5. KABAR BURUK

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kenapa juga harus menerima panggilan dari Zyan? Bukannya mengabaikan dan memblokir, Karina justru membiarkan suara Zyan masuk ke telinganya. Suara pemuda itu menembus pori-pori tubuhnya. Tenggelam di sana dan menjadi gaung tanpa henti.

Karina suka setiap namanya dipanggil oleh Zyan.

Sayangnya, kali ini dia tidak tahan. Kebencian yang dia rasakan saat itu membuat Karina mematikan panggilan. Di stasiun yang lumayan tenang, Karina duduk dan menahan isak tangisnya. Kendati air mata terus berderai, Karina tidak ingin lemah.

Apapun yang Zyan ucapkan, sudah tidak ada artinya lagi.

Mulut Karina terkatup. Dia memejamkan mata dan melihat lalu lalang orang-orang yang keluar masuk area stasiun.

Andai dia tidak memergoki Zyan selingkuh dan tidak tahu ada kejadian seperti yang terjadi dua jam lalu, tentunya Karina biasa saja. Di peron, dia akan ditahan oleh Zyan. Perasaan keduanya tertambat satu sama lain dan tidak ingin berpisah lagi. Sayangnya, itu ilusi semata.

Semuanya telah usai.

Karina memilih perpisahan. Tidak ada pintu lagi untuk Zyan dibandingkan sama-sama saling memperbaiki ikatan yang hancur.

Yuk, lupain Zyan. He is gone.

Karina menghela napas. Percuma juga menangisi cowok yang selingkuh. Karina berharap waktu akan bergulir dengan cepat, sehingga keretanya akan membawa Karina ke Surabaya.

Lagi-lagi ponselnya bergetar.  Karina menggerutu. Zyan pantang menyerah untuk menelepon. Saat dia menatap layar, tertera nomor tidak dikenal. Sulit mengabaikan siapa yang menghubungi itu.

“Halo?” sapa Karina penuh antisipasi,

“Apakah ini temannya pria bernama Zyan Arzetto?”

Alis Karina nyaris bertemu. Siapa orang yang menghubungi Karina? Perasaannya jadi tidak enak saat lawan bicaranya menyebut Karina sebagai teman Zyan.

“Iya.”

“Baik, Mbak Karina. Nomor Anda tercatat sebagai kontak yang ditelepon terakhir oleh korban bernama Zyan, Saat ini korban ada di ruang jenazah RS Soebandi. Apakah bisa diberikan kontak keluarganya yang bisa dihubungi?”

“Korban apa? Jenazah apa maksudnya, Pak?”

Sekujur tubuh Karina semakin menyusut. Dia takut mendengar penuturan di seberangnya.

Tanpa buang waktu, Karina berlari ke luar stasiun dan mengiyakan tawaran jasa ojek. Berapa pun tarifnya, asal cepat sampai di rumah sakit.

Zyan tidak punya siapa-siapa. Keluarganya telah tewas akibat kecelakaan hebat. Karina ingat jelas bagaimana saat di kelas, wali kelasnya memanggil Zyan dengan suara lirih.

“Kamu yang sabar, Nak. Jangan kaget dulu. Keluargamu sudah pulang ke Rahmatullah hari ini. Kamu pulang dulu, sambut jasad mereka dan antarkan ke liang lahat. Itu kewajiban kamu sebagai muslim.”

Kata-kata itu meluluhlantakkan seisi kelas. Zyan bahkan tidak menangis saat mendengar ucapan itu. Justru tatapannya semakin kosong dan tidak percaya. Sampai pemakaman selesai, sampai tujuh harian dan kondisi rumahnya sepi dari pelayat, Zyan sama sekali tidak menangis. Pemuda itu runtuh di dekapan Karina saat cewek itu berkunjung dan membawakan makanan. Tangisnya pecah tanpa bisa dicegah. Sebagai sahabat, Karina berempati.

Dia tahu rasanya kehilangan ayahnya akibat kecelakaan di usia muda. Namun, keluarga Zyan direnggut semua.

Rangkaian berita buruk itu berdengung. Saat Karina menghampiri ruang jenazah, dia disambut dua polisi yang mengurus kecelakaan.

“Zyan di mana, Pak?”

“Apa Anda keluarga korban?”

Karina mengangguk. Lebih mudah mengatakan begitu daripada nantinya semakin rumit.

“Untuk konfirmasi, apakah Anda bersedia mengecek wajahnya?”

“Saya bersedia.”

Ini pasti mimpi. Karina bersumpah ini akal-akalan Zyan agar mereka bisa balikan. Kenyataannya, seraut wajah terbujur kaku, penuh luka dan darah di wajah pasi.

“Zyan, bangun dong,” ucap Karina dan menepuk pelan sisi pipi Zyan.

Tidak ada gerakan apapun. Wajah itu tetap diam.

“Zyan, kamu nggak lucu. Habis ketahuan selingkuh, nggak mungkin kan tiba-tiba kecelakaan. Usahamu nggak mempan. Aku nggak akan balikan kalo kamu main-main. Bangun!”

“ZYAN…. ZYAN!”

Karina histeris. Dia takut dengan kematian yang datang itu. Penyesalan menggempur Karina.

Zyan berusaha mengajaknya bicara dan dia tolak begitu saja.

“Terakhir kali, Rin.

Dia memang jahat. Kesempatan terakhir saat bicara itu, Karina mengumpat Zyan.

Tuhan, kalau ada kesempatan, kembalikan Zyan-ku. Aku akan dengerin apapun yang dia katakan. Aku harus cari tahu kenapa dia bersikap seperti ini. Apa aku yang nggak peka sama dia? Apa aku yang nggak selalu ada buatnya?

Karina berlutut di bawah. Zyan telah menyusul keluarganya dalam kurun waktu tiga tahun setelah menjadi sebatang kara. Zyan yang rapuh, benci mati menyedihkan. Dia benar-benar berjuang untuk hidup layak dan berupaya setara dengan anak yang punya keluarga utuh. Dia mencoba bertahan di dunia yang terkadang menyakitkan. Dia sosok yang benci untuk bunuh diri. Tidak mungkin Zyan memilih mati mengenaskan di tengah jalan seperti ini.

“Maafkan aku, Zyan. Ini gara-gara aku.”

Dunia Karina jungkir balik. Padahal sebelumnya, Zyan yang mati-matian minta maaf. Ironis bahwa Karina ditinggalkan dengan luka yang mendalam.

"Seharusnya aku mendengarkan kamu kalau tahu ini terakhir kali kita ngobrol. Kenapa kamu tinggalkan aku di hari ulang tahunku? Belum cukup kamu lihatin mesra-mesraan sama cewek lain. Kini kamu tampakin kematianmu? Kenapa kado ini yang kamu kasih? Kenapa kamu harus kusimpan dalam kenangan terburuk ini?"

Tekanan emosi yang memuncak menyebabkan kepala Karina berputar hebat. Dia lelah luar biasa. Lalu kedua tangannya terkepal.

Jangan pingsan, batinnya mengingatkan.

Sebagaimana Zyan yang selalu tegar harus mengurus pemakaman keluarganya, Karina harus meniru. Bukan saatnya dia menangis seperti orang gila. Jasad Zyan harus segera dikebumikan. Masih ada pula barang-barang Zyan yang harus dirapikan di rumah indekos dan dibawa pulang ke kampung halaman.

"Saya nggak apa-apa," ucap Karina di antara polisi, paramedis dan penjaga kamar mayat hendak memapahnya. "Saya kerabat dekatnya Zyan. Almarhum..." Karina tersedak mengakui bahwa Zyan telah pergi untuk selamanya, "tidak punya keluarga. Saya ingin Zyan segera dibawa pulang ke Banyuwangi. Satu liang lahat bersama keluarganya."

Karina menarik ingusnya. Dia ingin menelan semua air matanya jauh di dalam perut. Tangannya sibuk menyeka air mata yang turun. "Apa yang harus saya urus dulu?"

Karina mengekor paramedis. Dia mengurus biaya administrasi, termasuk membayar di muka biaya transportasi ambulance. Darah Karina berdesir saat turut naik di mobil putih. Namun, dia memilih duduk di samping sopir semata tidak tahan dua jam lamanya melihat jasad Zyan. Tangannya sibuk dengan ponsel penuh bercak darah yang kering. Dia mencari kenalan Zyan yang satu dusun agar segera dipersiapkan liang lahat.

"Siap nggak siap, kematian emang datangnya nggak pakai alarm. Nggak ada kesempatan pamitan dengan cara yang layak. Apalagi kita saling menyakiti satu sama lain di perpisahan kali ini. Namun, aku merelakanmu, Zyan. Semoga kamu bahagia di dunia yang lain. Selamat tinggal, kekasihku."

Karina membuang napas semakin dalam seiring melihat jejeran pinus membentang di depan mata. Gunung Kumitir menyambut dengan suasana yang lebih dingin seiring kabut tebal di atas pepohonan itu.

Senin, 20 November 2023
17:44 WIB

Yaaaaa.... Siapa yang nggak kebayang ditinggal selamanya sama orang terkasih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro