Bagian 32

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baiklah, aku harus menyelesaikan naskah ceramahku. Fokusku sekarang harus ada pada Atuk aku tidak boleh memikirkan hal lain. Lagi pula uang menang lomba ini sangat lumayan, bisalah untuk tambahan membayar uang Ananta. Aku juga butuh uang untuk membeli laptop. Karena ternyata kuliah lumayan membutuhkan benda itu.

Mulai sekarang aku juga harus cari kerja. Nanti akan aku cari pekerjaan yang bisa dilakukan sambil kuliah. Aku harus mulai mandiri tanpa Ananta. Harus yakin pasti bisa. Semangat untuk diriku!

Berhubung lomba tinggal sebentar lagi, pembahasan yang aku buat harus bagus dan menyindir Atuk secara halus. Namun jangan sampai ada orang lain yang tahu. Naskah ini aku siapkan dengan benar. Tidak boleh ada yang cacat atau salah.
Sampai pada hari perlombaan aku harus tetap sehat. Semoga semuanya berjalan lancar.

Semoga tidak ada halangan yang berlebihan. Aku harus menang dan Atuk harus tersindir. Maaf, Tuk. Namun cara ini aku harap cukup ampuh.
***

"Kak, jadi ikut lomba ceramah?" Mitha bertanya padaku sambil menyelesaikan tugas.

"InsyaAllah jadi, Mitha. Kamu ikut juga gak?"

"Enggak, Kak. Gak bidangku itu ceramah. Dari pada jadi bahan ketawaan orang-orang. Lebih baik aku gak usah ikut. Malu juga ngomong di depan orang gitu."

"Loh, bukannya kamu cukup berani, ya? Di kelas saja kamu melakukan presentasi dengan sangat baik. Kamu juga sering berdiskusi dan mendebat teman kita. Kamu itu pintar tahu, Mit."

"Ya, presentasi sama ceramah, kan, beda, Kak. Kalo presentasi aku hanya bertemu teman kelas dan dosen, sedangkan ceramah bisa ketemu orang baru. Apalagi jika udah terkenal sebagai penceramah. Beh, pasti bakalan ketemu orang baru terus." Penjelasan Mitha cukup masuk akal. Baiklah, mungkin memang dia tidak cocok dengan lomba ceramah ini.

Aku mulai kembali mencari materi ceramah. Mengisi beberapa bagian yang masih kurang, sedikit melakukan tambal sulam naskah karena ternyata, setelah dibaca ulang banyak pembahasan yang tidak nyambung. Terlalu loncat-loncat pembahasannya. Sebentar aku bahas orang tua, sebentar bahas anak. Tapi perpindahan antara dua pembahasan tersebut tidak kurang halus.

Aku juga membaca buku catatan membuat materi ceramah. Memeriksa Google dan mencari hadist, serta ayat yang pas untuk pembahasan ini. Aku sudah tidak sabar untuk melihat wajah marah Atuk. Wajah tegang karena takut masa lalunya terbongkar. Maaf, ya, Tuk.
***

Pada kesempatan lain aku melakukan latihan di depan kaca. Melihat ekspresi wajahku sendiri. Menentukan gaya bahasa dan gerak tubuh. Jangan sampai aku terlihat konyol saat lomba di depan Atuk dan juri lainnya. Aku juga sudah siapkan baju terbaik yang aku punya.

Tak lupa juga aku meminta pendapat Mitha tentang ceramahku. Dia bilang semuanya sudah baik. Namun aku masih merasa kurang puas. Karena ini bukan bidangnya Mitha, tentu saja dia akan bilang puas. Tidak ada yang dikomentari. Padahal aku ingin sekali dinilai secara kritis. Aku juga bertanya pada teman-teman sekelas.

Mereka hanya memberikan saran tentang cara bicaraku yang masih terlalu banyak bicara kata "e". Aku harus menghilangkan kebiasaan itu. Agar ceramahku terlihat lebih sempurna. Setelah latihan lagi, aku coba ceramah di depan kelas. Mereka mengatakan sudah bagus. Namun tetap saja aku merasa kurang.

Entah kemana lagi aku harus latihan berceramah. Aku ingin mendengar orang yang benar-benar berkompeten. Oh, aku teringat Anjas. Sudah lama kamu tidak saling tukar kabar sejak ketahuan dengan Atuk. Baiklah, mungkin ini waktu yang pas untuk berbicara dengannya. Aku langsung pergi menelpon Anjas.

"Assalamualaikum, Anjas!" Aku mengucap salam saat telepon sudah terangkat.

"Wa'alaikumussalam, Asnita. Tumben banget kamu hubungi aku."

"Iya, aku mau tanya. Kabar kamu gimana?"

"Alhamdulillah, baik! Kamu sendiri gimana? Kamu dicariin nenek, loh."

"Alhamdulillah, aku juga baik. Nenek siapa?" Bisa-bisanya aku lupa dengan nenek. Dasar cucu durhaka. Yang aku ingat Atuk saja. Padahal neneklah yang sudah menerimaku terlebih dahulu.

"Nenek kita, dong. Masak nenek orang lain," ujar Anjas sedikit kesal.

"Wah, pas banget kalau begitu. Ayo bawa aku ketemuan sama nenek. Soalnya aku juga mau latihan. Siapa tahu pandangan kalian berdua bisa membantu aku menang lomba."

"Lomba? Kamu ikut lomba ceramah di kampus?"

"Iya, Anjas. Hadiahnya lumayan." Aku memberi alasan itu saja. Tidak mungkin juga aku jujur bahwa tujuan utamaku adalah menyindir Atuk.

"Ya, udah kalau begitu. Besokkan hari Minggu. Kita jumpa di tempat biasa," pinta Anjas.

"Ha? Tempat biasa? Emang kita biasa ketemu di mana?" Aku justru bingung. Bagaimana bisa Anjas dan aku punya 'tempat biasa' sedangkan bertemu saja jarang.

"Astaghfirullah! Tanah lapang merdeka, loh, maksudku. Bukankah kita setiap kali mau bertemu pasti selalu di situ. Kali ini kita tidak perlu sembunyi-sembunyi di mobil, toh, Atuk sudah tahu. Mau di apakah kita jika ketahuan lagi ketemu? Atuk pasti gak bisa apa-apa."

"Yakin kita bakal aman?" Aku khawatir dengan pertemuan secara terbuka itu.

"Yakinlah ... Lagi pula ada Nenek. Nenek juga bilang kali ini mau terang-terangan menemuimu. Biar saja Atuk tahu."

"Baiklah, kalau begitu." Aku dan Anjas sama-sama menutup telepon dengan salam. Ya, aku harus latihan dengan mereka.

***
Akhirnya hari ini aku bertemu lagi dengan nenek di tanah lapang merdeka kota Binjai. Kali ini tanpa sembunyi-sembunyi. Nenek sengaja secara terbuka bertemu denganku. Setelah ini pasti akan ada masalah, tapi kami harus siap menghadapi Atuk secara bersam-sama.

Terimakasih orang baik, Anjas dan nenek, sudah mau menerimaku dengan baik di sini. Jika tidak adanya kalian aku pasti sudah jadi debu dibuat Atuk. Beruntung ada kalian.
***

Terpikir dalam benakku untuk menceritakan tentang Ananta dan uangnya. Namun jelas tidak mungkin, aku bisa disangka mata duitan nanti. Apalagi ini adalah pertemuan kedua setelah pengusiran kemarin. Soal uang Ananta, mungkin nanti bisa aku cicil saja.

Aku berniat untuk bekerja dan habis-habisan menjual apa yang ada agar segera tak berurusan lagi dengannya. Malas betul aku jika nanti ada urusan lagi dengannya. Aku coba menghitung uang Ananta, ternyata banyak juga. Aku jadi ragu untuk mengembalikannya.
Pasalnya aku memang tidak punya uang segitu banyak. Apalagi aku hidup sendiri dan tidak bekerja. Emas yang ibu berikan juga pasti tidak cukup.
Malam ini lumayan menyebalkan. Satu sisi aku memikirkan ingin bertemu dengan nenek secara terang-terangan. Satu sisi lagi, aku memikirkan uang Ananta. Pekerjaan apa yang bisa aku kerjakan? Sedangkan kemampuanku hanya mengajar saja. Apalagi di sini aku juga sambil kuliah. Tentunya akan sulit mengatur waktu.

Sepertinya malam ini aku akan kesulitan tidur lagi. Semoga tidak ada teror dari Ananta. Aku harap kali ini saja dia tidak menerorku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro