DCI_Sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bagi peserta yang masih berada ditenda, harap segera berkumpul untuk salat Maghrib berjamaah."

Ghifari memberi instruksi kepada peserta dengan menggunakan megaphone. Mereka pun berhamburan menuju tempat utama yang berada di tengah lingkaran tenda-tenda.

Di dalam salah satu tenda, Gala menutupi tubuhnya dengan sarung yang ia bawa dari rumah.

"Ga, kamu gak ikutan salat?" tanya teman satu tenda Gala.

"Eng—gak. Kayanya aku la--gi meriang, sa--lat di tenda saja."

"Oh, ya sudah. Aku keluar dulu."

Gala mengangguk dengan tubuh yang gemetar. Setelah memastikan temannya itu berada di luar, ia segera membuka sarungnya. Ia pun bergegas untuk salat Maghrib. Saat baru selesai berdzikir, Gala mendengar ada yang berbicara di depan tenda.

"Gala sakit? Masa, sih? Kayanya tadi bugar, kok."

"Tadi pas aku mau salat, dia gemetar gitu ngomongnya. Meriang katanya."

"Serius?"

Gala dengan saksama mendengarkan perbincangan tersebut. Ia hapal suara perempuan yang berbicara dengan teman satu tendanya itu. Suara derap kaki terdengar mendekat ke arah tenda Gala. Laki-laki penyuka olah raga futsal itu kembali merebahkan tubuhnya. Tidak lupa, ia menyelimuti badannya dengan sarung hingga menutupi rambut.

"Ga, kamu beneran sakit?"

Suara Resta terdengar panik. Gadis itu mendekat ke tubuh Gala. Ia lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi sang sahabat. "Gak demam."

"Di--ngin, Ta."

Suara Gala kembali terdengar gemetar. Ia terus mendekap sarungnya.

"Katanya meriang, tapi anehnya gak demam," ucap Resta sambil berpikir. "Keluhan apa lagi selain dingin?"

"Dingin aja pokoknya."

"Di sini emang dingin, Ga. Bukan kamu aja."

Resta mulai curiga. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Gadis dengan jaket berlambang IMG tersebut menatap wajah Gala yang tidak terlihat pucat sedikit pun. Pemuda itu mulai menyadari tentang kecurigaan Resta. Ia pun mulai mengaduh.

"Perutku rasanya gak enak. Kayanya masuk angin."

Resta terbahak mendengar keluhan terbaru Gala.

"Bisa mati kamu kalau gak kemasukan angin."

"Jahat banget kakak panitia ini. Pesertanya lagi sakit malah diketawain," ucap Gala merajuk.

Resta semakin tergelak mendapati ekspresi manja Gala.

"Lihat mataku, beneran sakit atau gak?" pinta Gala seraya menarik tangan Resta . Gadis itu pun jatuh tepat di sampingnya. Mata mereka saling bertemu pandang. "Percaya, kan, kalau sakit?"

"I—iya, percaya," jawab Resta sambil mengalihkan pandangannya. Ia segera berdiri kembali. Jantungnya dirasakan berdetak lebih cepat. "Ya sudah, aku carikan obat dulu."

Resta segera berlalu dari tenda. Tatapan mata Gala tadi seolah melenyapkan semua daftar tugasnya sebagai seksi acara diklat. Gadis bertubuh langsing itu pun menyandarkan bahunya pada batang pohon pinus.

"Resta, ternyata di sini." Ghifari datang mendekat. "Aku cari dari tadi. Materi selanjutnya udah siap? Pemateri sudah dihubungi?"

Resta hanya diam dengan tatapan kosong. Ia tidak menyadari ada Ghifari di sampingnya.

"Ta, kamu kenapa?" Resta masih belum merespon. Ghifari pun memukul lengan temannya tersebut. "Resta!"

"Eh, Ghi, kok, kamu di sini?"

Ghifari menghela napas dalam.

"Kamu kenapa?"

"Aku? Baik-baik saja. Ngomong sama aku ya, tadi?"

"Iya. Kamu jangan ngelamun di sini. Gak baik." Resta mengangguk pelan. "Gimana persiapan materi selanjutnya?"

"Udah beres. Pemateri udah di tenda panitia."

Ghifari dan Resta segera menuju tenda panitia. Namun, sepanjang jalan, gadis itu masih terbayang tatapan Gala. Hatinya masih terasa menghangat.

***

Di dalam tenda, usai menunaikan salat Isya, Gala merebahkan tubuhnya di tikar. Ia tersenyum puas mendapati aktingnya sukses dalam mengelabui Resta. Dirinya bisa dengan leluasa menikmati malam yang dingin dengan berselimutkan sarung dan bermain ponsel. Gala pun mulai berselancar di Instagram. Pandangannya berhenti pada unggahan Resta. Hanya gambar pantai dengan goresan warna jingga pada langit. Namun, ia tergelitik membaca tulisan di bawahnya.

[Sampai kapankah aku menunggumu?

Membuka hatimu untuk terima cintaku.

Lalalalalalala]

"Sampai kapankah rasa di hatiku, menanti rasamu akan menyambut rasaku." Gala melanjutkan tulisan yang ada di kiriman Instagram Resta dengan bersenandung. Sebuah lagu dari salah satu band papan atas Indonesia. "Ini anak lagi jatuh cinta sama siapa, sih? Gak pernah cerita juga."

Jemari Gala kembali berselancar di aplikasi berbagi foto tersebut. Meskipun begitu, telinganya ikut menyimak apa yang diperbincangkan di luar. Teman-temannya mulai masuk pada materi ketiga.

"Assalammualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh."

Deg!

Jantung Gala seketika berdetak lebih cepat mendengar salam yang terucap. Suara yang tidak asing lagi di telinganya. Pemuda itu merangkak pelan mendekati pintu tenda. Ia menempelkan telinga pada kain Polyester untuk lebih meyakinkan dugaannya tentang sosok yang sedang berbicara.

"Tita!" pekik Gala terperangah. Ia mulai berdecak kesal. Dirinya sekarang dilema antara tetap di tenda dan berpura-pura sakit atau ikut bergabung dengan teman-temannya.

***

Resta masih sibuk berdiskusi dengan beberapa panitia di tenda. Mereka sedang membahas acara selanjutnya. Akan ada sharing tentang pengalaman dalam organisasi oleh salah satu alumni IMG. Ini sudah menjadi materi wajib selama diklat. Peserta seringnya lebih memahami makna berorganisasi jika mendengar langsung penuturan dari sosok yang sudah berengalaman menjadi aktivis kampus.

"Kayanya udah fix semua. Teman-teman boleh kembali ke depan," tutur Resta menutup rapat singkat itu. Ia lalu merebahkan tubuhnya di tikar. Tindakan tiba-tiba Gala yang menarik tangannya masih terekam jelas. Senyuman tersungging di wajah cantiknya.

"Astagfirullah, lupa ambil obat," ucap Resta sambil menepuk keningnya. Ia pun segera membongkar tas. Ramuan herbal untuk perut kembung sudah dalam genggaman. Resta pun menuju ke tenda Gala. Begitu sampai di sana, ia mendapati tempat tersebut kosong. Kepanikan mulai menyergap. Pikirannya mulai berasumsi bahwa sahabatnya itu kabur dari lokasi, melihat semangat yang tidak tampak dalam menjalani diklat ini.

Resta menuju lokasi penyampaian materi. Ia mulai mengedarkan pandang ke seluruh orang yang hadir. Ia berharap bisa menemukan pemuda berutubuh tinggi dan tegap di antara kerumunan. Tidak menunggu lama, ia sudah menemukan sosok yang dicarinya. Gadis itu tersenyum melihat Gala yang tampak serius mendengarkan Tita memberikan materi.

"Gak sopan, aku kena prank," gumam Resta sambil berkacak pinggang. Ia terus memperhatikan sahabatnya itu. Baru kali ini Gala begitu semangat mengikuti materi diklat. Berbeda jauh dengan raut muka saat mengeluh sakit tadi.

Namun, Resta tiba-tiba tersentak saat mendapati pemuda itu mengangkat tangannya ke depan wajah. Isyarat gambar hati dengan ibu jari dan telunjuk yang menempel mengarah pada Tita. Dosen muda itu pun tersipu sambil terus berbagi ilmu.

"Dasar Gala," ujar Resta sambil menggelengkan kepalanya.

Kurang lebih dua jam, waktu yang dihabiskan untuk Tita berbagi pengalaman dengan para calon kader IMG. Acara selanjutnya digunakan untu sharing masalah pengalaman organisasi oleh para alumni. Gala yang tadinya acuh, mulai tertarik dengan tema yang diangkat, aktivis kampus dan peranannya di dunia kerja.

"Dulu, saat baru aktif di IMG dan BEM fakultas, cibiran bukan hanya satu tetapi banyak saya dapatkan dari teman sekelas, bahkan keluarga. Ucapannya hampir seragam. Mahasiswa Ekonomi ngapain belajar politik? Pertanyaan yang sangat klasik, bukan?"

Gala terperanjat, kalimat itu sama dengan yang selalu ada di pikirannya. Ia kembali menyimak pengalaman sang alumni tersebut.

"Saat itu saya hanya diam. Buat apa ditanggapi jika apa yang kita sampaikan tidak akan diterima karena perbedaan cara pandang tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah saya wisuda. Itu adalah pembuktian bahwa menjadi aktivis kampus itu banyak manfaatnya. Terutama, saat mulai memasuki dunia kerja. Mau tahu apa saja yang sudah saya dapatkan?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro