidak ikut, tapi rasanya tidak enak terus-terusan menolak. Jadi sekali ini aku bergabung.

Waktu nongkrongnya sengaja dipilih Jumat malam supaya bisa lebih lama. Kami tidak harus buru-buru pulang karena besoknya libur weekend. Benar saja, aku memecahkan rekor terlama waktu pulang selama tinggal di rumah Nawasena.

Saat memarkirkan mobil di garasi, aku melihat ada mobil lain yang tidak aku kenali. Apakah Nawasena memakai mobilnya yang lain atau ada tamu? Tapi rasanya tidak masuk akal seseorang bertamu di waktu seperti sekarang. Dan, siapa yang mau tamu itu kunjungi? Aku rasa semua orang yang berhubungan dekat dengan Nawasena tahu bahwa dia tinggal di apartemen, bukan di rumah ini.

Lampu di ruang tengah masih terang-benderang, tapi tidak ada siapa pun di sana. Mbok Sarti dan Bik Ika tidak ada di dapur, tempat mereka biasanya bersiap menerima perintah saat Nawasena berada di rumah.

Suara tawa dari ruang kerja Nawasena masuk telingaku. Gelak itu tidak familier. Aku memang belum pernah melihat dan mendengar Nawasena tertawa dengan tulus, tapi nada riang yang baru saja kudengar itu tidak cocok dengan Nawasena.

Seharusnya aku tidak mendekat, tapi rasa penasaran mengalahkanku. Pertama, selain ibu Nawasena, rumah ini tidak pernah kedatangan tamu, jadi aneh saja ada yang berkunjung ke sini. Kedua, ini bukan waktu yang lazim bagi Nawasena pulang ke rumah karena dia tidak pernah menginap. Ketiga, aku tidak melihat mobil Nawasena di luar, jadi aku ingin memastikan kalau suara tawa tadi memang benar-benar bukan suaranya.

Pintu ruang kerja Nawasena tidak terkatup rapat. Itulah mengapa suara tawa dari sana bisa terdengar sampai di luar.

"... Fajar masih sebel banget tuh karena cewek incerannya malah lo ajak nikah." Suara itu jelas bukan milik Nawasena. "Kalau beneran serius nikah, ada banyak cewek bener lain yang bisa lo lamar, Sen. Gila lo! Nikah itu sakral lho, bukan bahan mainan. Gue yakin, nggak lama lagi lo bakal jadi duda hanya karena iseng nikahin cewek yang entah siapa hanya untuk bikin nyokap lo dan Vierra jengkel. Itu nggak worth it, bro!"

"Gue nggak masalah sama status duda," jawab Nawasena. Nadanya setenang biasa. "Itu kan bukan aib. Hampir setengah dari jumlah laki-laki yang sudah menikah pernah menyandang atau masih berstatus duda."

Tawa teman ngobrol Nawasena terdengar lagi. "Lo nggak masalah dengan apa pun selama rasa kecewa dan sakit hati lo terbayar, kan? Apa lo nggak merasa kalau dengan bersikap kayak gitu lo jatuhnya malah mirip cewek SMA yang baperan? Okelah, ibu lo mungkin nyesal karena penolakannya pada Vierra malah bikin lo nikah dengan orang asing yang latar belakangnya pasti jauh lebih jelek daripada Vierra. Tapi Vierra, lo yakin dia peduli? Dia kelihatan bahagia sama Arsa. Lo harus terima itu. Apalagi Arsa itu sepupu lo sendiri. Ikhlasin, bro! Bukan untuk kebahagiaan Arsa dan Vierra, tapi untuk ketenangan diri lo sendiri. Sampai kapan lo mau bertindak kekanakan kayak gini hanya karena lo nggak bisa dapetin sweetheart childhood lo?"

Hening sejenak.

"Gue ngomong blakblakan gini karena gue sahabat elo, Sen. Kalau bukan gue yang ngingetin lo, siapa lagi? Lo hanya bicara kerjaan sama bokap lo, dan hubungan sama nyokap lo udah renggang. Udah, lupain semua dendam-dendam itu deh. Mulai hidup baru. Lo udah nikah. Mulai serius menjalaninya, jangan jadiin istri lo sekadar sarana balas dendam doang. Latar belakangnya nggak penting selama kepribadiannya baik, kan? Orang hidup tuh fokusnya ke depan. Keseringan lihat ke belakang malah bikin kesandung dan jatuh."

Ganti Nawasena tetawa. Seperti biasa, getir dan kering. "Kalau gue akhirnya memulai hidup baru, gue nggak akan memulainya dengan Febi. Gue akan memulainya dengan benar. Caranya benar, orangnya tepat."

"Beneran nggak nyesal?" Nada teman Nawasena terdengar menggoda. "Istri lo cantik gitu. Gue yakin performanya di tempat tidur nggak jadi masalah karena jam terbangnya udah tinggi. Jangan-jangan lo yang kewalahan ngadepin dia!"

"Lo sinting ya!" gerutu Nawasena. "Gue nggak berpikiran pendek kayak Fajar yang gampang terpesona sama kecantikan sampai bersedia ngorbanin kesehatan. Gue nggak mau terkena penyakit kelamin. Tujuan gue nikahin dia bukan untuk cari teman tidur. Kepuasan sesaat nggak imbang kalau ujung-ujungnya malah dapat AIDS."

Gelak teman Nawasena semakin menggelegar. "Gue nggak tahu apakah Fajar akan senang atau malah makin sebel saat tahu kalau calon teman tidurnya malah dianggurin setelah lo nikahin."

"Dia tahu kok. Gue bilang sama dia, kalau masih tertarik, tunggu sampai gue cerai dulu."

"Dasar gila!" Tawa teman Nawasena berganti omelan. "Yang lo berdua omongin itu adalah perempuan yang punya perasaan lho. Gue sumpahin lo berdua kena karma! Gue...."

Aku berjingkat menjauh dari ruang kerja Nawasena. Tidak ada lagi yang perlu aku dengar. Semuanya hanya menjadi penegasan bahwa aku hanyalah pion yang berfungsi menjadi alat pembalasan dendam-dendam masa lalu yang masih berkobar, tidak terpadamkan oleh dinginnya waktu.

Aku tak perlu sakit hati untuk semua hal yang seharusnya aku terima sebagai konsekuensi karena mencari uang. Toh, beban menjadi budak ini tidak akan lama. Setelah bercerai dengan Nawasena pada waktu yang dia rencanakan, aku akan memulai hidup baru dengan Asya. Kami akan bahagia berdua. Kami tidak perlu orang lain selama aku punya pekerjaan dan sanggup menggaji orang yang akan mengawasi dan menemaninya di siang hari.

Jumlah orang yang berada di sisi kita bukan jaminan untuk merasa bahagia. Yang terpenting adalah siapa orangnya.

**

Sepulang kantor, aku mampir di toko perhiasan di mal. Aku berniat mencari kalung sebagai pengganti kalung kembarku dan Asya yang sudah berkarat. Kalung imitasi memang gampang karatan, apalagi kalau umurnya sudah tahunan.

Membeli kalaung emas bukan pemborosan karena bisa dijual kembali kalau kepepet butuh uang, walaupun aku harap aku tidak akan kembali ke posisi kekurangan uang lagi. Tabunganku aman. Setelah "bekerja" pada Nawasena selama beberapa bulan, angka di rekeningku sudah mencapai tiga digit. Jumlah yang tidak pernah terbayangkan akan kumiliki. Nawasena adalah majikan yang royal, walaupun menyebalkan untuk dihadapi. Syukurlah aku jarang-jarang bertemu dengannya. Kalaupun kebetulan berpapasan di rumah, kami hanya terlibat basa basi singkat.

Aku sudah memutuskan untuk tidak mengusiknya dengan pertanyaan atau perdebatan yang berpotensi mempercepat proses pemecatanku sebagai istri. Asya sangat nyaman berada di rumah Nawasena, dan aku ingin kenyamanannya berumur panjang. Aku tahu jika umur panjang yang kumaksud tidak akan berlangsung selamanya, karena aku dan Nawasena tidak diikat dengan kata abadi, kekal, atau ketika maut memisahkan. Tidak ada kata-kata romantis seperti itu. Tapi aku masih butuh waktu setidaknya beberapa bulan lagi untuk membuat rekeningku semakin mapan.

Saat tabunganku sudah dua kali lipat dari sekarang, aku dan Asya akan siap memasuki fase hidup nyaman yang baru. Levelnya tentu berbeda dengan yang dia nikmati sekarang, tapi aku akan mendapatkan kemerdekaanku kembali. Bebas dari penindasan verbal seorang Nawasena yang jemawa.

"Ini cantik banget, Mbak." Pegawai toko mengeluarkan kalung yang aku tunjuk di etalase. "Liontin ruby-nya bikin kalungnya kelihatan elegan. Cocok banget untuk tone kulit Mbak."

Liontin rubin itulah yang memang menarik perhatianku karena akan kelihatan bagus di kulit Asya yang putih. Harga kalung itu memang tidak murah, tapi seperti yang kubilang, perhiasan adalah investasi yang gampang diuangkan kembali. Perhiasan Nenek dulu keluar masuk pegadaian saat aku butuh uang untuk kuliah. Ada yang tidak pernah kembali lagi karena sudah dilelang pegadaian untuk menebus utang.

"Saya mau sepasang, Mbak. Masih ada, kan?" Yang dipajang hanya satu, sedangkan aku perlu dua supaya bisa kembaran sama Asya.

"Ada kok, Mbak. Kebetulan memang tinggal dua."

Aku baru selesai membayar dan menunggu kalungku dikemas saat sosok yang familier mendadak masuk di toko perhiasan itu. Arsa. Senyumnya yang lebar tampak hangat saat mengenaliku.

"Hai...," sapanya ramah. "Sena mana?"

Entahlah. Mungkin sudah pulang ke apartemennya. Aku tidak pernah bertemu muka dengan Nawasena sejak makan siang bersama Pak Rigen tempo hari. Aku juga hanya mendengar suaranya saat dia datang ke rumah bersama temannya tengah malam minggu lalu.

"Ehm...." Aku mengusap dahi. Tidak mungkin menjawab seperti apa yang ada dalam pikiranku sekarang. "Saya ke sini sendiri kok, Mas." Aku memilih tidak menjawab secara langsung. "Langsung dari kantor, jadi nggak sama-sama Mas Sena."

"Oohh...." Pandangan Arsa tertuju pada etalase. Dia tampak serius mengamati deretan kalung terpajang di bagian khusus yang berhias berlian. Jenis perhiasan yang saat diambil, pegawainya akan memakai sarung tangan khusus supaya benda itu tidak ternoda.

Seandainya pegawai toko sudah menyerahkan kotak perhiasan yang aku beli, ini saat yang tepat untuk kabur. Aku tidak mau berinteraksi terlalu lama dengan sepupu Nawasena itu.

"Menurut kamu ini cocok untuk hadiah ulang tahun pernikahan yang pertama?" tanya Arsa. Dia menunjuk sebuah kalung yang desainnya rumit dan bertabur berlian.

Pertanyaan itu jelas ditujukan padaku, jadi aku pura-pura ikut mengamati saksama, seolah belum mengintip kalung yang dia tunjuk.

"Cocok banget, Mas. Mbak Vierra pasti suka." Mana ada perempuan yang tidak suka perhiasan yang harganya bisa dipakai untuk membeli rumah mewah? Kalau ada yang menolak hadiah seperti itu, dia pasti perempuan sok idealis dengan harga diri setinggi langit, yang hanya eksis di dunia fiksi atau film-film romantis yang menjual mimpi.

"Tapi ini juga bagus, kan?" Arsa menunjuk kalung lain yang lebih simpel, tapi tetap bertabur berlian, dan aku yakin harganya sama mahal.

"Itu juga bagus, Mas." Aku membeo menyetujui pendapatnya.

"Menurut kamu, mana yang lebih cocok untuk Vierra?"

"Saya... saya nggak tahu, Mas. Dua-duanya bagus banget."

Aku sudah melihat dan berkenalan dengan Vierra saat ke rumah Arsa tempo hari. Vierra menjadi orang terakhir yang berkenalan denganku karena dia baru bergabung di halaman belakang menjelang aku pulang, tidak lama setelah aku memergoki percakapannya dengan Nawasena.

Vierra itu, bagaimana caraku menggambarkannya ya? Dia cantik, itu pasti. Kulitnya putih bening. Aku tak heran kalau dia menjadi rebutan banyak laki-laki. Tapi yang menarik perhatianku adalah sikapnya. Dia tidak tampak seperti orang yang punya masa lalu kelam seperti aku. Orang yang pernah bekerja di ruangan remang-remang yang kemudian kehilangan kepercayaan diri ketika berhadapan dengan orang lain yang status sosialnya lebih tinggi. Seperti ketika aku menghadapi ibu Nawasena, misalnya.

Vierra memiliki kepercayaan diri yang besar. Kelihatan dari caranya membawa diri. Tidak ada sikap canggung atau kikuk. Dia santai. Tampaknya dia sudah berhasil menyesuaikan diri dengan keluarga besar Nawasena, termasuk dengan ibu Nawasena sendiri yang menurut hasil ngupingku, yang pernah menolaknya.

Kecantikan, penampilan menarik, dan kepercayaan diri yang besar membuat Vierra mengingatkanku pada beberapa artis seperti Raisa atau Raline Shah. Elegan. Perempuan-perempuan beraura mahal yang membuat laki-laki yang berkantong pas-pasan takut mendekat. Benar-benar tak terbayangkan kalau perempuan yang tampak begitu eksklusif pernah bekerja di kelab. Seharusnya dia menjadi model atau aktris.

"Kalau kamu harus milih, kamu lebih suka yang mana?" tanya Arsa lagi. Tatapan bingungnya menyatakan jika dia sungguh-sungguh menginginkan pendapatku.

Aku menunjuk kalung kedua ragu-ragu. "Saya suka yang ini sih, Mas. Tapi selera Mbak Vierra mungkin beda dengan saya."

"Mbak, lihat yang itu ya." Arsa ikut menunjuk kalung yang kumaksud. Dia menoleh dan tersenyum padaku. "Thanks udah bantuin ya."

Aku balas tersenyum ragu. Semoga saja dia tidak menceritakan pertemuan kami pada Vierra, apalagi sampai mengatakan jika aku membantunya memilihkan kalung hadiah pernikahan mereka. Aku yakin tidak ada perempuan yang suka saat mendengar jika istri mantan pacarnya membantu suaminya memilihkan kado untuknya.

**

Untuk yang belum baca sampai tamat dan pengin baca lebih cepat, bisa ke Karyakarsa ya. Beli koin dan bacanya lewat Web aja, nggak usah download aplikasi kalau belum punya. Lewat web harga koinnya jauuuuh lebih murah.

Di Karyakarsa juga ada banyak Ekstra Part dari novel-novel yang udah tamat, jadi kalau kalian pengin tahu perkembangan cerita karakternya setelah versi novel, bisa baca di Karyakarsa.

Di sana juga ada cerita si Mesum Rakha. Cuma karena dia kontennya dewasa walaupun nggak eksplisit-eksplisit banget, nggak aku saranin untuk dibaca di bulan Ramadan sih.

Lopyu, gengs.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro