18 ~ Peduli

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Beberapa mungkin bisa dinilai dari materi.
Namun, tidak sedikit yang rupanya tak ternilai.
Ternyata satu sudut hati bisa mematahkan semua.
Apa yang tak ternilai itu rupanya tumbuh dari sudut.
Sudut hati terdalam berwujud peduli.

(L.K)

🍁🍁🍁

Beberapa pengumuman menghiasi story whatsapp dan beranda facebook. Selama tiga hari ini keluarga SMAPSA fokus pada satu berita, yaitu hilangnya Arina. Biru dan Ardan berbagi tugas.

Saat Biru fokus untuk menemani Erza di masa pemulihannya, Ardan menyusuri jalan dan berharap bisa menemukan Arina. Kedua orang tua Arina meminta bantuan beberapa teman hingga pihak sekolah untuk tetap membantu.

Ketika semua masih kebingungan karena hilangnya Arina, ada satu orang yang justru tampak tenang saja. Seorang Rajasa Adiguna tampak santai duduk di kantin sekolah sembari menikmati secangkir kopi panas.

"Heh, pacarmu hilang kok nggak ada khawatirnya?" tanya seorang kakak kelas menegur Rajasa.

"Dia hilang paling kabur sama yang lain, ngapain ikut susah? Hilang satu tumbuh seribu, masih bisa nyari yang lebih cakep dari dia." Rajasa menjawab dengan senyum sinis menghias bibirnya.

"Yakin bisa dapat yang lebih sabar dari Arina? Selama ini cuma dia yang tahan sama kamu, Ja!" timpal yang satunya.

"Aku yang ngejalani kenapa kalian yang repot dan kepo?"

"Awas kualat, loh! Tingkahmu yang begini ini bikin aku curiga, jangan-jangan kamu yang nyembunyikan Arina." Salah satu siswi melintas dan langsung nyeletuk.

"Suka-suka aku!" Rajasa beranjak dan meninggalkan kantin.

Di lain tempat, Biru bersandar pada sofa di ruang konseling. Setelah beberapa kali bolak-balik ke rumah sakit, akhirnya setelah Erza diperbolehkan pulang. Banyak hal yang didapat selama menemani Erza.

Anak didiknya itu rupanya harus mendapat pendampingan dari psikiater karena depresi mengahadapi sang ayah menggugat cerai ibunya. Di belahan bumi mana pun tidak ada anak yang mengharap orang tuanya berpisah.

Berbekal curahan hati Erza, Biru berusaha menjadi jembatan untuk keluarga itu. Dia ingin yang terbaik untuk anak didiknya. Pendekatan secara personal dia lakukan untuk bisa membatu Erza dan mengurangi depresinya.

Penat yang dirasakan Biru mungkin sudah sampai puncaknya. Lelaki itu bahkan terlelap di sofa. Beberapa hari ini pekerjaannya menguras tenaga dan pikiran. Apalagi Arina belum juga ditemukan.

"Pak Biru, boleh saya mengganggu?" Biru tampak terlelap, tetapi telinganya masih mendengar suara Ardan yang memanggilnya.

Lelaki itu mengerjapkan mata dan menegakkan punggungnya. Sosok Ardan sudah berada di seberang meja. Dia membuka ponsel dan meletakkannya di meja.

"Coba di lihat, Pak. Apa ini tidak bisa menjadi titik terang untuk mencari Arina?"

Biru meraih ponsel Ardan dan melihatnya dengan saksama. Sebuah adegan lagi-lagi mencubit hatinya. Kejadian yang sama persis saat dia menyelamatkan Arina dari amukan Rajasa.

Ada sekitar lima video dengan sudut pengambilan gambar yang berbeda dan hari yang berbeda pula. Hal itu bisa dilihat dari seragam yang Arina dan Rajasa kenakan.

Biru mengusap wajahnya kasar. Dia kembali menyandarkan punggungnya, menghela napas yang terasa sangat berat. Ardan yang berada di seberang meja juga turut merasakan hal yang sama.

"Mas Dan sanggup ngadepin Bos Besar?"

"Si Bos Kecil sudah keterlaluan, kalau bisa saya basmi sudah dibasmi dari dulu, Pak!"

"Saya bersedia mempertaruhkan pekerjaan ini demi sebuah keadilan. Dia sudah keterlaluan, ini masuk tindak kriminal, Mas."

"Video itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan bukti. Alhamdulillah, masih ada anak-anak yang diberi rasa peduli tinggi. Meski awalnya takut-takut, tetapi akhirnya mereka ngirim juga," jelas Ardan

"Mas Dan dapat dari mana video-video itu?"

"Dari anak kelas bahasa, IPA dan IPS. Yang tahu siapa Rajasa sudah pasti ciut, tapi setelah dapat jaminan saya tidak akan menyebut nama, akhirnya mereka mau share video itu."

Suara ketukan dan salam membuat keduanya menoleh. Seorang siswa dengan seragam putih yang mulai menguning berdiri dengan gugup. Kedua tangannya bergetar, bahkan sikapnya seperti ingin kabur karena dua guru menatapnya secara bersamaan.

"Ada apa, Ndre? Namamu Andre 'kan?"

"I-iya, Pak. Ma-maaf saya mengganggu. A-ada keperluan dengan Pak Biru."

"Kalau perlu dengan Pak Biru, saya keluar dulu," ujar Ardan dan hendak beranjak untuk memberikan kesempatan pada keduanya untuk lebih dekat.

"Sa-sama Pak Ardan juga nggak apa-apa."

Ardan mengernyitkan dahinya dan urung meninggalkan ruangan.
"Duduk dulu, lalu bilang apa keperluan kamu, Ndre!" Biru berusaha lebih halus untuk membuat Andre nyaman dan tidak gugup.

"Soal Arina, Pak. S-saya minta maaf karena belum bisa berterus terang. Sejak hari pertama Arina hilang saya sudah tahu dia ada di mana."

"Memangnya dia ada di mana? Kalau kamu tahu kenapa dirahasiakan?"

"Arina yang minta saya untuk diam. Dia ada di rumah saya. Waktu itu dia jalan kaki seperti orang linglung. Ditanya nggak jawab, dipaksa pulang malah nangis. Pas saya ajak ke rumah dia mau."

"Jadi Arina ada di rumah kamu?" tanya Ardan dan dijawab anggukan oleh Andre.

Biru menghela napas lega karena satu beban pikirannya seperti terlepas begitu saja. "Kenapa kamu baru bilang?"

"Saya mau bilang, tapi pas itu Arina sakit dan demam tinggi. Emak ngelarang saya untuk bilang-bilang sampai Arina sembuh. Kemarin dia baru sembuh, Pak. Makanya saya bilang."

"Nggak apa-apa, nanti Pak Biru dan Pak Ardan bantu bilang sama orang tua Arina. Nanti sepulang sekolah kita jemput Arina."

Andre akhirnya berpamitan untuk kembali ke kelas. Ardan dan Biru mengembuskan napas lega. Mereka tersenyum sebab satu masalah akhirnya terselesaikan secara tidak terduga.

Ketika di luar sana banyak yang mulai luntur rasa pedulinya, ternyata masih banyak jiwa-jiwa dengan kadar peduli di atas normal. Terbukti di hari itu sudah berapa siswa yang menunjukkan kepedulian meski dengan sembunyi-sembunyi.

Ardan dan Biru merencanakan penjemputan itu berdua. Kabar baik itu masih menjadi rahasia penghuni ruang konseling. Begitu jam pulang sekolah berakhir, kedua rekan kerja ini mengikuti Andre sampai ke rumahnya.

Begitu Andre memarkirkan motor lawasnya, emak Andre keluar rumah dengan tergopoh-gopoh.

"Duh, Ndre! Temenmu dari tadi nggak ada balik! Sudah hampir dua jam Emak nungguin, dia nggak datang juga."

"Lah, kenapa dikasih keluar, Mak? Bukannya baru sembuh?"

"Dia pamit buat jalan-jalan sebentar soalnya sumpek di rumah terus. Lah ternyata malah nggak ada pulang. Piye, iki?" Wajah emak Andre tampak cemas.

Bahu kedua guru yang mengikuti Andre mendadak melorot begitu mendengar kabar Arina pergi dan tidak kembali. Kebahagian yang tadi sudah bergelayut tiba-tiba saja anjlok dan berubah menjadi beban kelabu.

"Harus cari ke mana lagi, Mas?"

"Bismillah, jika masih ada jalan Allah pasti akan menunjukkannya. Sekarang kita pulang, semoga Arina masih nggak jauh dari sini."

Dua lelaki itu berpamitan dan tidak lupa mengucap terima kasih pada keluarga Andre. Biru mengucapkan banyak terima kasih karena sudah menjaga Arina, meski yang dicari sudah tidak lagi di sana.

Mereka meninggalkan beberapa lembar uang sebagai tanda ucapan terima kasih. Andre yang awalnya menolak dengan alasan ikhlas akhirnya menerima pemberian itu. Biru mengatakan bahwa pemberian itu bukan imbalan semata, sebab Biru dan Ardan masih butuh bantuannya untuk mencari Arina kembali.

Ardan melajukan mobilnya dengan pelan. Biru berusaha menelisik setiap jalan yang mereka lalui. Harapan mereka masih sama, Arina akan segera ditemukan. Namun, sampai memasuki area sekolah, mereka tetap tidak menemukan Arina.

"Pak Biru beneran nggak bareng saya saja pulangnya?" tawar Ardan saat Biru sudah menggendong ransel dan berdiri di gerbang SMAPSA.

"Terima kasih, abang sudah dalam perjalanan ke sini, Mas. Nanti malah ngambek kalau nggak ketemu saya."

"Kalau begitu saya duluan, Pak."

Belum jauh Ardan berlalu dari hadapannya, bunyi klakson mengagetkan Biru dan membuatnya menoleh ke belakang. Mobil sang kakak sudah terparkir di sana.

"Kirain lama, Bang!"

"Emang lama! Lama nungguin kamu balik. Kenapa nggak ngubungi dulu kalau masih ada urusan? Abang dah sampai di gerbang baru kamu kabari."

"Maaf, ada urusan mendadak, Bang. Nanti jalannya jangan ngebut, ya, Adek mau ngukur jalan."

"Nyetir sendiri aja, dah! Abang capek kalau kudu jalan kek siput," ujar Bang Lano sambil beranjak keluar mobil untuk bertukar tempat.

Biru langsung berpindah dan mengambil alih kemudi. Benar saja, lelaki itu melajukan mobil dengan sangat pelan. Bahkan saat melewati beberapa gang kecil, Biru masih menyempatkan untuk memeriksa dengan teliti.

"Nyari apaan, sih?"

"Murid hilang, Bang!"

"Masih belum ketemu? Kenapa nggak laporan ke Fajar saja biar dapat bala bantuan, jadi ..., doh! Bisa kalem dikit nggak kalau nginjak rem?"

Bang Lano belum selesai mengutarakan pendapatnya, sang adik sudah terburu-buru menginjak rem hingga sang kakak tersentak dan nyaris saja kepalanya menghantam dashboard.

Bukannya meminta maaf pada sang kakak, Biru justru keluar mobil dan mendekati kerumunan di depan ruko. Entah mengapa, perasaannya tiba-tiba saja menebak Arina ada di sana.

🍁🍁🍁

ANFIGHT BATCH 6
#DAY 18

Bondowoso, 18 Januari 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro