Sinestesia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terkadang aku bertanya-tanya," ucapku pelan, "kenapa sih aku tidak bisa normal seperti yang lain?."

Lalu dia tertawa. Suaranya terasa seperti es krim vanilla yang lembut. Poni rambut obsidiannya dikibas angin dari arah timur. Aku masih memelintir pandanganku pada rok krimson dan bentangan rumput di bawah, tak menyadari kedua pipiku makin merah merona. Begitu netraku sampai di wajahnya, alis mata kananku terangkat. Rasanya aku ingin menjitak kepalanya. Untungnya, tidak ada orang lain yang menyaksikan.

"Apa yang lucu?" tanyaku keheranan, sedang dia masih terkekeh-kekeh.

"Tentu saja kamu, Lif! Semua orang itu tidak normal dalam cara mereka masing-masing, Lif," katanya sambil mengeluarkan dengusan yang entah dimaksudkan untuk mengejekku atau tidak. Dia kembali berkata, "Sekarang, beritahu aku, apa yang membuatmu merasa aneh?"

Ragu-ragu dalam detik selanjutnya, aku spontan membalas, "Dari kecil, aku selalu membayangkan nama-nama orang sebagai berbagai jenis makanan dan minuman." Aku berhenti sebentar, lalu menyahut lagi, "Ah, bukan, maksudku mengasosiasikannya dengan aroma dan rasa makanan atau minuman itu."

Aku tidak tahu apa ini tindakan bodoh. Membocorkan aib sendiri, 'tapi sayangnya, sudah telanjur. Jantungku berdetak keras-keras ketika aku melafalkan tiap frasanya, khawatir akan terjadi miskonsepsi. Aku menghela napas dan meluncurkan apa yang ada terkandung dalam dada selama ini. Untungnya, aku tidak tergagap-gagap.

"Misalnya, namamu, Eleanor. Bagiku rasa dan aromanya persis dengan pepaya. Maksudku, aromanya terasa segar dan rasanya cenderung manis, mungkin karena itu aku mengasosiasikan dirimu dengan pepaya," ucapku agak tergesa-gesa. Mungkin jika ini adalah sebuah telenovela, para penikmatnya sudah pasti muntah. Membuatku menggores konklusi, kira-kira berapa banyak pria tolol di dunia ini yang mampu mengatakan rahasia terbesarnya--di hadapan crush-nya sendiri?

Kendati demikian, alih-alih menertawakanku, dia malah terdiam. Lidahku sudah tak sabar mau lepas, tetapi ternyata dia membuat tanggapan kembali, "Kamu pernah dengar sinestesia?"

Telingaku berjengit saat mendengar istilah itu. "Tidak. Apa itu?"

Dia membetulkan posisi duduknya, lalu menatap diriku lekat-lekat. "Jadi begini, singkatnya, sinestesia itu semacam ... keadaan atau kondisi di mana kelima panca indra manusia saling berseberangan satu sama lain. Penglihatan dengan suara, rasa dengan aroma, atau peraba dengan kombinasi lainnya. Jadi bentuk 'keanehan' yang kamu miliki ini tidak benar-benar aneh, sebenarnya."

Aku terperanjat sekaligus malu. Ternyata kondisi yang kualami selama ini ternyata punya istilahnya sendiri, dan ini membuka probabilitas jika aku bukan satu-satunya orang yang mengalami 'sinestesia' ini. Semestinya aku tahu dari dulu.

Seakan bisa menebak pikiranku, Eleanor kembali memaparkan, "Itu artinya, kamu bukan satu-satunya orang yang aneh, bukan? Aku jadi kepikiran, pasti berat bagimu mencerna hal-hal yang ada di sekitarmu, sebab kamu sendiri kurang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya kamu alami. Terutama dari orang lain."

Tanpa kusadari, tiba-tiba ia mendekat padaku, lalu memegang telapak tangan kananku dengan jari tangan kanannya. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat, dan aku nyaris saja tergagap. Tatapannya menerawang pandanganku dengan lembut. "Kalau ini, rasanya seperti apa?"

"Ra ... rasanya seperti madu." Dalam debar yang intensif, lidahku mengecap sentuhan lembutnya. Selapis madu yang kental seakan turun mengikuti goyangan lidahku, kemudian turun ke kerongkongan. Aromanya yang manis semakin membuatku terjun bebas dalam kondisi trans. Sialan, apa aku tak punya malu?

Untuk sejenak dia, Eleanor, memalingkan tatapannya dariku. Matanya menyipit, seakan sedang berusaha menyimpulkan sesuatu. Ia kemudian mengangguk-angguk dan tersenyum padaku. "Aku paham sekarang," katanya pelan, "mengapa kamu memilih untuk diam saja selama ini."

Eleanor berdiri dari tempat duduknya, lalu menatapku sekali lagi. Ia berujar lembut, "Jangan putus asa. Aku yakin yang lain pasti bisa mengerti tentang kondisimu kalau kamu mau berterus terang seperti ini. Lagipula, selama bagimu itu normal, bagiku itu juga normal."

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk lemah ketikatelapak tangan kanannya menyentuh pipi kananku. Kali ini, bukan madu yang akurasakan. Bukan juga aroma manis yang aku cium. Namun sesuatu yang lebih. Dipangkal tenggorokanku, ratusan mawar merah mekar sempurna, melilit lidah danhidungku. 

----------

Yep, another hopeless try for romance. Ni admin seneng banget ngasih tema cinta. Hari ini kita diminta menyelesaikan tes kepribadian--lebih tepatnya tes bahasa cinta--kemudian menulis cerita tentang seseorang yang mengungkapkan perasaannya menggunakan hasil tes bahasa cinta yang sudah didapat. 

Aku pengen ngedengerin pendapat kalian soal ficlet ini, gimana rasanya atuh? Oh, ya, jangan lupa tekan tombol bintang di bawah, ya! Support dari kalian selalu berarti buatku, hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro