0

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Raven, nak?"

Mendengar panggilan namanya, Raven berusaha membuka mata. Tunggu, tunggu, kenapa matanya tertutup? Apa yang—?

"—ven? Raven?"

"Mhm?"

Orang yang memanggilnya itu tersenyum mendengar dirinya membalas panggilan tersebut. Namun, Raven tidak bisa berpikir. Kepalanya kosong dan semua yang dilihatnya berputar dan buram.

Saat ia berhasil membuka matanya kembali, Raven sudah berada di dalam sebuah mobil, yang ia kenali sebagai milik ayahnya dari bekas robekan di kursi depan.

Tanpa sadar, Raven bertanya, "Kemana?"

Ia tiba-tiba merasakan kehadiran seseorang duduk di sebelahnya. Belum sempat ia menjawab apa-apa, pundaknya ditepuk.

"Ke rumah, Ven."

Rumah? pikir Raven. Memangnya kita habis dari mana?

"Dari rumah sakit, nak."

Oh, dia bertanya keras-keras rupanya.

Merasa terlalu lemas untuk menjawab dengan mulutnya, Raven hanya membuat gerakan seolah-olah mengangguk yang ambigu.

Mama-oh, ternyata yang duduk di sampingnya adalah Mama-membenarkan posisi duduknya yang terlalu lemas. Raven menurut saja tubuhnya dipindahkan.

"Tidur du—"

...

Kenapa tiba-tiba diam?

Oh.

Ketika Raven melihat dari jendela mobil, ia bisa melihat pagar pintu rumahnya.

"Ayo, Ven. Kita naik."

Naik? Aku capek, pikirnya. Raven beramsumsi bahwa ia sudah tidur cukup lama selama perjalanan, tapi matanya masih saja berat. Ingin tidur.

Raven menutup matanya, kembali terlelap.




━━━━━━━━━━━




"Hah? Bercanda kamu."

Mau seberapa sering Raven menyanggahnya, River tetap mengangguk. Adiknya itu bahkan terlihat sudah lelah dengan perilaku hebohnya itu.

Raven pagi itu terbangun kebingungan. Ia bahkan tidak berada di kamarnya sendiri, melainkan di kamar orang tuanya. Di tengah-tengah kebingungannya itu River masuk ke dalam kamar, wajahnya berubah cerah ketika melihat Raven sudah bangun dari tidurnya.

"Memangnya apa yang Cece ingat terkahir kali?" River bertanya, membuat Raven kembali tersadar ke dunia nyata.

Mendengar pertanyan adiknya itu, Raven berpikir keras.

"Cece enggak begitu ingat..." jawab Raven setelah beberapa saat keheningan dengan ragu.

River mengangkat alisnya. "Beneran? Sebelum Cece masuk rumah sakit, apa yang Cece terakhir kali lakuin?"

Rumah sakit. Kata itu lagi. Sejak kapan ia masuk rumah sakit? Raven benar-benar kebingungan.

Ia kembali mengingat apa yang River telah ceritakan pada dirinya.

Cece dioperasi di kepala. Raven merasa mual.

Kira-kira udah lewat satu bulan di rumah sakit. Raven benar-benar muntah kali ini.

Untung saja River sudah siap dengan sebuah ember. Buru-buru juga ia mengambil segelas air putih dari meja di samping kasur dan disodorkan kepada Raven.

"Maaf, maaf," gumam Raven setelah ia menegak setengah isi dari gelas tersebut. River hanya mengibaskan tangannya, menandakan ia tidak begitu peduli.

"Aku ambilin sarapan dulu," River berkata seraya menepuk-nepuk pundak kakaknya. "Cece pasti laper."

Raven hanya menatap pintu kamar dimana River keluar. Matanya kosong, tapi otaknya terus berputar, memikirkan semua perkataan dari River.

Ia yakin adiknya itu hanya menceritakan sebagian dari cerita utuh. Pingsan. Masuk rumah sakit. Dioperasi. Dirawat inap.

Semuanya terjadi dalam waktu satu bulan.

Raven sama sekali tidak mengingat satu hari pun dari satu bulan itu.

Ia tidak tahu harus lega atau takut.

Raven memutuskan untuk diam.




━━━━━━━━━━━




"Di otak kamu ada gumpalan darah."

Raven baru mendengar hal ini untuk pertama kalinya seminggu setelah ia balik ke rumah.

Melihat tatapan tidak percaya darinya, Ibu tersenyum kecil seraya menggelengkan kepalanya. Namun, senyum itu kembali hilang ketika Ibu melanjutkan ceritanya.

"Aliran di otak kamu tersumbat karena gumpalan darah ini. Jadi harus dioperasi."

Raven mengalihkan matanya dari TV ke wajah Ibu sepenuhnya. "Lalu?" tanyanya. "Gumpalan darahnya sudah hilang setelah operasi?"

"Hmm," gumam Ibu. "Tidak juga. Operasi itu hanya untuk memasang selang."

Mata Raven terbelalak.

"Selang?!" serunya. "Ada di kepala aku sekarang?"

"Dari kepala kamu ke perut kamu, Ven," jawab Ibu. "Kamu ada melihat bekas operasi di perutmu kan?"

Untuk membuktikannya, Raven mengangkat bajunya untuk melihat.

"Oh, iya, ada!" ujarnya bersemangat. "Jadi darahnya dialirkan dari otak ke lambung?"

Ibu mengangguk. "Setidaknya itu yang Ibu tangkap dari penjelasan dokter."

"Oohh," ujar Raven, menatap bekas operasi di perut bagian kanannya. "Keren juga."

Kali ini, Ibu yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

Raven juga tidak percaya ia bisa setenang ini setelah mendengar apa yang ada di dalam tubuhnya.

Ia hanya tersenyum kepada Ibu, berusaha meyakinkannya dan dirinya sendiri.




━━━━━━━━━━━




Hari berikutnya, Raven kembali mendapat potongan dari cerita utuh yang ia inginkan.

Raven dibawa ke rumah sakit beberapa jam setelah ia pingsan dan kejang-kejang—Raven kaget saat mendengar hal ini—ke salah satu rumah sakit di kotanya. Dokter di sana mendiagnosa adanya tumor yang bertumbuh di otaknya.

Dengan anggapan ini, orang tua Raven memindahkannya ke rumah sakit yang lebih besar dan ternama untuk bisa mendapatkan pengobatan terbaik.

Untung saja tidak ada tumor atau kanker di otaknya. Dokter-dokter di sana menunjukkan hasil scan yang memperlihatkan gumpalan darah di otaknya.

Ia dan keluarganya tengah berkumpul di ruang tamu. Sebuah kejadian yang jarang, sungguh. Raven menduga ini karena dirinya yang terkurung di dalam ruang keluarga selama hari berlangsung.

"Masa kamu benar-benar enggak inget sama sekali?" tanya Koko Frans untuk kelima kalinya hari itu.

"Iya, Ko." Ingin rasanya Raven memutar bola matanya. "Aku cuma ingat lagi nonton video di handphone terus terbangun di rumah sakit sewaktu mau pulang."

"Berarti enggak tau kalau kamu dioperasi ya?" tanya Koko Lika untuk kelima kalinya juga hari itu.

Raven menghela nafasnya. "Kalau Ibu enggak kasih tau, aku enggak akan tau."

"Hm, aneh juga ya," tanggap River yang duduk di sofa sebelah.

Raven hanya bisa mengangkat kedua pundaknya.

"Yah, baguslah aku enggak ingat," ujarnya. "Aku jadi enggak usah susah-susah kan."

Oh, jika saja perkataannya itu menjadi kenyataan.




━━━━━━━━━━━




Raven ingin sekali membanting tongkat yang ia pegang ke tanah.

Ukuran tongkat itu terlalu besar untuk ia angkat dengan mudah di kondisinya yang seperti ini.

Hal ini tentu saja tidak akan menghalangi Raven kalau ia benar-benar ingin melakukan hal tersebut.

Kenapa ia tidak bisa kembali hidup normal saja? Kenapa ia harus kembali belajar berjalan?

Raven merasa seperti bayi besar.

Karena tidak ingin membuat keributan di rumah, Raven hanya mengeratkan pegangannya di tongkat. Rasa sakit dan perih mulai muncul di kedua telapak tangannya, tapi ia tidak begitu peduli.

Beberapa saat kemudian, Raven menghela nafas kasar lalu menelantarkan tongkatnya. Ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya dengan berpegangan dengan dinding saja.

Raven mungkin terjatuh berkali-kali dalam perjalanan singkat itu, tapi ia tidak akan menceritakannya kepada siapapun.

Ia telan rasa malunya, bangkit, dan berjalan lagi.

Matanya terasa perih. Raven sadar bahwa ia ingin menangis. Matanya telah menahan air mata sedari tadi.

Melihat tidak ada siapa-siapa di sekitarmya sekarang, Raven membiarkan air matanya mengalir.

Dua minggu ini Raven berhasil meyakinkan dirinya dan keluarganya bahwa proses penyembuhan ini tidak akan sulit. Kenapa sekarang berbeda?

Raven bisa saja melupakan kejadian ini, tertawa ringan saat River atau Ibu bertanya kenapa tongkatnya tergeletak di lorong begitu saja.

Mereka akan menganggap Raven memiliki perkembangan yang baik.

Raven merasa ia bertambah buruk.

Semua tulisan masih terlalu kabur dan berbayang baginya untuk membaca dengan jelas bahkan dengan kacamatanya. Tangannya tidak bisa dipercaya untuk memegang barang apapun. Menonton sesuatu di TV selama lebih dari satu jam membuatnya pusing. Tidur tanpa membuat bekas jahitan operasi di kepalanya tidak berdenyut sakit hampir tidak mungkin terjadi.

Berjalan layaknya seorang anak kecil saja Raven tidak bisa.

Semua hal ini membuat Raven semakin merasa bersalah kepada keluarganya. Mereka sudah menginvestasikan waktu, tenaga, dan uang mereka bagi kesembuhannya. Bahkan jika Raven miring sedikit saja saat ia sedang berjalan, sebuah tangan akan terulur, menawarkannya bantuan.

Berbagai pertanyaan sudah bermunculan di kepalanya. Apakah keadaannya akan permanen? Apakah ia harus menggunakan tongkat sepanjang hidupnya? Apa Raven bisa masuk sekolah seperti biasa lagi?

Sesampainya di kasur, Raven menghempaskan dirinya ke bantal, mengabaikan rasa pusing yang muncul sebagai impas tabrakan antara dirinya dengan kasur, lalu menutup matanya erat-erat.




━━━━━━━━━━━




Raven membanting tangannya ke pianonya. Tangannya gemetar dan nafasnya tidak beraturan. Matanya memelototi tuts putih dan hitam itu.

Pertanyaan yang sama kembali muncul di kepalanya.

Kenapa?

Ia berlatih sekeras mungkin. Lagunya sudah ia ulang-ulang. Bahkan sampai kepalanya terasa pusing dan tangannya mati rasa.

Raven mengangkat tangannya, bersikap seakan-akan ia mengaku menyerah kepada piano di hadapannya itu, lalu bangun dan berjalan sempoyongan menuju kasurnya.

Musik tidak bisa. Menatap handphone juga tidak bisa. Menonton TV tidak mungkin di jam-jam ini.

Raven merasa terkurung.

Ia tahu ia bisa pergi ke bagian manapun di rumahnya-dengan resiko semponyangan dah jatuh di tengah jalan. Ia tahu tidak ada yang akan melarangnya untuk melakukan kegiatan rumahnya seperti biasa.

Masalahnya jelas hanya satu di dalam skenario ini.

Raven tidak bisa melakukan aktivitas biasanya.

Ia tidak bisa bermain handphone, kepalanya akan terlalu pusing untuk itu. Ia tidak bisa membaca buku, matanya masih kabur dalam membaca. Ia tidak bisa mengobrol dengan River, adiknya punya kegiatan sendiri. Ia tidak bisa bangun dan berjalan-jalan mengelilingi rumahnya atau menawarkan bantuan kepada orang tuanya.

Penyakit ini telah mengurung dirinya.




━━━━━━━━━━━




Internet merupakan tempat yang luas dan ... bermanfaat.

Bodoh, pikir Raven. Tentu saja internet adalah tempat yang tepat untuk mencari orang yang memiliki pengalaman yang mirip dengannya. Kenapa ia tidak terpikirkan sebelumnya?

Matanya bergerak cepat membaca semua informasi yang bisa ia dapatkan.

Stroke.

Brain.

Disabilities.

Remedy.

Waktu berjalan cepat pada hari itu. Ketika malam hari tiba, Raven bisa membuat dirinya sungguh-sungguh tersenyum untuk pertama kalinya.




━━━━━━━━━━━




Gumpalan darah di otak perlahan mulai menghambat fungsi otak.

Ini memperlambat pemrosesan otak dan waktu respons.

Tidak semua orang harus menjalani pengobatan yang sama.

Tidak semua orang berada di ambang kematian seperti dirinya.

Raven terus mengulang informasi baru itu di kepalanya. Ia tengah berusaha menghilangkan rasa bosan dan lelah yang melandanya selama ia dipaksa melakukan jalan pagi oleh Ayah.

Kata kunci. Dipaksa.

"Biar kamu terbiasa berjalan," Ayahnya berkata saat Raven menanyakan alasannya.

Seharusnya ia membuat kemajuan sekarang, bukan? Sudah kira-kira tiga minggu Raven mengikuti kegiatan ini.

Baru saja Raven menyadari bahwa tubuhnya tidak bisa dipaksa melakukan aktivitas yang melelahkan.

Akibatnya? Raven hanya akan membuat kemunduran di dalam prosesnya.

Pantas saja ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk bermain piano. Raven saja masih tidak bisa memegang pensil maupun pulpen dengan tangannya sendiri.

Raven curiga ia tidak hanya dioperasi, tapi otaknya juga diotak-atik oleh sang dokter.

Ia harus belajar kembali semua kegiatan motorik yang sebelumnya ia lakukan semudah membalik telapak tangan. Belajar kembali untuk bergerak norma terasa aneh baginya karena ia tahu cara melakukannya, ia hanya tidak tahu cara mengeksekusi kegiatan tersebut tanpa melukai dirinya sendiri.

"Raven? Kamu hampir salah belok."

Perkataan Ayah dan tarikan di tangan kirinya membuat dirinya sadar bahwa ia terlalu terlarut dengan pikirannya.

Raven hanya menyengir menanggapinya, lalu berbalik menghadap ke jalan yang benar.




━━━━━━━━━━━




Hari itu Raven membiarkan dirinya tersenyum senyaman mungkin. Biarkan saja orang-orang menatapnya yang tersenyum aneh dengan tongkat di tangan kanannya.

Seragam SMA yang ia ukur sebelum ia masuk ke rumah sakit ternyata berakhir terlalu besar bagi tubuhnya yang semakin mengurus. Hal ini tidak membuatnya gentar. Ia memakainya dengan bangga.

Tongkat di tangan kanan, tas di pundak, dan tuntunan Ibu dari tangan kirinya.

Ketika Raven menginjakkan kakinya di sekolah barunya, ia sadar ia tidak pernah tahu bagaimana bentuk sekolahnya ini. Ibu dan Ayah yang mengurus semua urusan pindah sekolah ke sekolah yang lebih dekat dari rumahnya ini.

Kesadaran ini membuat Raven tiba-tiba sadar akan semua tatapan yang tertuju pada dirinya. Sadar akan bisikan-bisikan tentang dirinya dan tongkatnya. Sadar akan tawa yang terlepas pada dirinya.

"Raven?" panggil ibunya, membuat Raven tersadar. Ketika ia berbalik, Ibu sudah berdiri di salah satu lorong sekolah itu dan tersenyum.

Ini pertama kalinya Raven melihat Ibu tersenyum selebar itu setelah ia pulang dari rumah sakit.

"Teman-teman kamu sudah menunggu tuh, Ven," ujar Ibu seraya menunjuk salah satu bagian dari lapangan terbuka sekolahnya. Ketika Raven mengikuti arah tunjukannya, ia tersenyum lagi.

Raven bisa melihat dua orang temannya melambai pada dirinya, meneriakkan namanya untuk bergabung bersama.

"Aku pergi ya, Bu," Raven pamit, lalu bergegas menuju lapangan secepat mungkin dengan keadaannya yang memakai tongkat itu.

Semua tatapan ia abaikan. Semua bisikan ia tidak dengar.

Membiarkan dirinya berdiri di tengah sinar matahari sudah cukup baginya sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro