Sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditolak mentah-mentah meskipun sambil diberi senyum manis itu menyebalkan, terutama kalau dialami orang yang nyaris tidak pernah menerima kata tidak.

Risyad tidak habis pikir apa yang membuat Kiera berkeras tidak mau terlibat dengannya. Apakah dia benar-benar sedang dalam fase patah hati yang sangat parah? Hebat sekali lagi-laki yang bisa memengaruhi Kiera sampai sedemikian rupa. Apakah dia diselingkuhi? Hanya itu alasan mengapa seorang perempuan jadi menghindari laki-laki lain, kan? Karena takut akan kembali mengalami hal yang sama.

"Roti lo dioles wasabi?" Tanto tertawa saat melihat tampang masam Risyad yang memasuki bungalo. "Kalau dalam anime, beberapa detik lagi dari telinga lo akan keluar asap. Dan lo lantas bertransformasi menjadi raksasa yang akan menghancurkan satu desa dengan tangan kosong."

"Lo percaya ada perempuan yang bilang kalau gue bukan tipenya?" Risyad mengempaskan tubuh di sisi Tanto yang lantas menutup MacBook. "Yang benar saja!"

"Kiera bilang begitu? W.O.W," Tanto mengeja huruf itu. "Sekarang gue percaya. Gue bilang juga apa? Dia pinter banget. Kelihatan kok dari ekspresinya saat bicara."

"Dia nggak bilang begitu," ralat Risyad sebal mendengar tanggapan Tanto. "Tapi tujuannya memang ke situ."

"Gue sudah pernah bilang kalau nggak semua perempuan otomatis terbuai sama kata-kata manis dan silau sama penampilan lo, Syad. Lo harus terima itu. Jangan tanya alasannya karena gue bukan perempuan. Gue hanya tahu bahwa meskipun pola pikir mereka mungkin sama, tapi cara mereka menganalisis dan mengambil keputusan bisa berbeda."

"Gue masih belum yakin kalau dia benar-benar nggak tertarik sama gue." Risyad menepuk punggung Tanto keras. "Lo ganti baju deh."

"Bukannya kita baru mau ketemu Rakha saat makan siang nanti?" Tanto mengernyit bingung mendengar perintah Risyad.

"Kita bisa ketemu Rakha kapan-kapan. Tidak ketemu dia sebelum kita balik ke Jakarta juga nggak masalah." Risyad menyeringai lebar. "Tapi kita hanya punya waktu hari ini untuk jalan bareng Kiera."

"Tidak!" Tanto langsung menolak. "Gue nggak mau punya andil dalam usaha lo bikin perempuan patah hati. Lagian, sejak kapan lo butuh bantuan gue untuk dekatin perempuan?"

"Sejak hari ini."

Tanto menggeleng. "Ini kekanakan. Gue bisa muntah-muntah di jalan saat dengar kata-kata lebay yang keluar dari mulut lo untuk menarik perhatian Kiera. Lepasin dia deh. Lebih baik cari orang lain yang lebih gampang lo bikin terpesona."

"Tidak ada tantangannya," tolak Risyad.

"Sekarang lo akhirnya mengakui kalau Kiera hanya tantangan." Tanto beranjak dari sofa tempatnya duduk. "Gue lebih baik nungguin Rakha. Kalau mau tetap ikut Kiera dan Alita, lo harus pergi sendiri."

"Bukan tantangan seperti itu yang gue maksud, To." Risyad ikut berdiri dan menghampiri Tanto. "Oke, gue ngaku deh kalau gue tertarik. Lo juga benar kalau gue gampang kehilangan antusiasme. Jadi dengan ikutan jalan bersama mereka hari ini, gue bisa menghabiskan banyak waktu dengan Kiera. Mungkin saja gue bisa melihat kalau dia sebenarnya berbeda dengan apa yang gue pikir tentang dia. Kalau dia ternyata berbeda, setelah hari ini, gue nggak akan ganggu dia lagi."

Tanto bergeming.

"Atau, mungkin saja ketertarikan gue permanen, dan dia memang orang yang tepat untuk gue." Risyad menepuk lengan atas Tanto. "Ayolah. Ini pertama kalinya gue minta bantuan lo untuk soal ginian. Itu artinya gue serius mau kenal Kiera lebih dalam, kan?"

Mata Tanto menyipit, masih terlihat tidak percaya.

"Kalau Kiera memang jodoh gue, lo bisa mengejek gue seumur hidup karena pernah minta bantuan lo untuk mendekatinya. Gue tahu lo menikmati bisa mengejek gue. Seumur hidup, Man. Lo bisa bayangin berapa lamanya itu."

Tanto mulai goyah. Risyad bisa melihat itu. Dia buru-buru melanjutkan, "Lo yang selalu kasih ceramah soal kembali ke jalan yang benar. Kiera mungkin saja perempuan terakhir yang gue dekatin karena gue nggak akan tertarik pada orang lain lagi."

"Sial!" umpat Tanto keras. "Gue pasti akan menyesal sudah mau melakukan ini."

"Thanks ya!" Risyad tersenyum lebar karena berhasil meyakinkan temannya. "Sekarang lo ganti baju deh. Pakai jeans. Gue nggak mau Kiera lebih tertarik sama betis lo daripada gue. Ingat, jangan ceramah. Kalau dia beneran lagi patah hati, kalimat bijak lebih menyentuh daripada rayuan gue. Lo bukan pemeran utama di sini."

"Lo mau ditemenin nggak sih?" sentak Tanto sebal. "Syarat dan ketentuannya ribet banget! Kalau lihat sikap lo yang kayak gini, lo harusnya sadar kalau kadar ketertarikan lo jauh lebih dalam daripada yang lo pikir."

**

Apa-apaan ini? Kiera benar-benar sebal. Risyad dan Tanto menghentikan mobil yang akan mengantar mereka berkeliling Bali dan mengatakan akan bergabung. Pemilihan waktunya menakjubkan, karena Kiera tidak mungkin membatalkan kepergiannya tanpa terlihat konyol.

Dia memang sudah terang-terangan menyatakan ketidaktertarikan pada Risyad, tetapi tidak mungkin menolak kehadiran laki-laki yang notabene adalah pemilik fasilitas yang sedang dinikmati Kiera. Bagaimanapun, dia tahu sopan-santun.

"Jadi, rute kita hari ini ke mana aja?" tanya Tanto yang duduk di kursi bagian tengah bersama Risyad.

Kiera lebih memilih diam, karena tahu Alita akan menjawab pertanyaan itu.

"Ke Ubud dong. Banyak banget pilihan tempat menarik di sana," Alita terdengar yakin, tapi lantas melanjutkan, "Tapi kalau Mas Risyad dan Mas Tanto punya tempat lain yang mau dikunjungi, saya dan Kie bisa menyesuaikan kok."

Dasar tidak konsisten! Tapi Kiera tetap bungkam.

"Kami kan penumpang gelap," ujar Risyad. "Jadi kami akan ikut ke mana pun kalian pergi. Daripada tinggal di vila aja. Iya kan, To?"

"Memangnya gue bisa bilang tidak?" sambut Tanto. "Gue kan bukan pemeran utama. Keinginan gue nggak penting."

Jawaban Tanto nyaris membuat Kiera tersenyum. Kejengkelannya perlahan mulai surut. Bodoh sekali kalau membiarkan suasana hatinya rusak hanya gara-gara tambahan teman jalan yang tidak terduga ini. Risyad toh bukan hanya satu-satunya pria yang pantang menyerah yang pernah dihadapinya. Kiera sudah sering bertemu laki-laki yang sadar pada pesona yang mereka miliki. Ego laki-laki seperti itu biasanya sebesar gunung Agung. Mereka sulit menerima ada perempuan yang bisa mengabaikan mereka.

"Di Ubud memang punya banyak tempat wisata," kata Risyad lagi. "Saking banyaknya, waktu kita nggak akan cukup kalau mau didatangin semua. Sudah punya list mau ke mana saja?"

"Monkey Forest di-skip aja ya," jawab Alita. "Kami sudah pernah ke sana, dan saya masih punya dendam kesumat sama salah seekor monyet di sana."

Kali ini Kiera tidak bisa menahan senyum. Terakhir ke Monkey Forest, Alita terlibat insiden memalukan dengan salah seekor monyet di sana. Binatang itu menjambret tas kecil yang Alita sampirkan di bahu. Salahnya juga karena Anjani yang waktu itu bersama mereka sudah berkali-kali menyuruhnya menyelempangkan tas itu, tetapi dia cuek saja. Akibatnya, Alita harus kejar-kejaran dengan monyet tersebut untuk mendapatkan tasnya kembali. Beberapa orang wisatawan yang tertarik dan merasa terhibur dengan adegan itu merekam kejadian tersebut. Ada yang malah iseng mengunggahnya di You Tube.

"Pilihannya, mau wisata sejarah, religi, atau wisata alam?" tanya Risyad lagi.

"Yang belum pernah kita kunjungin aja kali ya, Kie?" Alita meminta pertimbangan Kiera. Yang ditanya hanya mengangguk.

"Kami sudah pernah ke Tampak Siring, pura Sarawasti, Istana Raja Ubud, Galeri Rudana, Museum Blanco, Museum Arma, Botanical Garden, dan Sawah Tegalang," Kiera menyebut nama tempat-tempat wisata yang sudah pernah mereka kunjungi saat ke Bali beberapa tahun lalu.

"Wah, kalau begitu pilihannya nggak terlalu banyak lagi dong. Mau ke Taman Burung?"

"Pasti menyenangkan mendengar kicauan burung setelah dengerin lo ngomong sepanjang jalan," cetus Tanto menjawab Risyad. "Lo tadi ngisi baterai sampai 110 persen ya? Energi lo sampai luber gini."

Risyad tertawa. "Gue hanya berusaha menjadi teman jalan yang asyik, supaya Kiera dan Alita nggak menyesal mengizinkan kita ikut."

"Asyik dan maksain diri itu dua hal yang berbeda sih."

Kiera memilih menjadi pendengar saja. Dia menikmati pemandangan dari balik jendela mobil. Memasuki Gianyar, aneka kerajinan tampak berjajar di sepanjang jalan. Penduduk di wilayah itu dikaruniai dengan kemampuan seni yang menakjubkan. Menjadi seorang perupa pasti tidak gampang. Kiera tahu itu karena dia tidak memiliki jiwa seni. Dia hanya penikmat.

Pengunjung Bali Bird Park belum terlalu banyak saat mereka tiba di sana. Risyad bergegas membeli tiket masuk. Kiera membiarkannya karena tahu tidak akan memenangkan perdebatan dengan ego laki-laki. Tidak mungkin juga menyodorkan uang untuk mengganti tiketnya dan Alita. Jadi dia hanya mengekor memasuki kawasan wisata itu.

Taman Burung itu ternyata tidak hanya memelihara ribuan burung dengan ratusan spesies, tetapi juga hewan reptil. Tempat itu dibangun sesuai habitat hewan-hewan yang ada di situ. Hutan-hutan buatan yang lengkap dengan kolam dan sungai buatan.

"Saya baru tahu ada merak putih."

Kiera yang sedang membaca deskripsi tentang merak itu menoleh. Risyad sudah berdiri di sampingnya.

"Tidak secantik yang warna-warni sih," jawab Kiera. Dia melangkah menjauhi tempat merak itu. "Semoga dia nggak dengar, karena kalimat saya barusan berbau rasis."

"Jangan khawatir, kalaupun dengar, dia pasti nggak mengerti." Risyad menyengir. Dia mengiringi langkah Kiera. "Frekuensinya beda."

"Syukurlah." Kiera berhenti lagi untuk membaca deskripsi tentang bunga anggrek yang tampak eksotis.

"Mau foto?" tawar Risyad.

Kiera menggeleng. "Saya bisa foto sendiri kok." Dia mengarahkan kamera yang menggantung di lehernya pada anggrek itu.

"Maksud saya, fotoin kamu sama anggreknya," Risyad meralat kalimatnya.

"Nggak usah," tolak Kiera. "Kasihan anggreknya. Dia pasti sebal kalau harus satu frame dengan saya."

"Bukan salah kamu kalau anggreknya kalah cantik sih."

Kiera tertawa. Risyad memang persis seperti perkiraannya. Pasti sudah banyak sekali perempuan yang menjadi korban mulut manisnya.

"Kok malah ketawa?"

"Saya nggak mungkin tersipu-sipu sih. Itu garing banget." Kiera melanjutkan langkah. "Mas harus upgade kemampuan merayu."

Risyad memegang dada, pura-pura kesakitan. "Tusukannya sampai di sini. Ini yang pertama kali kemampuan saya diragukan."

"Mungkin karena salah sasaran saja sih," kata Kiera ikut berpura-pura menghibur. "Semoga beruntung dengan orang selanjutnya. Seleranya mungkin berbeda dengan saya."

"Masalahnya, saya tipe yang susah move on."

"Ya, tentu saja," jawab Kiera dengan nada sarkastis. "Biasanya butuh waktu berapa lama, 5 menit, atau malah 5 detik?"

Percakapan mereka disela kedatangan Tanto dan Alita.

"Man, lo kok di sini? Padahal teman-teman lo udah nungguin di sana." Tanto menepuk punggung Risyad.

"Teman-teman gue?" Risyad balik bertanya.

"Buaya. Mereka lagi nungguin elo kasih makan tuh. Buruan ke sana. Nanti gue fotoin saat lo masuk ke habitat lo."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro