Tiga Belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ORANG harus kreatif menciptakan kesempatan, karena tujuan yang ingin dicapai tidak bisa digantungkan pada kebetulan semata. Semesta mungkin bekerja, tetapi hasilnya akan lebih cepat kalau ada usaha dari si pemilik hajat.

Risyad bergegas menuju lift saat Thian yang meletakkan kotak kue di meja kantornya mengatakan, "Ibu lagi ada tamu tuh. Banyak kue di bawah. Gue disuruh bawain buat elo. Katanya ini pastel kesukaan lo."

Yayasan ibunya menempati salah satu lantai di gedung ini. Setahu Risyad, kantor ibunya yang menyerupai LBH itu memang tidak pernah sepi. Ada banyak perempuan dan anak-anak bermasalah yang butuh bantuan hukum, atau sekadar konsultasi dengan psikolog dan psikiater yang memang diakomodir yayasan.

"Tamunya banyak?" tanya Risyad berbasa-basi.

"Waktu gue mampir sih ibu cuman lagi ngobrol sama penulis yang ngerjain bukunya. Ternyata orangnya masih muda ya?" Thian mengernyit saat melihat Risyad langsung bergerak menuju pintu. "Hei, lo mau ke mana? Ini kuenya gimana?"

Risyad melambai. "Thanks infonya, Bro." Dia meninggalkan kakaknya yang masih berdiri kebingungan di ruangannya.

Ini kesempatan untuk bertemu Kiera. Untung saja jadwalnya hari tidak padat. Hanya rapat internal dengan para manajer yang tadi pagi dipimpin oleh Thian. Pertemuan makan siang dengan investor dibatalkan karena orang tersebut mendadak harus ke rumah sakit sebab istrinya masuk IGD. Kalau rezeki memang tidak ke mana, walaupun harus melalui penderitaan orang lain.

Kiera dengan penghindarannya malah membuat rasa tertarik Risyad semakin besar. Beberapa hari lalu dia mengirim pesan mengajaknya bertemu, tetapi pesannya tidak dibalas. Dua teleponnya juga tidak diangkat.

Patah hati yang dialami perempuan itu benar-benar hebat sampai dia memilih mengabaikan Risyad. Tapi, pengabaian itu tidak akan berlangsung lama. Risyad yakin itu. Perempuan menyukai konsistensi. Kalau dia konsisten mendekatinya, Kiera pasti akan luluh. Bagaimanapun sakitnya luka patah hati, cinta yang baru selalu bisa menyembuhkan. Cinta melukai. Ya itu kodrat, tetapi luka itu akan terlupakan oleh cinta yang lain. Sudah siklusnya. Kiera tidak mungkin berbeda. Dia tidak bisa melawan hukum alam,

"Ibu sedang ada tamu, Pak," kata sekretaris ibunya sebelum Risyad bertanya.

"Saya tahu." Risyad menunjuk sofa yang ada di situ. "Saya akan menunggu. Ngomong-ngomong, tamunya sudah lama?"

Sekretaris itu melihat pergelangan tangannya. "Sudah lebih sejam sih, Pak. Ada pesan untuk Ibu? Atau Pak Risyad bisa telepon saja kalau ada yang penting. Tidak perlu menunggu, karena mungkin saja masih lama."

"Saya akan menunggu," ulang Risyad. Ibunya memang gampang dihubungi, tetapi tamu ibunya itu licin seperti belut. Meleng sedikit, orangnya sudah kabur. Butuh trik untuk menangkapnya. Risyad sudah bersiap. Kalau memang harus pakai jaring, dia bisa menemukan jaring itu dalam waktu singkat.

Risyad mengabaikan kerutan di dahi sekretaris ibunya. Meskipun kantor ibunya berada satu gedung dengannya, Risyad sangat jarang berlama-lama di sini. Dia biasanya sekadar mampir menjemput ibunya kalau mereka janjian untuk makan siang bersama. Dan itupun jarang. Mereka lebih sering bertemu di rumah saat akhir pekan daripada di gedung ini. Mobilitas mereka sama-sama tinggi. Bukan hanya Risyad, ibunya juga aktif keluar daerah kalau ada kasus yang harus dikerjakan.

Setelah duduk bermain dengan ponsel selama lebih dari setengah jam, pintu ruangan ibunya akhirnya terkuak, diikuti suara obrolan yang akrab. Risyad mendongak. Ibunya begitu gampang mendapatkan perhatian Kiera. Persamaan jenis kromosom mungkin memang membuat perempuan lebih gampang terkoneksi.

"Lho, Syad, ada apa?" Paramitha lebih dulu menyadari kehadiran anaknya. "Ada yang penting? Kok nggak telepon saja sih?"

Risyad bangkit dari kursi. "Kita kan satu gedung, Bu. Masa mau mengajak Ibu makan siang saja harus telepon dulu sih." Dia melihat Kiera. "Oh, Ibu lagi ada tamu penting ya?"

"Kamu mengajak Ibu makan siang karena Thian sudah ngasih tahu siapa tamu Ibu?" sindir Paramitha.

Risyad tertawa, tidak salah tingkah karena kata-kata ibunya yang blakblakan. "Kalau Ibu sibuk, aku bisa makan siang dengan tamu Ibu saja kok."

"Abaikan dia." Paramitha menggamit Kiera. "Kita makan siang di atas ya. Gurame goreng dan sambalnya enak banget. Makan gurame mungkin nggak elegan kalau dilakukan di kantor kayak gini, tapi beneran enak. Itu yang penting."

Risyad mengikuti langkah ibunya dan Kiera. Bicara soal konsistensi, dia bisa sangat konsisten melengket seperti lintah. Hanya itu yang dibutuhkan untuk mendekati orang yang sedang patah hati seperti Kiera.

"Bu...," tahan sekretaris Paramitha. "Ini ada telepon dari Komnas Perempuan." Dia menunjuk telepon yang sedang digenggamnya.

Paramitha berbalik. "Kami memang sudah janjian sih kemarin. Saya pikir mereka malah nggak bisa ke sini. Jadwalkan pertemuannya untuk sore ya."

"Tapi mereka sudah di lobi, Bu."

Paramitha tampak ragu.

"Kita bisa makan siang kapan-kapan, Bu," kata Kiera.

Paramitha mengusap dahi bingung. "Gini aja, kamu makan dengan Risyad. Dia juga udah telanjur turun. Tapi kalau kata-katanya mulai ngelantur, abaikan saja dia. Saya beneran minta maaf karena kamu terpaksa harus liburan bareng dia. Kalau tahu dia juga ke Bali, saya bisa rekomen tempat yang lebih bagus daripada vila yang kalian tempati waktu itu."

"Ngelantur gimana, Bu?" Risyad pura-pura tersinggung. "Hobi banget merusak nama baik anak sendiri. Lagian, Ibu nggak usah takut Kiera termakan kata-kataku. Dia nggak mempan rayuan. Waktu di Bali aku sudah coba. Kalau ada hasilnya, kami sudah ketemuan di luar gedung ini."

Kiera mengamati perdebatan Paramitha dengan Risyad. Hubungan keduanya pasti sangat dekat, karena bisa saling mencela seperti itu. Seperti bumi dan langit dengan apa yang terjadi pada Kiera dan ibunya. Alih-alih saling mengejek untuk menunjukkan keakraban, mereka sekarang sangat berhati-hati memilih kata-kata saat bicara.

Sudah beberapa hari ini Kiera tinggal di rumah ibunya seperti yang dia janjikan pada Tante Ayi. Pertemuan mereka hanya terjadi meja makan. Berlomba menghabiskan makanan masing-masing supaya bisa kembali ke kamar. Sulit membayangkan hubungan yang sudah berantakan seperti itu bisa disatukan kembali.

"Tidak apa-apa makan berdua Risyad kan, Kiera?" Paramitha menyentuh lengan Kiera.

Menolak berarti membuat Paramitha merasa tidak enak hati. "Nggak apa-apa, Bu."

"Lain kita kita makan siang atau makan malam sama-sama ya. Waktunya akan diatur supaya tidak mendadak batal kayak gini."

Kiera menunggu sampai Paramitha kembali ke ruangannya sebelum melanjutkan langkah keluar kantor yayasan itu.

"Mau menu apa untuk makan siang?" tanya Risyad yang berjalan di sebelah Kiera.

"Saya belum terlalu lapar sih." Kiera mengatakan yang sebenarnya, bukan untuk menghindari Risyad. Sebelum keluar rumah, dia sempat mengudap camilan yang disediakan ART ibunya di atas meja di kamarnya.

"Kata ahlinya, kita sebaiknya makan sebelum lapar, jadi makannya nggak emosional."

"Saya nggak pernah emosi saat berhadapan dengan makanan sih. Biasanya malah emosi dengan orang yang ngajak makan."

Risyad tertawa. "Saya janji akan jadi teman makan yang menyenangkan. Jadi, mau makan di mana?"

"Bukannya kita mau makan di restoran yang tadi disebutkan Ibu Paramitha?"

"Karena Ibu nggak jadi ikut, kita nggak harus makan di dalam gedung. Pilihannya terbatas."

"Di luar gedung?" Kiera bisa mengirimkan pesan untuk membatalkan makan siang itu dalam perjalanan nanti. Ada banyak alasan yang bisa digunakan. Kesannya memang kekanakan, tapi lebih baik daripada harus berlama-lama dengan Risyad, padahal mereka tidak punya hubungan kerja.

"Kamu bawa mobil?" tanya Risyad.

"Ya...?"

"Kalau kamu bawa mobil, kita makan di sini saja deh. Takut kamu kabur. Cari kesempatan ngajak kamu makan kan nggak gampang."

Kiera meringis karena Risyad bisa membaca pikirannya. "Jujur, saya tidak suka jadi korban antusiasme yang berlebihan."

"Saya lebih suka menyebutnya pendekatan," sambut Risyad dengan nada menggoda yang ringan. Dia mengangkat telunjuknya. "Ingat, yang jadi korban di sini itu saya lho. Dicuekin sama orang yang coba kita dekatin itu rasanya nggak enak banget."

"Apakah Mas selalu blakblakan, keras kepala, dan tidak pernah merima penolakan seperti ini?" Kiera mengikuti Risyad yang mengarahkan langkahnya menuju lift.

"Blakblakan, iya." Risyad mengerling jail. "Tapi keras kepala dan pantang menyerah baru kali ini. Biasanya saya nggak ditolak."

Mereka masuk lift khusus eksekutif, dan Risyad menekan tombol 25.

"Restoran di lantai 25?" tanya Kiera. "Wow. View-nya pasti bagus banget."

Risyad tersenyum. "Kita menunggu makanannya diantarkan ke kantorku. Tempat makan biasanya ramai banget jam segini. Nggak enak ngobrolnya."

Kiera balas tersenyum. "Sebaiknya Mas harus mulai percaya kalau kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Rasanya memang nggak enak. Tapi itulah hidup. Ada saatnya kita diterima dengan tangan terbuka, tetapi ditolak, meskipun menyebalkan, itu bukan aib. Terima saja."

"Saya percaya kalau usaha dan perjuangan itu akan membuahkan hasil yang manis."

"Sayangnya, tidak semua orang bisa memenangkan perjuangannya," sambut Kiera.

"Mereka kurang all out," bantah Risyad.

"Pejuang kemerdekaan dulu semua all out, tetapi akhirnya kalah juga sama penjajah."

"Mereka kekurangan sumber daya. Semangat saja tidak cukup. Kecil kemungkinan memenangkan pertempuran kalau membawa bambu runcing, tombak, dan parang untuk melawan senjata api. Jarak jangkaunya beda. Dan itu menentukan hasil akhir."

Lift terbuka. Risyad mengarahkan langkah Kiera menuju kantornya.

"Makanannya sudah dipesan, Pak," kata Sekretaris Risyad yang sontak berdiri ketika melihat kedatangan Risyad dan Kiera.

Mau tidak mau, Kiera terkesan dengan kecepatan gerakan Risyad mengirimkan pesan, karena dia nyaris tidak melihat laki-laki itu menekuri ponsel terlalu lama ketika dia akhirnya memutuskan tidak jadi mengajak Kiera makan di luar.

"Terima kasih ya." Risyad membuka pintu untuk Kiera. "Silakan masuk. Kehormatan banget bisa menerima kamu di sini."

"Saya dipaksa, tidak datang dengan sukarela." Kiera melangkah memasuki kantor Risyad yang luas. Selain kursi dan meja kerja, ada satu set sofa besar dan tampak nyaman. Kiera memilih sofa tunggal untuk duduk. "Bisa dibuka sebagian, kan?" dia menunjuk vertical blind yang menutup dinding kaca kantor Risyad. Benda yang memberikan privasi dari pandangan orang di luar ruangan.

Alis Risyad terangkat. "Blakblakan nggak berarti kurang ajar. Kita hanya makan saja. Dan rasanya nggak nyaman kalau dilihat staf kantor yang kebetulan lalu-lalang."

"Saya percaya Mas sopan. Tapi saya punya masalah kalau berada di dalam ruangan yang tertutup rapat dalam waktu lama," kata Kiera bohong. Dia tidak punya klaustrofobia, tetapi lebih nyaman saat punya akses pandangan keluar ruangan. Bagian dinding kaca kantor Risyad yang terbuka dan menunjukkan pemandangan kota tidak cukup untuknya. Kiera lebih suka melihat ada orang lain yang berada cukup dekat dengan mereka.

"Oh, sori." Risyad membuka vertical blind. "Pintunya mau sekalian dibuka?"

"Kalau tadi Mas membiarkan pintunya dibuka, vertical blind-nya nggak perlu ikut dibuka sih."

Risyad tersenyum. "Saya tidak mau ambil risiko kamu kenapa-kenapa dalam ruangan ini karena terserang fobia."

Dia tahu alasan Kiera minta akses pemandangan keluar bukan karena alasan takut berada dalam ruangan tertutup. Perempuan itu tadi berada di ruangan ibunya sekitar 2 jam, dan ruangan ibunya tidak jauh berbeda dengan tempat ini. Kiera pasti hanya tidak nyaman berada di ruang tertutup dengannya. Selama ini pertemuan mereka selalu terjadi di tempat terbuka, ataupun kalau berada di dalam mobil, mereka tidak pernah berdua.

Pertanyaannya adalah, mengapa? Baru kali ini Risyad menemukan perempuan yang takut berada di ruangan yang sama, hanya berdua dengannya.

**

PO sudah dibuka ya, Gengs. Makasih untuk yang sudah ikutan. Buat yang belum dan pengin ikutan, bisa ke link di bawah, atau IG Kak Sela belibuku.fiksi

Untuk yang sudah baca novel ini di Storial, dan pengin tahu apakah ada EP di novel, iya, ada 4 EP di novel ini. Bonusnya (di buku terpisah) adalah kumpulan EP yang di-publish di Karyakarsa. Emang nggak semua karena bonus terkendala jumlah halaman, tapi dijamin bakal puas kok bacanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro