Bagian 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Emosiku memuncak ketika membaca diary milik ibu. Hey! Kenapa dia begitu jahat? Pantas saja Atuk marah sekali pada ibu. Wajar jika aku tidak diterima oleh Atuk. Lalu, apakah aku akan mencari identitasku? Aku putuskan untuk membaca sampai tuntas buku ini agar bisa mengambil kesimpulan.
***

Selamat malam buku catatan!
Aku takut! Tadi aku melihat ayah Pranata marah se-marahnya. Dia mengeluarkan kata-kata tak pantas untuk Pranata. Kau tau? Aku merasa sangat bersalah. Tadi aku sempat ingin berkata jujur, sayangnya nyaliku tak ada. 
Di pernikahanku dengan Pranata tadi berjalan menyeramkan. Malam ini kami satu rumah. Kami tinggal di kontrakan yang baru saja kami sewa tadi sore. Sekarang aku berada di kamar dan dia di ruang tamu. Sepertinya kami tidak akan bisa saling mencintai. Aku akan berusaha.
***

Selamat malam buku catatan!
Kau tau? Malam ini Pranata mulai mau mengajakku bicara. Setelah dua Minggu kami menikah. Baru ini kami bicara lagi. Dia bertanya tentang bayi ini. Aku memilih untuk jujur dan meminta maaf. Aku bilang siap diceraikan olehnya. 
Namun kau tau apa respon Pranata? Dia tidak mau menceraikanku. Dia bilang, dia dididik oleh ayah yang sangat menyayangi istrinya. Jadi dia tidak ingin berpisah. Hal yang mengejutkan lainnya adalah ternyata dia memang menyukaiku. 
Hanya saja dia marah padaku karena memilih jalan fitnah untuk menikah. Padahal jika tidak ada fitnah itu, dia mau melamarku. Dia ingin aku berhenti menjual diri.
***

Selamat malam buku catatan!
Perutku sudah semakin membesar, berat sekali membawa perut ini. Aku ingin dia segera keluar dari rahimku. Mungkin sekitar dua bulan lagi bayi ini akan keluar. 
Oh, ya. Hari ini aku dan Pranata ingin menemui ayah. Datuk Rajawali. Dia tidak pernah mau bertemu denganku. 
Selain itu juga ada kabar baik lagi, aku pakai kerudung secara resmi. Pranata yang memintanya. Kata Pranata aku lebih cantik dengan hijab. Sekarang aku jauh dari dunia malam. 
***

Selamat malam buku catatan!
Aku pindah rumah! Aku menulisimu sambil menangis. Tadi aku memohon pada ayah mertuaku untuk berhenti membenci anaknya. Aku berlutut, memohon padanya sambil ingin mencium kakinya. Namun dia menendangku. 
Tendangan yang mengenai perut dan sakit sekali. Aku dibawa oleh Pranata ke rumah sakit. Dokter bilang anak dalam kandunganku harus dikeluarkan. Dokter juga bilang, bahwa anak itu sudah meninggal. 
Aku menangis sejadi-jadinya. Ini pertama kalinya aku punya anak. Hal itu membuat Pranata marah pada ayahnya. Pranata langsung pergi mengajakku pergi dari kota Binjai. Kota yang paling menyakitkan. 
Kami pergi tanpa pamit pada ayahnya. Mertuaku hanya tahu aku masuk rumah sakit, tapi dia tidak tahu aku keguguran.
***

Entah harus senang atau sedih, tapi aku bersyukur bukan anak dari hasil ibu melacur. Lembar berikutnya berisi tentang ibu yang tinggal di kota Panipahan. Ibu cepat beradaptasi pada tetangga. Ada beberapa tulisan yang mengatakan ibu melakukan sholat tobat berkali-kali untuk meminta ampun atas salahnya di masa lalu.
Ada juga part ketika ibu hamil dan melahirkan. Ya, itu aku yang lahir. Ternyata benar, aku bukan anak hasil zina. Alhamdulillah ada titik terang. Setidaknya, Atuk memanglah atukku. 
Setelah kelahiranku buku ini jarang ditulisi, mungkin ibu repot. Hanya ada beberapa lembar lagi yang belum aku baca. Akan aku siapkan malam ini juga.
***

Selamat malam buku catatan!
Sudah lama aku tidak menulisimu. Aku mau minta maaf  karena sudah lama tidak menggunakanmu. Aku punya tempat curhat baru dan dia bisa merespon. Selama ini aku curhat dengan suami. Sayangnya, saat ini suamiku sudah meninggal. Sepertinya aku akan kembali menulisimu.
Setelah kepergian suami, aku tidak semangat untuk hidup. Selama ini kekuatanku untuk hidup hanya dua, yaitu anakku dan suamiku. Aku rasa Asnita sudah cukup besar dan bisa mengurus dirinya sendiri. 
Beberapa hari ini, aku merasa diintai dan diikuti. Aku merasa mereka ingin menjemputku untuk bertemu dengan suamiku. Ada waktu-waktu di mana mereka mau menjemputku dan aku bilang
"Tunggu!"
Aku ingin mengatakan banyak hal pada Asnita. Tapi aku tak sanggup jika harus mengatakan masa laluku adalah seorang pelacur. Semoga, mereka yang mau menjemputku bisa bersabar.
***

Selamat malam buku catatan!
Panipahan, 3 Desember 2015
Aku sudah tidak sanggup. Aku sudah siap dijemput. Dalam sholatku tadi, aku katakan kalau aku siap. Aku tidak akan pernah mampu bercerita pada Asnita. Biarlah dia tahu saat membaca buku ini. 
Wahai buku, menjelang kepergianku ini, ada satu hal yang masih mengganjal. Hal itu adalah maaf dari ayah mertuaku. Setiap malam aku mendoakan agar dia panjang umur dan aku masih diberi kesempatan untuk meminta maaf. Sayangnya, tidak ada kesempatan itu. 
Bolehkah jika aku timpakan beban pada Asnita untuk meminta maaf pada Atuknya? Lagi pula setelah kepergianku dia tidak punya siapa-siapa lagi. Maka dia harus menemui Atuknya. 
Wahai anakku, Asnita tersayang. Saat kau menemukan buku ini dan membacanya. Ibu memberi titah! Cari Atukmu! Tolong sampaikan maaf ibu padanya. 
Anakku, dalam lemari ada kantong hitam yang isinya adalah perhiasan. Gunakan itu untuk mencari Atuk.Sekali lagi, ibu meminta tolong temui Atukmu. Taklukan hatinya agar dia mau memberi maaf pada ibu. 
Atukmu adalah Datuk Rajawali dan dia tinggal di kota Binjai. Tanah merah, jalan Gunung Bendahara 10.
Berbekal alamat ini cari Atukmu. 
***

Pada setiap buku diary, ibu tidak memakaikan tanggal, tapi pada lembar terakhir ini ada tanggalnya. Hal yang membuatku sakit adalah pada tanggal 4 Desember itu ibu meninggal.
Andai ibu tahu aku sudah bertemu dengan Atuk. Aku sudah tahu alamatnya sebelum membaca buku ini. Ibu, aku tidak diterima Atuk. Bagaimana bisa aku menaklukkan hatinya? 

Aku langsung mencari kantongan hitam yang dituliskan ibu. Benar, isinya adalah perhiasan, tapi tidak akan cukup untuk membiayaiku ke kota Binjai. Apalagi dalam proses penaklukan hati Atuk pasti dibutuhkan biaya besar. Aku akan coba berdiskusi dengan Ananta. Segera aku telpon dia agar menemukan titik terang.

"Assalamualaikum, Ananta." 

"Wa'alaikumussalam, iya, Asnita." 
Setelah saling mengucap salam aku mulai dengan membahas persiapan nikah. Dia bilang sudah mencari orang yang akan membawa pantun diacara pernikahan kami. Aku hanya terima bersih saja katanya. Dia tidak mau melihatku pusing dengan rangkaian persiapan. Dia juga bilang akan segera memberikan uang hantaran dan uang untuk memasak.

"Ananta, ada hal yang ingin aku tanyakan. Jika aku kembali ke kota Binjai bagaimana? Setelah menikah, kau mau membantuku menaklukkan hati Atuk?" Akhir aku membahas ini.

"Aku tidak bisa, Asnita. Kenapa kau malah ingin menemui Atukmu lagi? Bahkan, setelah menikah aku tidak akan mengizinkanmu untuk pergi ke kota Binjai. Kota itu terlalu sakit." terangnya. Aku mengganti topik ke rencana pernikahan kami lagi. 

Dua hari setelah percakapan itu, Ananta datang ke rumahku bersama keluarganya. Dia mengantar uang hantaran. Dalam dua hari ini juga aku uring-uringan. Aku bingung harus menjalankan amanah ibu atau menikah dengan Ananta. Setelah dua hari melakukan sholat istikharah akhirnya aku bisa memutuskan.Sebagai juru bicara dari pihakku. Pak  Tengah memberikan wejangan.

"Anak-anakku, seminggu lagi kalian akan menikah. Godaan untuk orang yang mau menikah biasanya adalah rasa was-was. Rasa itu akan membuat kalian hampir ingin membatalkan pernikahan. Tapi memang begitulah perasaan orang yang ingin menikah." Nasehat dari pak Tengah benar. 

Aku bahkan bukan hanya ingin membatalkan, tapi aku akan benar-benar membatalkannya. Maaf Ananta, besok aku akan ke kota Binjai menemui Atuk. Aku akan pergi bersama uang hantaran yang kau berikan.
 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro