Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo nunggu siapa sih?" ucapan Tanto membuat Risyad mengalihkan perhatian dari pintu masuk kafe.

Entah sudah beberapa kali dia berpaling untuk melihat pengunjung yang baru masuk, tetapi yang ditunggunya tidak kunjung muncul.

Mereka memang tidak menyepakati bertemu di sini, tetapi Alita tadi jelas-jelas mengatakan akan datang ke tempat ini.

"Tadi gue ketemu teman Anjani di pameran lukisan. Katanya mau langsung ke sini, tapi kok belum datang juga ya?"

"Mungkin mereka berubah pikiran," jawab Rakha. "Ada banyak tempat nongkrong lain yang nggak kalah bagus dari sini. Kita aja yang terlalu malas cobain tempat baru setelah bertahun-tahun nyaman di sini."

"Kalau hanya berubah pikiran sih nggak masalah. Takutnya mereka malah kenapa-kenapa di jalan." Risyad masih ingat dengan keyakinan Alita datang ke tempat ini. Perempuan itu bahkan mengangkat jempol saat Risyad mengatakan, "Sampai ketemu di kafe ya." Dia tidak terlihat seperti orang yang akan berubah pikiran secara mendadak. Entah mengapa Risyad jadi sedikit khawatir.

"Teman Anjani perempuan, kan?" tanya Rakha.

Risyad mengangguk. "Apa hubungannya perempuan dengan datang terlambat? Nggak semua perempuan suka ngaret." Dengan latar belakang Kiera yang mantan wartawan, dia tidak mungkin suka terlambat. Terlambat sedikit, mereka bisa kehilangan momen dan berita penting. Biasanya sikap yang terbentuk karena kebiasaan itu tidak akan gampang hilang.

"Mungkin dihubungin pacarnya jadi dia putar haluan. Kali aja mereka sekarang lagi ML, padahal leher lo udah hampir copot karena terus-terusan menoleh ke pintu masuk."

"Nggak semua orang fokusnya nurunin celana kayak elo sih," sambut Tanto. Dia ganti menatap Risyad. "Telepon aja. Mungkin beneran kenapa-kenapa."

Risyad meringis. "Gue nggak punya nomornya."

"Gimana ceritanya kalian janjian ketemu di sini tapi lo belum punya nomornya?" Tanto mengernyit bingung.

"Kami nggak janjian. Tadi ketemu di pameran dan teman Anjani yang duluan bilang mau ke sini. Mereka kayaknya lumayan sering nongkrong di sini."

"Lo kenalan di mana sama teman Anjani?" kejar Tanto. "Kok lo nggak pernah cerita sih?"

"Kenalan di rumah gue." Seringai Risyad melebar saat melihat sebelah alis Tanto terangkat. "Dia ngerjain buku yayasan ibu gue. Kebetulan gue pulang saat dia datang ke rumah untuk ketemu Ibu."

"Kirain dia ngejar elo sampai ke rumah orangtua lo untuk kenalan." Tanto ikut meringis. "Kalau kayak gitu, dia malah nggak cocok untuk karakter orang yang berteman dengan Anjani."

"Tapi nggak berarti karena Anjani kalem, temannya nggak boleh agresif dong," kata Rakha. "Karakter yang berbeda nggak lantas bikin orang nggak cocok."

"Maksud lo, kayak gue yang sampai sekarang tetap nggak ngerti mengapa masih tahan temenan sama lo?"

Perdebatan itu tidak lantas mengalihkan perhatian Risyad sepenuhnya. Apakah dia seharusnya menghubungi Anjani untuk menanyakan apakah Kiera dan Alita baik-baik saja? Tapi kalau dia melakukannya, Anjani pasti akan bertanya bagaimana dia berkenalan dengan teman-temannya. Mungkin saja Anjani malah curiga dia tertarik pada salah seorang temannya karena mau repot memastikan keadaan mereka.

Ah, Risyad mengeluarkan ponsel. Dia tahu harus menghubungi siapa, tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan drama.

"Bu, bisa minta nomor Kiera?" tanyanya begitu teleponnya tersambung.

"Ibu sudah bilang jangan jadiin Kiera korban mulut manis kamu," seperti yang diperkirakan Risyad, ibunya akan memberi ceramah.

"Aku nggak minta nomornya untuk godain dia, Bu. Tadi aku ketemu Kiera dan temannya di pameran. Mereka bilang mau ke kafe yang sama dengan yang aku datangin bareng teman-temanku. Tapi udah lebih sejam, mereka belum sampai juga, padahal jarak galeri dan kafenya lumayan dekat. Aku khawatir mereka kenapa-kenapa di jalan."

"Beneran gitu?"

"Masa aku harus bohong sih, Bu?" Risyad memanfaatkan nada khawatir ibunya. "Aku nggak akan menghubungi Ibu untuk minta nomor Kiera kalau nggak penting."

"Tunggu, biar Ibu saja yang hubungi dia. Ibu nggak mungkin ngasih nomornya ke kamu tanpa minta persetujuan dia dulu. Ibu paling nggak suka kalau ada yang ngasih nomor Ibu ke orang lain tanpa setahu Ibu. Tapi Semoga Kiera nggak datang ke kafe itu kerena berubah pikiran dan menghindari kamu aja."

Apa-apaan ini? Risyad melongo menatap ponselnya yang diputus begitu saja. Apa yang ibunya bilang tadi? Kiera membatalkan niat ke kafe ini untuk menghindarinya? Yang benar saja! Sejak kapan ada perempuan yang berusaha menghindari pertemuan dengannya?

Iya, Kiera memang kelihatan tidak terkesan padanya, tapi kemungkinan besar itu hanya trik jual mahal. Permainan kuno untuk mendapatkan perhatian laki-laki. Kiera tidak mungkin berbeda dengan perempuan lain.

"Udah dapat nomornya?" tanya Tanto penasaran.

Risyad meletakkan ponselnya di atas meja. "Ibu gue mau menghubunginya sendiri. Apa ada undang-undang yang melarang memberikan nomor telepon seseorang tanpa izin yang punya nomor?"

Tanto tertawa.

"Teman Anjani itu cantik banget ya?" Rakha ikut nimbrung.

"Memangnya kalau dia nggak cantik, kita nggak boleh khawatir atas keselamatan seseorang?" Tanto balik bertanya.

"Bukan gitu, To. Gue nanya cantik atau nggak karena kadar kekhawatiran Risyad kayaknya terlalu berlebihan untuk ukuran kenalan doang. Dia bahkan belum punya nomornya. Kalau beneran cantik, gue yakin, dia pasti naksir."

"Perempuan yang lo ditaksir kisah cintanya pasti bakalan suram." Tanto menepuk punggung Risyad kuat-kuat. "Lo kan biasanya hanya antusias di awal-awal saat PDKT aja. Begitu mereka mulai berharap lo bilang cinta, lo pasti udah kabur. Ada aja alasan untuk pembenaran lo ngambil langkah seribu."

"Gue udah bilang jutaan kali kalau PDKT itu ngabisin waktu," sela Rakha. "Lo nggak perlu punya hubungan emosional untuk ML. Lo hanya perlu nyetok pengaman yang kualitasnya bagus banget supaya nggak punya masalah dengan penyakit kelamin dan kehamilan. Hubungan tanpa ikatan nggak akan menyakiti siapa pun."

"Nggak ada jaminan 100 persen kalau pengaman yang lo banggain kualitasnya itu bisa menghindarkan lo dari penyakit kelamin." Tanto mengibas. "Intinya bukan pada soal pelampiasan hormon, Kha. Punya koneksi istimewa dengan seseorang itu menyenangkan. Hal yang mungkin sulit lo mengerti dengan pilihan hidup seperti yang lo anut sekarang."

"Menyenangkan ya?" Rakha tertawa. "Jadi mengapa lo udah seabad nggak punya hubungan istimewa dengan perempuan mana pun?"

"Sialan!" umpat Tanto.

Risyad ikut tertawa. Mau tidak mau dia memikirkan kata-kata yang tadi Tanto ucapkan. Meskipun redaksinya beda, makna kalimat itu sama dengan apa yang ibunya katakan. Sikapnya yang supel membuatnya gampang mendekati seseorang, tetapi hubungan itu jarang berakhir dengan komitmen yang bertahan lama. Ada saja hal yang akhirnya mengurungkan niatnya untuk terlibat hubungan yang lebih mendalam. Terutama karena sifat posesif perempuan yang didekatinya. Belum resmi saja telepon dan pesan WA-nya sudah menggunung. Risyad tidak bisa membayangkan dirinya menjadi tawanan wajib lapor begitu terlibat dalam komitmen.

"Gue nggak akan kabur kalau orangnya tepat," Risyad merespons Tanto meskipun topiknya sudah berganti. Percakapan dengan teman-temannya memang selalu melompat-lompat tak tentu arah.

"Hubungan itu tentang kompromi sih," kata Tanto yakin. "Yang penting cinta aja dulu. Asal komprominya berjalan bagus, orangnya akan terasa tepat. Adik gue dan istrinya kayak bumi dan langit. Hampir nggak punya kesamaan. Tapi pernikahan mereka harmonis banget."

"Dari luar, sifat, hobi, dan pekerjaan mereka memang beda, To. Tapi gue yakin mereka cocok banget di atas tempat tidur. Hubungan yang harmonis itu adalah komunikasi ranjang yang sangat berhasil," ujar Rakha tidak kalah yakin. "Gue juga lihat itu dari hubungan orangtua gue."

"Hei, berhentilah ngomongin hubungan orangtua lo di tempat tidur! Dasar Malin Kundang!"

Risyad menggeleng-geleng mendengar perdebatan teman-temannya. Dia kembali meraih ponsel. Seharusnya ibunya sudah selesai menghubungi Kiera. Jedanya sejak dia menelepon tadi sudah cukup lama.

"Kiera sudah di rumahnya," jawab ibunya sebelum Risyad bertanya. "Dari pameran dia langsung pulang."

Risyad termangu. Apakah Kiera benar-benar menghindarinya? Mengapa? Dia bahkan belum menunjukkan tanda-tanda ketertarikan. Dan Risyad yakin yang dia rasakan pada Kiera sekarang tidak lebih daripada sekadar penasaran, bukan tertarik. Penasaran dan tertarik itu jelas tidak sama. Iya, kan?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro