20 ~ Pilihan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa yang menjadi rahasia?
Semua tahu bahwa Tuhan memberikan
dua mata, dua telinga, dan satu mulut.
Banyaklah melihat sekitar hingga membuatmu peka.
Banyaklah mendengar hingga menjadikanmu perasa
Sedikitlah berkomentar supaya tak banyak hati yang terluka.

(L.K)

🍁🍁🍁

Ketika orang tua diberikan amanah untuk menjaga titipan Tuhan, dilema bisa saja menjadi kendala utama. Satu sisi kemandirian, kepekaan hingga kepedulian mungkin menjadi karakter yang ingin ditanamkan.

Namun, apalah daya karena memanjakannya, mencukupi segala kebutuhan, hingga membelanya mati-matian adalah hal yang kerap dilakukan tanpa kesadaran yang utuh.

Biru benar-benar tidak menyangka pada sikap yang diperlihatkan oleh seorang Hartawan Adiguna. Jika guru BK itu tidak menyela di antara Rajasa dan pemilik sekolah, mungkin akan ada korban jiwa bersimbah darah di ruangan itu.

Rajasa babak belur dihajar sang ayah. Sambil menangis, Pak Hartawan memukul dan melontarkan sumpah serapahnya pada sang putra bungsu. Awalnya, Pak Hartawan tidak percaya, tetapi begitu melihat video rekaman dari Biru, sampai video rekaman terbaru yang dikirim Ardan, si pemilik sekolah naik pitam.

"Di mana otak kamu? Ibu kamu pasti menangis! Dia juga tidak akan tenang melihat putra kesayangannya menyiksa seorang perempuan dengan tidak berperikemanusiaan. Menyuruhnya membunuh bayi yang tidak berdosa!"

"Pak, jangan seperti ini. Rajasa bisa mati, Pak!" Biru menahan tangan Pak Hartawan yang hendak memukul putranya sekali lagi.

Suara gaduh dari ruang pimpinan itu menarik perhatian beberapa orang dan membuat mereka terpaksa membuka pintu karena teriakan yang cukup keras.

"Ayah berdosa tidak bisa mendidik kamu dengan baik, Nak. Ayah dosa besar pada keluarga Arina. Dia sudah seperti anak Ayah sendiri. Ternyata kamu merusaknya! Merusak masa depannya yang sudah Ayah atur dengan baik!"

Rajasa bungkam dan meringkuk berusaha melindungi kepalanya sedari tadi. Sang ayah benar-benar menunjukkan kemurkaannya. Biru tak sampai hati melihat ayah dan anak itu. Keduanya sama-sama hancur dan tidak terselamatkan.

"Ayah kecewa sama kamu, Nak. Ayah benar-benar kecewa!" Pak Hartawan berjalan ke luar ruangan dan meninggalkan Biru yang membantu Rajasa untuk bangkit.

"Ayah hanya memikiran Kakak terus. Sekarang perhatian Ayah benar-benar terpusat pada saya. Saat saya meminta perhatian dengan benar, dia selalu tak acuh. Giliran meminta perhatian dengan cara begini, dia murka." Rajasa tersenyum dan meringis seketika saat merasakan perih di sudut bibirnya yang sobek.

Biru bergeming mendengar ucapan Rajasa. Kata-kata sederhana yang baru diucapkannya itu terasa menampar. Lelaki itu bergegas mencengkeram lengan Rajasa saat anak didiknya beranjak.

"Saya nggak akan kabur. Arina menjadi tanggung jawab saya. Terima kasih atas bantuannya, Pak. Kalau nggak begini mungkin Ayah tetap nggak peduli sama saya."

Si guru BK merasakan aura yang berbeda dari Rajasa. Dia merasa anak didiknya ini menemukan kepuasan dan merasa rencananya selama ini berhasil. Biru menangkap sorot mata Rajasa penuh kelegaan, meski tersirat penyesalan, tetapi matanya sama sekali tidak menampakkan beban.

Kegemparan menampar SMAPSA sekali lagi. Seorang Hartawan Adiguna membungkukkan badannya sedalam mungkin di hadapan seluruh dewan guru dan staf. Dia meminta maaf atas perilaku sang putra.

Bahkan si pemilik sekolah sendiri yang meminta surat pemberhentian untuk putra bungsunya. Meski begitu, tentu Rajasa tidak akan lepas tanggung jawab pada Arina dan bayi yang dikandungnya.

Biru menyandarkan badannya di sofa ruang konseling. Selama seminggu penuh dia berkutat dengan masalah Arina. Mendampingi dan menemani keluarga Arina menemui Pak Hartawan.

Mencarikan jalan keluar untuk pendidikan Arina dan Rajasa ke depannya setelah pernikahan secara agama dan sang bayi lahir. Pak Hartawan juga tetap melanjutkan rencana untuk membiayai pendidikan Arina.

Tenaga Sabiru Anggara benar-benar terkuras untuk masalah kali ini. Lelah di wajahnya dengan lingkaran hitam di bawah matanya begitu kentara. Tidak jauh berbeda dengan rekan kerja yang sedang melamun di sampingnya.

"Pak Biru pernah bingung dengan takdir hidup nggak?" tanya Ardan sambil menatap langit-langit ruang konseling.

"Nggak pernah, soalnya semua sudah diatur sama Allah. Bahkan satu lembar daun yang gugur saja sudah ditetapkan, gimana dengan takdir hidup manusia? Sudah pasti tertata dengan rapi sampai akhir kehidupan," ujar Biru.

"Ayah saya mau menikah lagi. Padahal belum 40 hari Ibu pergi. Mbak Din kasih izin, tapi saya nggak."

"Kenapa?"

"Saya kecewa! Ayah nggak setia sama Ibu."

"Mbak Din punya keluarga, besok-besok Mas Dan juga akan punya keluarga. Mungkin ayahnya Mas itu takut ngerepotin nantinya."

"Kami anak-anaknya, untuk apa merasa direpotkan? Sudah kewajiban kami untuk merawat orang tua, apalagi hanya beliau yang kami punya."

"Pemikiran Mas Dan sama Ayah jelas berbeda, senyaman-nyamannya sama anak, tetap ada satu hal yang tidak bisa terdefinisikan yaitu sebuah kekosongan dalam hati setelah kehilangan."

"Ada kami yang akan mengisinya."

"Bukan begitu, Mas. Ayah butuh teman yang bisa menemani sampai nanti, dan tidak ingin merepotkan anak-anaknya. Kesepian itu kepedihan yang sulit terobati, hanya kebersamaan yang bisa mengurangi pedihnya."

Ardan hanya diam merenungkan apa yang diucapkan oleh Biru. Dia mencernanya dengan baik-baik. Lamunannya terusik dengan sebuah ketukan pelan dan tiga orang mendekati kantor dan membuka pintu.

Dito, Randy, dan Erza memasuki ruangan. Kedua guru itu menegakkan punggungnya dan saling menatap.

"Kok rombongan?" celetuk Biru.

"Cuma mau anterin Erza, Pak," ujar Dito dan Randy kompak. Setelahnya, mereka bergegas mendorong Erza kemudian berbalik dan menutup pintu kembali

"Ada apa, Za?"

"Ng ..., a-anu, Pak. Mau bilang makasih sama Pak Ardan dan Pak Biru. Saya sudah baikan. Orang tua saya nggak jadi pisah. Mereka mau saya sukses, Pak."

"Alhamdulillah! Duduk dulu, Za, jam istirahat masih lama. Cerita-cerita dulu sama Pak Biru."

"Ma-makasih, Pak. Saya kembali ke kelas saja. Sekali lagi terima kasih sudah menyelamatkan dan membantu keluarga saya. Ada salam dari orang tua saya, kapan-kapan ingin bertemu dengan Pak Ardan juga Pak Biru."

"Wa alaikum salam, jangan lupa jaga kesehatannya, Za. Kalau butuh apa-apa dan butuh cerita ke sini saja. Jangan dipendam sendirian. Kebanyakan ngelamun nanti ayam-ayam pada mati, Za!"

"Saya nggak pelihara ayam, Pak?!" ujar Erza polos.

Biru beranjak dan menuntun anak didiknya untuk keluar ruangan. Dia memilih mengusir Erza karena melihat Ardan yang masih memperlihatkan sisi bad mood-nya. Biru kembali bersandar pada sofa setelah Erza kembali ke kelas.

"Mas Dan masih butuh waktu. Kalau mau sendiri dulu saya pamit, Mas."

"Di sini saja, sendirian makin bikin saya merasa kesepian."

"Mas Dan yang masih saya temani saja bisa merasa kesepian, apalagi Ayah yang sudah sama ibunya Mas Dan berpuluh-puluh tahun bersama, terus ditinggal begitu saja. Bahkan dengan rasa penyesalan mendalam."

Ardan tersentak seperti tersengat listrik. Dia melupakan hal itu, sudah lebih dari separuh hidup sang ayah bersama, berdua dengan ibunya. Kini sang ibu sudah menghadap Yang Maha Kuasa dan ayahnya harus berdiam dalam kesendirian.

Lelaki itu mengusap wajahnya perlahan lalu mengembuskan napasnya dengan keras. Memikirkan kembali mengenai permintaan sang ayah yang ingin menikahi seseorang di masa lalunya.

"Maafkan saya kalau terlalu banyak bicara. Setelah ini saya bakal diam dah, Mas."

"Apa saya siap untuk menyambut istri ayah?"

"Ibunya Mas Dan. Meski begitu, statusnya akan jadi ibunya Mas Dan. Pilihan ada di tangan Mas Dan. Saya rasa kalau dibicarakan ayah pasti paham. Kalau nggak bisa sekarang, bisa besok atau lusa."

"Apa saya sanggup?"

"Kesanggupan akan mulai tampak saat dijalani. Saya dulu nggak sanggup kuliah psikologi, setelah dijalani kok ya bisa."

Apalah arti sebuah pilihan jika kesanggupan belum juga menyapa. Sedikit ataupun banyak pasti ada hikmah yang akan tampak. Ketika manusia diberikan pilihan, pilihlah sesukamu dengan resiko yang siap untuk ditanggung.

Ketika pilihan itu terasa sulit, tetaplah memilih. Suka tidak suka, mau tidak mau, karena hidup adalah pilihan. Biru memillih jalan yang disediakan oleh keluarganya, sementara Ardan memilih jalannya sendiri.

"Mungkin mencoba ikhlas secara perlahan sampai beban itu tidak lagi terasa bisa menjadi pilihan. Mungkin dengan mengizinkan ayah menikah bisa membuat senyumnya kembali. Karena sejak kepergian ibu, hanya senyum getir yang selalu beliau tampakkan," ujar Ardan lirih.

"Alhamdulillah, semoga diberikan kelapangan dalam menerima semuanya. Diberikan keikhlasan dan kesabaran yang tiada berbatas. Jika suatu saat nanti saya nggak di sini lagi, gimana, ya?"

"Memangnya mau ke mana? Baru juga nyaman punya teman cerita yang cocok!"

"Kali aja dapat istri orang jauh dan meminta saya untuk ikut. Siapa tahu?" Biru tersenyum saat melihat Ardan mengernyitkan dahinya.

"Nggak usah aneh-aneh, nggak usah ngomong macem-macem. Ada Pak Biru di SMAPSA itu seperti bala bantuan tak terduga. Masalah beres perlahan tapi pasti."

Biru hanya tersenyum singkat karena bersamaan dengan itu debar jantungnya terasa berbeda. Dia merasa tak nyaman saat napasnya tiba-tiba memberat. Keringat mulai menetes dari pelipisnya.

Setelah beberapa kali tarikan napas diselingi batuk, akhirnya debar itu mulai kembali normal. Dia bersyukur sebab Ardan sudah terlelap dan tidak terganggu dengan batuknya yang berat. Rekan kerjanya itu seperti membayar rasa kantuknya selama berhari-hari.

🍁🍁🍁

ANFIGHT BATCH 6
#DAY 20

Bondowoso, 20 Januari 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro