Para Penabur Biji

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sial," umpat Katil.

Pria itu meraba-raba barang apapun di sekitarnya, mencoba melangkah perlahan, selangkah demi selangkah menuruni kasur dan menyibak selimut. Walaupun kedua matanya terbuka lebar, hanya warna hitam yang ditangkapnya—tak terbiasa dengan transisi cepat dari terang menuju gelap. Ia yakin, dirinya sudah membayar tagihan listrik beberapa hari lalu. Semestinya tidak ada masalah lain.

Tetesan air membasahi kusen jendela kamarnya yang berdebu dan usang. Aroma petrikor merasuk perlahan, menelusup ke dalam hidung, sementara suara tarian air dari langit beradu dengan desingan halilintar yang semakin mengganas. Hawa dingin menusuk-nusuk kulit Katil, meskipun jendelanya sudah tertutup rapat. Samar - samar, ia sibak tirai kelabu. Dari sana, Katil menyaksikan lampu di rumah-rumah tetangganya ikut padam—beberapa ada yang berkedip-kedip, meredup, lalu mati di bawah angin pembawa hujan. Beberapa penggantung baju berdenting dari jemuran mereka.

Jemuran. Katil baru ingat sekarang. Segera ia tapakkan kaki lusuhnya menuju dapur, tetapi ketika baru berjalan beberapa langkah, telapak kakinya terasa agak lengket dan basah. Langkahnya terhenti sesaat, ada perasaan tidak enak dalam hatinya. Ditatapnya langit-langit rumah dengan tatapan ganjil.

Yang benar saja, apa atapnya bocor?

Katil merogoh gawai dari saku celakanya dan menyalakan fitur flashlight. Penglihatannya menyambar kasur, kursi, meja belajar, ubin lantai, lalu naik ke atas lemari baju. Syukurlah, masih ada beberapa batang lilin yang tersisa di atas sana. Ia agak malas untuk keluar ke toko kelontong terdekat akhir-akhir ini. Semoga saja kegelapan ini tidak memakan waktu lama. Katil masih hendak mengerjakan hal-hal lain dengan laptopnya.

Ia ambil sebatang lilin yang masih utuh, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar.

Korek api. Mana koreknya?

Katil menggerutu, berusaha merogoh kedua sakunya, mengacak-acak isi laci di meja belajarnya, lalu tiba-tiba terdiam. Ia baru ingat jika sang Ibu sering menaruh korek cadangan di dapur untuk menyalakan kompor dalam keadaan darurat. Mau tidak mau, itu artinya ia mesti keluar juga.

Dengan berhati-hati, lelaki itu menodongkan ponselnya ke bawah, khawatir jika ada genangan air yang bakal membuatnya terjatuh. Bersamaan dengan kenop pintu kamar yang ia buka, angin masuk bebas ke dalam kasurnya, telinganya mampu menangkap guntur dan rintik hujan dengan lebih jelas. Ia menjulurkan kepalanya ke lorong penghubung antara kamar dan dapur. Begitu sepi dan sunyi.

Sembari mengigit bibir bawahnya, Katil berjalan cepat menuju dapur. Ia menggerutu dalam kalbu perihal orang-orang rumah yang jarang datang tepat waktu. Bapaknya mungkin sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan administrasi di kantor, begitu pula ibunya yang sering ditugasi atasan menyelidiki kasus di desa-desa. Adik-adiknya belum pulang dari pengajian dari masjid seberang, mungkin menunggu hujan selesai setelah salat maghrib.

Langkah kakinya ia buat sepelan mungkin begitu dapur ada dalam genggaman matanya. Kepalanya menengadah ke lemari lain dari kaca, tempat menyimpan nasi dan makanan sisa. Kaki lelaki itu berjinjit, telapak tangannya naik ke atas lemari, lantas menangkap korek api dengan bantuan cahaya gawai.

Katil mengembuskan napas lega. Pria itu lantas menaruh gawainya dalam posisi senter menghadap ke langit-langit. Jempolnya menekan tuas pada korek api beberapa kali hingga nyala, kemudian bergegas menyalakan lilin yang ia pegang. Bulir-bulir keringat mulai berbuah di pelipisnya.

Napasnya nyaris terhenti begitu ia mendengar bunyi langkah kaki dari kejauhan. Seperti sepasang sandal yang berjalan tanpa arah di atas aspal becek. Langkah demi langkah didengarkannya dengan saksama. Beberapa detik kemudian, Katil menyadari langkah-langkah tersebut tidak hanya satu, tetapi banyak. Dan mereka datang dari belakang dapur.

Katil menelan ludahnya, cepat-cepat menggambil gawai dan mematikan fitur senternya. Buru-buru ia membalikkan sumbu lilin yang menyala hingga menghadap ke bawah ubin, meneteskan cairan lengket sedikit demi sedikit selagi suara langkah kaki itu semakin merayap menuju keberadaannya. Bulir-bulir keringat tadi mengucur deras membasahi dada dan pelipisnya.

Diberdirikannya lilin tersebut di atas meja keramik dapur dengan agak tergesa-gesa.

Hati kecilnya berkata bahwa ia mesti sembunyi dan mengawasi, sementara mindanya menyuruh untuk mengambil pisau dapur dan bersiap-siap menggempur. Ia memilih yang pertama dan duduk di pojok dapur bersama gentong-gentong plastik berisi air, beras, sayur-sayuran, dan sesisir buah pisang yang belum matang.

Ia tak berani bergerak sedikit pun.

Napasnya menderu mendengar langkah kaki itu telah tiba di dekat pintu belakang rumahnya yang dikunci. Yang memisahkan mereka dan Katil hanyalah tembok tebal dan ventilasi kecil. Aroma daging hangus terbakar tiba-tiba menyeruak, membuat mata lelaki itu semakin membelalak. Beberapa saat setelahnya, ada suara biji-bijian—seperti semangkuk biji kedelai—sedang disembur dari belakang rumah. Sekali, dua kali, tiga kali, dan akhirnya berhenti total. Begitu juga dengan suara langkah kaki dari belakang.

Di pojok dapur, Katil masih terduduk dan menggigil ketakutan. Perutnya terasa mual.

Siapa sebenarnya mereka?


----------

Ditulis berdasarkan sebuah mimpi aneh yang pernah kualami beberapa minggu lalu. Jadi di depan rumah tuh ada orang-orang tak dikenal yang menabur semacam biji-bijian--aku nggak tahu apa--tapi yang pasti bijinya lengket dan nempel ke dinding. Terus aku kan panik, aku minta seisi rumah buat nyabut tuh bebijian, tapi gaada yang ngedengerin, mereka masih keasikan main poker atau kartu, kalo ndak salah. Yaudah akhirnya kubersihin sampe maghrib. 

Oh, ya, hari ini ngegacha lagi, dan temanya kebetulan dapet kyk gini:

So, gimana menurut kalian, guys?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro