Bagian 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Perkataan Atuk tadi siang sangat membuatku kesal. Dia berhasil menyentuh titik terendah harga diriku. Awalnya, aku hanya ingin bertemu Atuk lebih sering, lalu berharap dia luluh. Kemudian menerimaku.
Namun sepertinya sekarang niatku berubah. Aku bukan lagi ingin meluluhkan hati Atuk. Akan aku buat dia tunduk padaku. Sekarang aku juga paham posisi ayah, jelas sekali ayah malas berurusan dengan Atuk.
Lalu, bagaimana kabar nenek, ya? Apakah dia berhasil mengaku pada Atuk. Sepertinya nenek belum berhasil. Pasti dia sedang memikirkan cara agar segera bisa mengaku pada Atuk. Ah, kasihan sekali orang-orang yang ada di sekitar Atuk. Pasti penuh dengan tekanan.
Karena memikirkan hal ini, tak terasa waktu sudah menuju tengah malam. Sayangnya aku tidak bisa tidur. Mitha? Dia sudah tidur dari sehabis sholat Isya tadi. Terlalu lelah menjalani keseharian kami tadi. Aku pun sebenarnya lelah, hanya saja mata ini belum mau terpejam.
Aku mengecek handphone, ternyata tidak ada pemberitahuan apapun, padahal biasanya ada notifikasi dari Ananta. Ha? Astaghfirullah! Aku belum mengabari Ananta. Masalah baru lagi ini. Aku langsung mengiriminya pesan, meminta maaf karena hari ini terlalu sibuk. Aku iming-imingi saja dia dengan kata-kata 'segera pulang ke Panipahan'.
Aku juga menceritakan pertemuanku dengan Atuk. Aku ceritakan seolah-olah ini kemajuan besar. Sengaja kulakukan itu agar dia tidak banyak marah dan merajuk. Aku tidak mau menambah masalah lagi.
Selesai mengirimi pesan pada Ananta, sebuah pesan masuk. Saat aku baca ternyata dari Anjas.
[Hey, Asnita! Kenapa kamu malam-malam masih aktif wa. Tidur sana! Besok kamu masih ada MATAMA hari ke tiga loh]
[Gak usah repot, kamu, ya ... Aku bakalan tidur kalo udah ngantuk (emot meledek)]
[Aku, sih, cuma mengingatkan saja. Jika tidak mau dipatuhi, ya, silahkan! Soalnya aku bukan Atuk yang segala sesuatunya harus dipatuhi]
[Eh, karena kamu bahas Atuk, ada yang mau aku tanya dong. Tapi lebih puas dari telepon. Aku telepon kamu boleh?]
[Boleh, tapi pakai telepon biasa saja, ya ... Paketku sedang habis. Khawatir tidak cukup untuk melakukan panggilan telepon]
[Ok, kalau gitu aku telpon biasa saja]
Percakapan kami berlanjut di telepon. Aku pun memutuskan untuk mematikan paket data. Untung aku sudah mengisi pulsa, jadi bisa melakukan panggilan telepon bersama Anjas.
"Halo, apa yang mau dibahas dari Atuk?" todongnya langsung.
"Heh, Anjas. Bukannya ucapa salam dulu, malah langsung to the point kayak gitu. Ulangi, deh ...," protesku.
"Ya, ampun, Nit. Yaudah, iya, Assalamualaikum, Asnita!" ulangnya.
"Nah, gitu, dong, masa gak ada ngucap dalam, jadi gini ...."
"Heh! Belum dijawab salamku, ya, enak aja. Aku disuruh ucap salam, tapi gak kau balas salamku."
Aku terkekeh, terlupa menjawab  jawab salam si Anjas. Ternyata lumayan lucu juga mendengar omelanya.
"Iya, iya, ini aku jawab. Wa'alaikumussalam! Sekarang kita satu sama," ucapku.
"Yaudah, kalo gitu aku mau nanyak. Emang kamu ada apain dataku? Tadi soalnya aku ketemu Atuk. Bahkan masuk ke ruang kerjanya. Katanya bagaimana bisa berkasku lolos dari pantauannya dan aku bisa masuk mendaftar jadi mahasiswi," tuturku panjang lebar.
"Oh, itu. Ya, jelas dia gak ketemu data kamu. Dia nyuruh aku untuk menghilangkan datamu. Kemudian membuatmu batal diterima kampus. Andai dia tahu yang memasukan kamu ke kampus itu aku. Beh, pasti sudah marah besar dia itu."
"Jadi apa yang kamu lakukan dengan berkasku?"
"Tidak ada! Jadi aku bilang pada Atuk, kalau aku tidak berhasil menemukan berkasmu. Dia percaya dan mengira kau tidak mendaftar di kampusnya." Anjas menjelaskan panjang lebar.
Aku takjub atas apa yang diperbuat Anjas. Dia terlalu banyak mengambil resiko untuk menyelamatkan aku. Kejadian ini membuatku khawatir. Hukuman apa yang akan Anjas dapatkan karena ketahuan membantuku.
Ngeri, aku membayangkan wajah marah Atuk untuk Anjas. Wajah yang siap-siap menerkam siapa saja yang yang melawan. Semoga Anjas selalu dalam lindungan dan tidak mendapat banyak masalah setelah ketahuan membantuku.
"Atuk itu, sebenarnya orang yang bagaimana, sih, Anjas?"
"Dia baik, tapi baiknya itu hanya untuk memberi makan ego dan sombongnya. Yang ada dipikirannya hanyalah wibawa, Kharisma, dan menjaga diri dari pandangan buruk. Dia tidak akan rela jika jabatan yang dipegang jatuh atau luntur."
"Wah, sebegitu terobsesinya? Kalau di rumah dia bagaimana?"
"Di rumah juga sama saja. Dia menganggap semua tempat dalam pengawasannya. Dia akan mengatur seluruh kegiatan yang ada di rumah. Mulai dari ada yang bangun tidur, sampai mau tidur lagi. Dia bukan hanya mengatur soal keuangan, tapi juga soal rumah tangga. Kasihan sekali aku pada nenek. Nenek hampir kehilangan fungsinya di rumah. Apa yang ingin nenek kerjakan harus sesuai dengan keinginan Atuk," jelas Anjas.
"Wah, kalau begitu Atuk dominan sekali."
"Iya, sejauh ini dia paling dominan. Makanya dia butuh orang yang lebih dominan untuk menaklukkannya. Jujur aku senang ketika kamu memutuskan untuk meluluhkan Atuk. Aku harap kamu cukup atau sama dominannya, jadi Atuk ada yang mengimbangi."
"Aku tidak sedominan itu. Namun aku bisa menaklukkan Atuk. Aku yakin!" seruku.
"Bagaimana caranya?"
"Cara menaklukkan orang keras kepala, egois, dan sombong itu bukan dengan dilawan. Tapi beri makan ego, keras kepala dan sombongnya. Kita tidak bisa melawan arus, ikuti arus yang ia ciptakan, lalu saat dia mencapai titik terendah jangan beri makan apapun pada ego, sombong dan keras kepalanya." Aku mengucapkan kata-kata itu dengan semangat.
"Waw, keren. Aku selama ini ingin sekali melawan Atuk, tapi sayang tidak ada nyali. Semoga kamu bisa, ya."
Percakapan selanjutnya, antara aku dan Anjas adalah perkenalan antara kami. Anjas akhirnya menjelaskan dia siapa, lalu pekerjaannya apa. Aku jug menjelaskan tentang diriku ke Anjas. Sampai tak terasa waktu menunjukkan pukul dua malam. Kami akhirnya izin pergi tidur satu sama lain.
***
Pagi ini aku bangun sedikit terlambat, beruntung sedang tidak sholat subuh. Masih mengantuk. Aku lihat Mitha juga sudah selesai siap-siap. Dia mengomel karena aku terlambat bangu. Kemudian panik dan bergegas mengecek suhu badanku.
Dia khawatir aku demam lagi. Padahal aku terlambat bangun karena Anjas. Andai dia tahu alasan aku terlambat bangun, habis aku bakalan kena omel dan ocehannya. Pasti dia juga akan menggodaku.
Hari ini kami melaksanakan MATAMA hari ke tiga, hari terakhir. Setelah itu kami menjalankan Matrikulasi barulah kami resmi menjadi mahasiswa kampus ini. Hari ke tiga ini, kami akan diperkenalkan oleh senior kampus. Kami juga diminta untuk memainkan game. Hanya saja aku belum tahu jenis game apa.
Sebelum berangkat, aku membuka paket data terlebih dahulu. Ternyata ada pesan balasan dari Ananta. Isinya hanyalah makian karena aku tidak mengaktifkan paket data. Katanya aku juga tidak bisa ditelepon melalui telepon biasa. Ya, memang tidak bisa, aku, kan sedang telepon Anjas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro