Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Risyad memutuskan kembali ke vila setelah berlari menyusuri pantai selama hampir satu jam. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Udara yang dingin saat baru keluar dari bungalo subuh tadi tak terasa lagi.

Dia memutuskan joging karena tidak mau tidur lagi setelah terjaga. Berlibur bukan justifikasi untuk menumpuk lemak. Dan jarang-jarang dia bisa menghirup udara sesegar ini. Tepi pantai vila ini berbeda dengan suasana di Jakarta. Di sana dia lebih sering berolahraga di tempat tertutup daripada di luar ruangan.

Ayunan kaki Risyad melambat saat mendekati vila. Seseorang yang berdiri menghadap laut masuk jangkauan pandangannya. Meskipun masih temaram, dia bisa melihat kalau perempuan itu tidak sedang melakukan aktifitas yang sama dengannya. Terlihat jelas dari penampilannya. Perempuan itu memakai kemeja gombrang dan jeans. Itu pakaian yang sangat tidak nyaman untuk dipakai tidur, apalagi untuk berolahraga. Kakinya yang dijiat lidah gelombang juga telanjang. Dia seperti kehilangan alas kaki, tetapi tampak tak peduli.

Apakah dia salah seorang dari penghuni vila utama? Dia belum tidur sama sekali? Clubbing sampai subuh?

Risyad dan Tanto semalam tidak keluar dari bungalo karena makan malam mereka diantarkan di sana. Kemarin mereka memang masuk kerja dulu sebelum terbang, jadi lelah yang dibawa dari Jakarta masih tersisa. Tadi saja Tanto menolak saat diajak joging bersama. Dia lebih memilih melanjutkan tidur.

Ini masih terlalu pagi untuk berbasa-basi, jadi Risyad berniat langsung kembali ke bungalo. Tamu ibunya juga pasti lebih nyaman kalau merasa berlibur di situ tanpa orang lain. Risyad sudah mengatakan kepada pengurus vila supaya tidak memberi tahu keberadaannya dan Tanto. Kecuali kalau mereka memang tidak sengaja berpapasan di areal vila. Mau tidak mau mereka harus bertegur sapa supaya tidak disangka penyusup.

Profil perempuan itu menjadi jelas ketika dia menoleh ke arah Risyad. Dia pasti mendengar suara yang ditimbulkan sepatu Risyad yang beradu dengan pasir saat berlari.

Risyad membatalkan niat kembali ke bungalo. Alih-alih pulang, dia malah mendekati perempuan itu. Tamu ibunya benar-benar di luar dugaan.

"Halo," tegurnya setelah jarak mereka cukup dekat. Kemeja Kiera tampak gombrang dari kejauhan karena dia tidak mengancingkannya. Tampaknya dia sengaja memakai kemeja itu untuk melapisi tank top.

Sekarang perempuan itu buru-buru memasukkan beberapa anak kancing bagian atas kemeja ke lubangnya, seolah sedang tertangkap basah hanya memakai bikini superminim di tempat yang sangat pribadi. Padahal walaupun dipakai asal-asalan, pakaiannya sangat sopan dan tertutup.

"Hai...," senyum Kiera tampak ragu. "Saya nggak tahu kalau Mas juga liburan di sini."

Mas. Ya, setidaknya terdengar lebih baik dari pada "Bapak", meskipun Risyad lebih suka orang-orang yang sudah mengenalnya dengan baik memanggilnya dengan sebutan nama saja. Tapi dia dan Kiera kan memang bertemu beberapa kali. Belum termasuk golongan teman, baru sekadar kenalan.

"Kami baru tiba semalam."

"Kami?" ulang Kiera.

"Saya berdua dengan teman." Risyad menunjuk vila, dan segera menyadari kalau tindakannya itu konyol. Kiera tahu di mana tinggalnya di antara beberapa vila yang berjajar di sepanjang pantai. "Dia masih tidur. Kami nginap di bungalo belakang yang terpisah dengan bangunan utama, jadi nggak akan mengganggu kalian. Saya baru tahu Ibu ada tamu saat tiba di sini."

"Saya dan Alita yang mungkin mengganggu liburan Mas." Kiera tampak sungkan. "Kami akan pindah ke hotel saja."

"Jangan pindah dong," sambut Risyad cepat. "Ibu akan ngomel kalau tahu kalian pindah gara-gara saya ada di vila. Ibu nggak tahu saya ke Bali. Kalau tahu, Ibu pasti nggak nggak ngasih izin saya tinggal di sini, takut kalian merasa terganggu dengan kehadiran saya dan teman-teman."

"Tapi...."

"Belum sempat tidur?" Risyad buru-buru mengalihkan topik percakapan, supaya Kiera tahu dia tidak merasa terganggu atau mempermasalahkan kehadiran mereka di tempat yang sama sekarang.

"Baru bangun malah." Kiera menunduk dan melihat pakaian yang dikenakannya. Senyumnya mengembang. "Kebiasaan jadi orang lapangan nih. Bisa tidur nyenyak dengan model pakaian apa pun. Nggak mungkin bawa piama saat meliput di jalanan. Lebih nyaman rebahan di trotoar pakai jeans kalau memang nggak bisa pulang untuk tidur di rumah."

Risyad ikut tersenyum. "Saya pikir semalam kalian menjajal kehidupan malam di Bali."

"Selain ke Tanah Lot, kami malah belum ke mana-mana." Kiera merentangkan sebelah tangan ke arah pantai. "Tujuan liburannya memang ke tempat kayak gini sih. Jadi tinggal di vila aja udah nyaman banget."

Entah mengapa Risyad senang melihat Kiera jadi lebih rileks. "Celana kamu basah tuh." Dia menunjuk kaki Kiera. "Nggak dingin?"

Kiera mundur beberapa langkah. "Tadi memang sengaja masuk air biar ngantuknya beneran hilang."

"Tapi sayang aja sih kalau udah di Bali, tapi hanya tinggal di vila. Sudah punya rencana untuk hari ini?" tanya Risyad.

Kiera menggeleng. "Belum. Mungkin malah mau tinggal di vila saja untuk nulis."

"Kalau untuk nulis buku Ibu, itu bisa ditunda. Ibu nggak buru-buru kok. Lagian, ini liburan. Kerjaan ditinggal dulu. Kalian bisa gabung dengan kami ke pulau Menjangan. Agak jauh sih, tapi spot diving-nya bagus banget."

"Kie, kok nggak bangunin gue sih? Gue kan nggak mau ketinggalan sunrise juga."

Suara yang datang arah belakang membuat Risyad menoleh. Alita yang menghampiri mereka masih mengenakan piama. Pilihan pakaian teman Kiera untuk tidur tampaknya lebih normal.

"Lo nyenyak banget, Lit."

Alita beralih menatap Risyad. Dia mengernyit. "Saya nggak tahu Pak Risyad juga liburan di sini."

"Risyad aja deh, biar lebih santai. Saya baru tiba semalam kok," Risyad mengulangi penjelasan yang tadi dia berikan untuk Kiera. "Saya juga nggak tahu weekend ini bakalan ramai karena ada teman liburan." Kali ini dia mencoba senyumnya untuk Alita. Hasil yang didapatnya dari Kiera tadi kurang memuaskan. Mungkin tampangnya saat bercucuran keringat tidak semaksimal yang dia pikir.

Senyum Alita jauh lebih lebar dan tatapannya jelas tidak awas seperti Kiera. Berarti kesalahan memang tidak terletak pada senyumnya, tetapi pada sikap kewaspadaan Kiera yang berlebihan. Mungkin trik jual mahal seperti yang diduganya, meskipun aktingnya tampak sangat natural. Perempuan memang selalu bisa memainkan peran lebih baik daripada laki-laki. Sudah kodrat.

"Saya dan Alita nggak mau mengganggu liburan Mas Risyad," ujar Kiera cepat sebelum Alita sempat merespons.

"Liburan bareng nggak mungkin mengganggu." Risyad semakin menyadari nada menghindar Kiera, dan itu juga membuat rasa penasarannya kian kental. Jual mahal biasanya tidak selalu dilakukan dengan aksi membuat jarak, kan? Bagaimana bisa menarik perhatian seseorang kalau malah menghindari pertemuan? "Lebih rame malah makin bagus."

"Kalau diajakin, nggak mungkin dianggap mengganggu, Kie," jawaban Alita sesuai harapan Risyad. "Kita kan cuman ke tempat yang sama. Jalan pakai kaki sendiri, nggak digendong, jadi nggak akan merepotkan."

"Kaki gue beneran dingin nih." Kiera melihat kakinya yang basah. Dia tampaknya tidak tertarik membahas soal liburan bersama itu. "Gue masuk duluan ya, Lit." Dia mengulas senyum pada Risyad sebelum berbalik menuju vila.

Risyad terus mengawasi Kiera yang menjauh. "Lihat Kiera di sini dengan pakaian seperti itu, saya pikir dia belum tidur."

Alita tertawa. "Kiera memang nyaman-nyaman aja tidur dengan pakaian kayak gitu sih. Kadang-kadang saya juga bingung, padahal kan repot banget kalau kebelet buang air kecil tengah malam. Kalau ada orang yang keluar dengan pakaian lengkap banget saat ada gempa bumi dini hari, orang itu pasti Kiera."

Risyad beralih pada Alita saat Kiera sudah hilang dari pandangannya. "Hari ini kami akan ke pulau Menjangan. Mau gabung?" Tanto tidak mungkin keberatan mendapat tambahan teman diving. Di antara semua sahabatnya, Tanto lah yang paling gampang menyesuaikan diri dengan orang baru.

"Diving ya?" Alita tampak ragu.

"Nggak bisa berenang?" tanya Risyad. Kalau benar begitu, kedua perempuan itu tidak akan bergabung. Mereka tidak terlihat seperti orang yang akan memaksakan diri ikut karena tertarik pada tampangnya. Sudah terbukti dari keputusan mereka membatalkan niat ke kafe tempo hari.

"Bisa sih. Tapi Kiera nggak suka."

"Dia yang nggak bisa berenang?" tanya Risyad lagi.

"Sebenarnya, dia jago banget berenang. Waktu masih kelas 1 dan 2 SMP, dia malah pernah menang kejuaraan renang kelompok umur tingkat nasional. Sempat mau masuk pelatnas juga lho." Alita termangu, seperti baru menyadari sesuatu. "Tapi dia berhenti berenang saat kelas 3. Beneran berhenti sama sekali. Nggak mempan saat dibujuk pelatihnya. Katanya bosan berenang karena sejak kecil dia mainnya di kolam terus. Takut jadi duyung. Sampai sekarang saya nggak pernah lihat Kiera pakai baju renang dan masuk kolam lagi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro