Ontobugo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah dua tahun Ontobugo menunggu kedatangan sang nabi yang dijanjikan. Tubuh bersisiknya menggeliat di dalam gua yang ia semayami, surai emasnya berdebur terkena angin kering dari sebelah selatan negeri Syam. Membran sayapnya menguncup melindungi tubuhnya dari badai pasir yang sering mengguncang tempat itu. Ekor tajamnya menusuk-nusuk pasir, uap suam berkali-kali berembus dari moncongnya, tanduknya teguh melingkari ubun-ubunnya bagai mahkota. Mata birunya menatap untaian pasir yang jatuh dari cakar tajamnya. 

"Salam bagimu, Naga dari Timur."

Ontobugo langsung mengangkat kepalanya dan menoleh ke mulut gua. Di sana, ia menyaksikan seorang bapak-bapak tua berjubah hitam yang bertumpu pada tongkat kayunya. Raut wajahnya begitu keriput, tetapi sorot matanya berkobar-kobar laiknya nyala api. Janggut putih-kelabunya sepanjang dada dan kepalanya dililit oleh sorban hitam. Ontobugo seketika mengenali siapa orang tersebut.

"Oh, engkau lagi?" tanyanya menggeram, ada nada ancaman dalam suaranya. "Apakah engkau akan menggodaku kembali?"

Sang pria tua tertawa kecil, kemudian menggelengkan kepalanya. Dia menjawab, "Sebaliknya. Aku ingin engkau menitipkan salamku pada seseorang."

Ontobugo semakin cepat mengibas-ngibaskan ekor tajamnya ke pasir tempatnya duduk. Tidak biasa bagi makhluk sombong sepertinya untuk meminta tolong. "Katakanlah, dan tinggalkanlah aku sendiri."

Seakan mengabaikan kalimat Ontobugo, sang pria tua berkata, "Sampaikanlah salamku kepadanya, kepada Mustafa."

Kedua mata birunya membelalak. Hampir saja taring dan pangkal tenggorokan Ontobugo akan terlihat jelas jika ia tidak segera menutup mulutnya. Apa ia tidak salah dengar? Tidak, mana ada makhluk sepertinya yang sudi untuk tunduk kepada manusia manapun? Ontobugo menggelengkan kepalanya hingga butir-butir pasir berjatuhan dari surainya seperti tetesan embun di pagi hari.

"Bukankah engkau membenci manusia sepenuh hati?" tanyanya keheranan. "Atau, ini hanya salah satu trik dari sekian banyak tipu dayamu?"

Sang pria tua renta hanya tersenyum dan berkata, "Engkau semestinya bisa membaca diriku. Lagipula, apa untungnya jika aku berbohong mengenai hal-hal semacam ini?"

Ontobugo menggertakkan taring-taringnya dan menyergah, "Kalau engkau macam-macam dengan dia, aku akan—"

"Aku tidak membencinya."

Ontobugo menyipitkan matanya. "Apa?" katanya ternganga keheranan, tak jadi menyerangnya.

"Bagaimana aku bisa membenci dia yang dicintai oleh-Nya? Tapi tentu saja, kuakui, aku sempat sedikit cemburu juga pada suatu waktu," terangnya seraya duduk bersandar di mulut gua. Tongkat kayunya ia taruh dalam pangkuannya, kemudian ia menyentuh pasir di bawah kakinya dengan kedua telapak tangannya, dan mengusapkan kedua telapak tangannya tersebut ke seluruh wajahnya.

Ontobugo kini mengubah posisi duduknya agar menjadi lebih nyaman. "Lantas, jika engkau tak membencinya, mengapa engkau enggan bersujud padanya? Atau bapa dari Syits?" tanyanya lagi.

Sang pria tua menghela napas dalam-dalam dan mulai bercerita. "Engkau menanyakan pertanyaan yang sama seperti ketika aku dan Ibnu Imran bercakap-cakap di Gunung Sinai. Ia begitu mengidam-idamkan mampu menengok wajah-Nya yang agung, maka Dia berfirman padanya agar melihat sebuah gunung di kejauhan, jika gunung tersebut masih kokoh, maka ia akan mampu melihat-Nya dengan sempurna. Ketika Dia menampakkan diri di sebuah gunung, gunung tersebut seketika menguap menjadi abu. Ibnu Imran langsung tak sadarkan diri," paparnya seraya terkekeh-kekeh, menyingkapkan geliginya yang kuning dan hitam.

"Lantas, saat aku datang," lanjut sang pria tua, menyeringai ke arah Ontobugo, "ia menanyakan pertanyaan yang sama, ya, kurang lebih sama dengan apa yang engkau tanyakan tadi."

Sang pria tua melempar pandangannya keluar dari mulut gua, mengamati pelepah-pelepah kurma yang terpapar angin kering. "Aku menjawab, bahwa aku lebih fanatik dalam masalah ketauhidan daripada dirinya. Ibnu Imran, ketika diperintahkan melihat gunung, ia melihatnya, dan itu pun hanya sekali. Sedangkan aku sudah berulangkali diperintah bersujud pada tanah liat, dan aku tak pernah bersujud selain pada diri-Nya," ujarnya berusaha menyembunyikan tawa dan tangis.

Ontobugo menelan ludahnya sepelan mungkin. Ia belum pernah mendengar kisah ini sebelumnya, dan masih tak yakin apakah dari lidah api orang ini keluar kebenaran atau kebatilan. Namun apa yang pria ini katakan mengikat hatinya, maka ia biarkan sang tua renta melanjutkan kisahnya.

"Lalu Ibnu Imran bertanya, "Namun engkau telah dilaknat, dan kini tubuhmu telah diubah menjadi mengerikan. Aku tentu saja tertawa dalam hati dan membalas, "Tentu saja ini hanya ujian sementara, dan engkau akan melihatku dalam wujud berbeda kelak begitu aku selesai berkhotbah di akhir masa."

Sang pria tua mengangkat pandangannya dari dunia luar dan menengok Ontobugo, menyiratkan bahwa kisahnya telah usai. "Sudah. Apa yang kujelaskan sudah cukup bagimu untuk menyampaikan salam padanya?"

Selama beberapa detik kesunyian bertakhta di antara mereka berdua sebelum Ontobugo memecah keheningan. "Mengapa engkau tidak bertemu sendiri dengannya?" tanyanya pelan dan hati-hati.

Sang pria renta menaikkan alis sebelah kirinya. "Dan membiarkan kepalaku terpenggal oleh pedang para penjaganya?"

Sunyi bertakhta di antara mereka berdua selama beberapa detik, dengan Ontobugo yang berusaha meresapi makna dari kalimat tadi. Benar juga kata-katanya. Kendati demikian, Ontobugo tak habis pikir, mengapa dia dan bukan makhluk lain yang diminta untuk melakukannya? Penasaran, ia berkicau kembali, "Kenapa engkau memilih datang padaku?"

Seraya menancapkan tongkatnya ke pasir kembali, dia menegaskan, "Hm? Karena sebentar lagi ia, Ibnu Quhafah, dan Ibnu Hisham beserta rombongan kafilahnya akan melintas kemari."

Sungguh hendak copot jantung Ontobugo begitu mendengar sang pria tua memberitakan hal tersebut. Ia sudah hendak berdiri dan mengepakkan sayapnya keluar untuk melihat sang nabi dari kejauhan, tetapi kalbunya dengan cepat dirayapi oleh keraguan. "Bagaimana mungkin aku tahu engkau tak berdusta?" tuduhnya sinis, kedua mata buasnya menyorot sang pria tua.

Sang pria tua segera bangkit dari batu tempat duduknya dan membiarkan punggungnya bersandar di dinding gua. "Yang bisa meyakinkan dirimu hanya engkau sendiri dan Dia. Keputusan ada di tanganmu, Naga dari Timur. Kita semua pasti akan memainkan peran masing-masing, entah kita rela atau tidak. Untuk diriku sendiri, tekad dan komitmenku bulat sudah. Aku telah menerima apa yang sudah digariskan dengan senang hati, dan aku takkan berpaling dari tatapan-Nya, selama-lamanya."

Sebelum sang pria tua sempat memalingkan seluruh wajahnya dari kedalaman gua, Ontobugo merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam dadanya, seolah-olah ada kerikil kecil yang menyumbat alat pernapasannya. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berseru pada sang pria tua, "Tunggu! Engkau bilang, tadi, engkau sempat cemburu. Apakah engkau masih mengingat dan mencintai-Nya, walaupun Dia lebih mencintai manusia yang kutunggu?"

Sang pria tua terdiam. Seluruh batu, butir pasir, angin, pepohonan kurma, mata air, dan binatang seakan menanti jawabannya. Ontobugo bersumpah demi nama-Nya bahwa ia bisa menyaksikan setetes air menggenang di kelopak matanya, berusaha meronta dan mendobrak keluar dari kekangan pagar-pagar hitam. Ontobugo akan mengingat benar apa yang dia katakan sebelum sang pria tua menghilang dari pandangannya.

"Tidakkah kau mengerti? Semakin besar cinta-Nya untuk seseorang selain diriku, maka semakin besar cintaku pada-Nya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro