04 ~ Berbeda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebab langit berjauhan dengan bumi.
Karena utara dan selatan terpisah oleh jarak.
Maka jangan berkecil hati jika ternyata berbeda dijadikan alasan.

(Sabiru Anggara)

🍁🍁🍁

Biru seperti makan buah simalakama. Tidak segera pulang bayangan ibunya terus mengikuti dan membuatnya tidak enak hati. Ingin pulang, sudah pasti taring dan tanduk sang ibu negara menantikan sasaran empuk untuk diseruduk.

"Ini sama saja maju kena mundur kena. Belum lagi dua algojo yang siap eksekusi kapan saja. Bisa kelar hidup ini." Biru menggerutu sesaat setelah keluar dari UKS mengantarkan Arina, anak didiknya yang baru saja mendapatkan tindakan tidak menyenangkan itu.

"Pak Biru kesal sama siapa? Siapa yang kelar hidupnya? Tadi saya cari kenapa menghilang begitu saja?"

Biru mengelus dadanya, dia sedikit kaget karena mendapati Ardan sudah ada di hadapannya. "Hidup saya dalam masalah Mas! Mas Ardan cerita sama siapa kalau saya cari tempat indekos?"

"Saya hanya cerita sama Pak Rudi saja, kebetulan pas Pak Biru di gerbang, saya dicegat dan ditanya mau ke mana. Karena nggak bisa ngelak, ya, jujur saja sekalian."

"Mas Dan jujur banget! Sekalinya jujur langsung sama dedengkotnya SMAPSA dan beliau langsung lapor ke orang tua saya. Mas, kalau besok saya nggak masuk, berarti saya tinggal nama dan habis dibantai sama ayah dan ibu saya."

Biru beranjak dan meninggalkan Ardan yang tidak tahu harus berkata apa lagi pada teman barunya itu. Diamatinya lelaki berkemeja biru langit itu. Dia berjalan sambil mengibaskan tangannya pada tanaman di taman depan UKS.

Belum lagi kepalanya yang beberapa kali menggeleng, kemudian langkah kaki yang dihentakkan dengan keras, tampak sekali ada kesal dan gusar dari juniornya yang baru saja menjabat menjadi guru BK itu.

Setelah berpikir seharian, Biru mantap untuk pulang. Apalagi sang kakak yang sudah memberitahukan bahwa personil keluarga Anggara sudah berkumpul bahkan sejak azan Asar belum berkumandang. Mantap sekali persiapan keluarganya untuk mengadakan persidangan untuk dirinya.

Langkah kaki Biru tampak ragu-ragu untuk masuk ke bangunan berlantai dua itu. Mulutnya juga kompak seolah kaku untuk sekadar mengucap salam seperti biasanya. Selama perjalanan pulang entah sudah berapa kali lelaki itu berdoa mohon perlindungan.

"Astagfirullah, Bang Lano bikin kaget aja!" ujar Biru begitu kakaknya membuka pintu lebar-lebar.

"Ngapain mondar-mandir? Bukannya langsung masuk nih anak. Itu Ayah sama Ibu sudah nungguin." Delano lantas menarik dan merangkul sang adik. "Sabar-sabar, ya! Sudah siapin surat wasiat? Abang rela, kok, nerima koleksi replika Gundam punyamu. Lumayan buat dilelang, Dek."

"Bang, pliss, bantuin Adek kali ini. Sekali ini saja bantuin buat bujuk Ayah sama Ibu!" Biru menangkupkan kedua tangan di depan dada sambil menunjukkan wajah melasnya.

"Boleh, tapi nanti balasannya apa?"

"Semoga Allah membalas jasa Bang Lano dengan balasan yang setimpal."

"PG 1/60 RX-78-2 Gundam yang Full-Color Plated Version boleh juga buat dilelang dan jadi modal ngembangin kafe"

Biru melirik sang kakak. Harga koleksi Gundam miliknya itu tidak kurang dari sepuluh juta. Jika bukan usaha adik kandung ayahnya, mustahil Biru mendapatkan itu sebagai kado ulang tahun sekaligus bentuk syukur karena keajaiban sekali lagi menyelamatkannya.

"Jangan dilelang, gadaikan saja dulu. Nanti Biru yang tebus sendiri. Nominalnya terserah Bang Lano."

"Deal! Adek baik, hayuk, Ayah sama Ibu sudah nungguin." Lano menyeret Biru ke arah ruang tengah dan langsung mendudukkan sang adik di depan kedua orang tuanya.

Dingin, begitu yang ditangkap oleh sekujur tubuh Biru. Belum lagi sorot mata yang sang ibu yang jelas memendam kesal padanya. Lain lagi dengan sang ayah yang ternyata lebih santai dan justru menikmati secangkir teh dan mengunyah kue apem kesukaan Biru.

"Ke kamar, bersih-bersih dulu, dan istirahat," ujar Ibu Dewi Jelita.

Biru mendongak dan menoleh pada sang kakak. Lano hanya terkikik dan menarik adiknya untuk beranjak dan menuruti titah ibu negara. Biru yang masih bingung meminta penjelasan pada ayahnya dan hanya dibalas dengan gerakan tangan yang menyuruhnya segera ke kamar.

Bahkan hingga larut malam Biru masih tidak paham dengan segala perilaku sang ibu yang justru seperti tidak terjadi apa-apa. Ayah Awan yang sempat menemuinya di kamar juga tidak berbicara banyak.

Begitu juga Bang Lano yang hanya memintanya untuk mengikuti skenario yang dirancang untuk meluluhkan hati sang ibu. Biru yang sudah percaya memilih untuk ikut diam dan menunggu kebijakan apa yang akan diberikan oleh sang ibu.

Azan Subuh berkumandang lebih dari setengah jam yang lalu. Seluruh keluarga masih begitu khusyu' mengamini doa dari Ayah Awan. Segala doa untuk kebaikan keluarga Anggara dan juga segenap keluarga dan saudara lainnya.

"Dek, niatmu sudah benar?"

Ayah Awan langsung berbalik dan berhadapan langsung dengan Biru begitu selesai memanjatkan doa. Biru kebingungan begitu sang ayah tiba-tiba bertanya tentang niatnya. Dia menengok pada Lano dan hanya dijawab anggukan saja.

"Su-sudah, Yah. Niatan yang mana, sih?"

"Niatan minggat dari sini." Suara ketus dari Ibu Dewi membuat Biru bergidik.

"Adek nggak minggat, Bu. Cuma mau pindah ke tempat indekos biar lebih dekat dengan sekolah dan nggak lama-lama di jalan. Seminggu sekali atau tiga hari sekali Adek juga pulang, kok."

"Emang kalau rundingan dulu sama keluarga nggak bisa, Dek?"

"Ya, rencananya emang mau bilang dulu setelah dapat tempat indekos. Lah, ternyata Ibu sama Ayah sudah dapat info dari mata-mata. Yaa gini ini, Adek jadi serba salah."

"Adek itu nggak bisa jauh dari Ibu, kalau kenapa-kenapa gimana?"

"Nggak sampai 30 menit, Bu. Lokasinya juga nggak jauh dari sekolah. Malah dekat ke kafenya Bang Lano."

"Semua ayah kembalikan ke Adek yang terpenting, pintar-pintar bagi waktu dan jaga kesehatan, Dek. Di sana kamu akan belajar mandiri, tanpa Ayah, Ibu dan Abang. Meski dekat dan masih bisa dijangkau, tetap perlu waktu untuk sampai ke tempat kamu. Hati-hati dalam bertutur kata dan bertingkah. Jangan sampai mengusik orang lain. Laksanakan tugas-tugasmu dengan baik,"

"Ayah kok malah ngijinin?"

"Salah kita juga 'kan sudah jerumuskan dia untuk jadi guru BK, paling tidak kita harus mendukung kalau memang Adek ingin menjadi lebih baik." Ayah Awan mencoba memberi masukan pada sang istri.

"Ayah sama anak kok kompakan banget? Abang ikutan?"

Delano menggeleng setelah Ibu Dewi menoleh padanya. "Abang di sini sebagai tim hura-hura saja, Bu. Sejak kapan abang jadi tim huru-hara?" kilah Bang Lano.

"Oke, Ibu izinin kamu tinggal di indekos, tapi dengan syarat Ibu harus tahu lingkungan di sana, harus angkat telpon dari Ibu setiap telepon, wajib lapor minimal 3x24 jam."

"Allah ya Kariim, istrinya Ayah posesifnya kok kebangetan, sih?" tanya Biru saat mengetahui persyaratan ketat dari sang ibu.

Ibu Dewi berdiri membuka mukena dan menggantungnya di sisi sebelah kanan musala. Setelah itu dia mendekat pada si bungsu dan meletakkan tangannya tepat di depan mulut Biru. Tangan Ibu Dewi langsung meremat keras bibir si bungsu.

"Cangkemmu, Dek! Sudah kangen ya sama rumetan tangan Ibu? Omongannya licin banget!"

Lano dan sang Ayah terbahak melihat adegan kekerasan dalam rumah tangga itu. Biru yang menjadi korban KDRT dari sang ibu hanya bisa tertunduk pasrah dan menikmati rasa nyut-nyutan di bibirnya.

Lano yang tidak kuasa menahan tawa sampai berguling-guling. "Apes banget! Untung Ibu habis salat, kalau abis nguleg sambel mampus itu bibir, jontor bin nyonyor!"

Ketegangan yang ditunggu-tunggu akhirnya bisa mencair begitu saja. Keluarga Anggara memang tidak bisa menunggu atau mendiamkan sesuatu terlalu lama. Jika memang bisa dibahas secara kekeluargaan untuk apa membahas dengan kepala panas dan main urat.

Biru berangkat ke sekolah dengan perasaan yang tenang. Lelaki itu bahkan tersenyum sepanjang perjalanan menuju sekolah. Begitu memasuki gerbang sekolah, Ardan sudah berdiri di sana dan menyambut kedatangan siswa-siswinya.

"Alhamdulillah, Pak Biru masih utuh!"

"Nggak jadi dibantai saya, Mas," ujar Biru sambil terkekeh.

"Pak Ardan! Erza babak belur dihajar sama anak STM, Pak!"

"Kok bisa? Ini jam masuk sekolah!" tanya Ardan sembari berlari menyusul anak didiknya yang berlari mendahului Biru dan Ardan.

"Mereka tiba-tiba datang dan langsung nyerang, Pak. Setelah itu kabur gitu aja!"

Biru yang tidak tahu menahu soal sejarah baku hantam antar siswa yang berbeda hanya bisa mengikuti dan mengamati kondisi sekitar. Begitu sampai, ketiganya terlonjak kaget melihat darah mengucur deras dari pelipis Erza.

🍁🍁🍁

ANFIGHT BATCH 6
#DAY 4

Bondowoso, 04 Januari 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro