06. Terserah Kamu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lumayan lama kami menghabiskan waktu di kebun stroberi. Tidak, kami tidak melakukan hal di luar batas. Ciuman mungkin bisa dikatakan sebagai agenda utama karena memang itu yang lebih banyak dilakukan. Ya mau gimana lagi, anggap saja uji coba untuk menumbuhkan desir-desir gairah di antara kami. Tapi selain itu, kami juga mengobrol, kok. Makan buah stroberi – lagi, lalu berkeliling. Udara malam di Magelang memang dingin, tapi sweater tipis yang kami kenakan sudah cukup. Lagipula, kami lebih sering berpelukan malam itu. Lumayan saling menghangatkan, kan? Haha.

Nyaris pukul dua belas malam, kami baru memutuskan untuk kembali ke rumah.

"Bagaimana kalau rencana pulang ke Jakarta ditunda dulu? Mungkin kita bisa tinggal lebih lama di sini. sehari atau dua hari, gitu." Rafael membuka suara di tengah perjalanan. Sambil fokus menyetir, ia kembali berujar. "Besok-besok, aku bisa ngajak kamu berkeliling kebun lagi kalau mau." Senyumnya terkulum.

Mendengar ekspresinya yang sedikit nakal, aku meliriknya sembari berdecih. "Ke kebun duren, ada? Kali aja kamu pengen ngerasain ciuman rasa duren?" godaku.

Mendengar ucapanku, pria dengan rambut gelap itu tergelak. "Malah rencananya pengen aku ajak ke kebun cengkeh," jawabnya sambil terus terbahak. Aku mendelik. "Dikira aku mau nyemilin cengkeh gitu," ujarku seraya menoyor lengannya pelan. Ia terkikik.

"Jadi gimana? Ditunda dulu ya pulangnya?" Ia kembali menawarkan.

Ketika sosok tersebut kembali fokus menyetir, aku menimbang ajakannya. Sejujurnya, aku ingin kembali secepatnya ke Jakarta, tapi tinggal di sini beberapa hari lagi sepertinya bukan ide buruk. Keluarga Rafael hangat dan menyenangkan, pun begitu dengan tempat tinggalnya. Aku sendiri dibesarkan di keluarga yang harmonis dan berkecukupan. Tapi kami bukan dari keluarga besar. Saudara Papi dan Mami tidak banyak, itu pun tinggal berjauhan, di kota terpisah nun jauh di luar pulau. Sementara kakek dan nenek dari kedua belah pihak sudah tiada ketika aku dilahirkan. Jadi bilamana kami berkumpul, tak sebanyak di sini. Apalagi ada tetangga-tetangga dekat yang bahkan ikut nimbrung.

Pokoknya, berkumpul dan bersenda gurau dengan jumlah anggota keluarga yang sebanyak di sini, baru kali ini aku rasakan. Ramai, berisik, tapi asyik.

"Kerjaan kita gimana?" tanyaku.

"Ntar biar kuijinin sama Pak Rio." Rafael menjawab. Pak Rio adalah atasan kami. Ketika mengajukan ijin untuk nggak masuk bareng, kami bilang kalau ada urusan masing-masing dengan keluarga. Ah, andai beliau tahu kalau kami akan segera menikah, entah akan seheboh apa orang-orang kantor. Karena selama ini mereka tahunya kami berteman baik dan punya pacar sendiri-sendiri.

***

Aku bahkan belum membuka mata secara sempurna ketika Rafael menyeruak ke kamarku. Melirik jam di dinding, baru pukul setengah enam.

"Apaan, sih, Raf?" erangku seraya menggeliat. Rafael duduk di pinggiran ranjang, menatapku dengan sabar hingga aku benar-benar telah membuka mata dan mampu diajak bicara.

"Soal ajakanku semalam, tentang tinggal lebih lama di sini satu atau dua hari." Ia berujar, masih menatapku dengan sabar.

"Oh itu." Aku manggut-manggut tanpa repot-repot untuk bangkit. Selimut bahkan malah kutarik hingga dada karena merasakan udara dingin. Tentang obrolan kami dalam perjalanan pulang dari kebun stroberi, semalam, aku ingat betul bahwa aku belum memberikan jawaban. Inginnya sih balik ke Jakarta sesuai rencana saja. Kerjaanku numpuk.

"Maaf, ya, Sa. Sepertinya kita memang harus menunda acara kembali ke Jakarta. Tadi Ayahku mengatakan ada sedikit masalah dengan salah satu kebun kami. Jadi, pagi hingga siang, aku akan menemani beliau ke sana. Akan kuusahakan urusan ini cepat kelar, agar kita bisa pulang sore nanti. Oke?" ucapnya.

Dan setelah berkata begitu, pria itu bangkit lalu meninggalkan kamar tanpa mendengar jawabanku. Menarik napas, aku memutuskan bangun lalu mandi. Ya sudahlah, cuti sehari lagi sepertinya tak masalah.

***

Jam makan pagi belum tiba, jadi aku memutuskan untuk membuka laptop dan mengirimkan email pada Yola agar menyelesaikan beberapa dokumen yang seharusnya menjadi tanggung jawabku. Mengatakan bahwa ada urusan keluarga yang tak mampu ditinggal, akhirnya aku meminta bantuan rekanku tersebut sekaligus mengirimkan surat ijin pada Pak Rio sendiri.

Email-email tersebut baru saja sukses kukirim ketika Bu Salma masuk ke kamar dan mengajakku berjalan-jalan santai berkeliling kampung.

"Mau jalan-jalan pagi sama ibu?" tawarnya.

Aku tersenyum kaku. Duh, gimana ini? Sempat terbersit untuk menolak ajakan tersebut dan memutuskan rebahan saja. Tapi, kalau aku menolak, apa aku akan dicap sebagai calon mantu durhaka? Setelah sempat berdebat sejenak dengan diri sendiri, akhirnya kau mengangguk pasrah. "Iya, Bu. Biar saya siap-siap dulu." Aku menjawab seraya buru-buru bangkit.

"Ibu tunggu di halaman ya, Nak." Bu Salma berkata demikian kemudian berlalu. Tak ingin membuat beliau menunggu terlalu lama, aku mengambil sweater tipis dari dalam lemari lalu berlari keluar sembari mengenakannya. Rambutku yang basah setelah mandi kusisir asal dengan jemari.

Pagi itu, kami jalan-jalan santai, menyusuri jalanan sempit yang sudah diaspal halus. Di sepanjang perjalanan, Bu Salma akan saling menyapa ramah dengan setiap orang yang ia temui lalu dengan bangga memperkenalkan diriku sebagai calon mantu. Raut muka bahagia terpampang jelas di wajahnya.

"Duh, calonnya Mas Rafa ayu banget ya, Bu." Begitulah kebanyakan komentar mereka. Dan Ibunda Rafael akan tersenyum tak kalah bangga. "Iya, dong. Mirip artis ibu kota, kan?"

Momen-momen seperti itu tak ayal membuatku jadi salah tingkah. Aku tahu kalau wajahku tak jelek-jelek amat. Dengan tinggi sekitar 168 cm dan kulit bersih, boleh dikatakan kalau wajahku tuh lumayan cantik. Bisa dilihat kan dari jumlah mantanku yang lumayan banyak? Mereka bilang, senyumku cantik, hidungku cantik, dan mata beningku memukau manakala aku berbicara. Begitulah kira-kira. Tapi kalau disamakan dengan artis ibu kota, jauh. Aku nggak ada apa-apanya.

"Kapan Bu pesta pernikahannya?" Selalu saja ada yang bertanya seperti itu. Dan Bu Salma akan menjawabnya dengan sabar, "Dalam waktu dekat ini, kok. Ditunggu ya undangannya."

"Dilaksanakan di sini, kan, Bu? Apa di Jakarta?"

"Di sini lah, Mbak Yu. Lawong keluarga besarnya di sini, kok."

Kan? Kan? Bahas itu lagi.

Dan sepanjang perjalanan santai keliling kampung, bertemu dengan para tetangga, mostly, pembahasannya pasti tentang itu. Dan yang ku lakukan di sepanjang obrolan tersebut hanyalah senyum-senyum dan mengangguk-angguk saja. Bingung hendak nimbrung apa.

Selain jalan-jalan pagi, kami juga berhenti sebentar di sebuah warung untuk membeli beberapa lauk. Ayah dan Ibu Rafael suka sekali dengan tahu tempe. Sementara Rafael sendiri? Maniak ayam. Mau dimasak apapun, digoreng, disemur, dibikin sop, asal ada ayamnya, pasti makannya lahap.

"Maaf ya, Nak Sasa, kalo kemarin-kemarin ibu terlalu ikut campur soal konsep pernikahan kalian." Bu Salma berujar lembut ketika kami sudah dalam perjalanan kembali ke rumah. "Ya, gimana ya, konsep itu sudah terpikirkan lama semenjak Rafael masuk kuliah. Ibu berandai-andai, bilamana dia menikah, ibu pengennya pestanya seperti itu. Mewah, meriah, dihadiri dan didoakan banyak orang." Perempuan berujar dengan mata berbinar. Ia mengajakku istirahat sebentar dengan duduk di sebuah gubuk yang berada di pinggir sawah. Menatap orang-orang yang tengah berlalu lalang hendak berangkat ke ladang.

"Ibu tahu kamu punya impian tersendiri tentang pesta pernikahan. Sama seperti yang disampaikan bundamu di pertemuan keluarga beberapa waktu lalu. Kemarin, kami sudah berdiskusi, dengan Rafael juga, tentang pesta pernikahan kalian. Misal dikehendaki, dilaksanakan dua-duanya saja. Di sini, dan juga di Jakarta, bergantian. Sepertinya cukup adil." Beliau kembali berujar.

Aku menoleh. "Tapi, Bu. Biayanya?"

Perempuan dengan garis senyum tegas itu menatapku lembut, "Asal Rafael Mau, akan diusahakan." Ia menjawab tak kalah lembut. "Rafael adalah kebanggaan kami semua, Sa. Dia putra pertama yang luar biasa dan mampu diandalkan. Selama ini ia tak minta yang macam-macam. Ia juga tak pernah merepotkan. Apapun yang ia lakukan, kebahagiaan orang lainlah yang ia dahulukan. Sementara dia sendiri, tak terlalu ambil pusing. Makanya, ibu pikir, ia layak mendapatkan pesta pernikahan yang mewah bilamana sudah ketemu jodoh." Menyaksikan kedua mata Bu Salma yang senantiasa berbinar manakala membicarakan Rafael, aku ikut terharu. Betapa ia menyayangi sosok tersebut dengan sepenuh jiwa raga.

"Ngomong-ngomong, apa ia sudah bicara denganmu tentang rencananya untuk pulang ke sini selepas menikah?" Pertanyaan Bu Salma yang barusan membuatku tertegun. Tiba-tiba saja punggungku terasa kaku. Sebentar, beliau tadi bilang apa?

"Ini baru rencana, Nak Sa. Ayah Rafael sudah makin menua, sementara kebun dan ladang nggak ada yang ngurus. Ayah Rafael sudah menawarkan padanya untuk pulang kampung saja, tapi ia belum memberi jawaban." Kali ini ada nada berat dalam kalimat Bu Salma.

"Aku tahu Rafael sudah punya kehidupan yang mapan. Tapi, hanya dia yang mampu diandalkan. Marta masih terlalu kecil untuk mengurusi banyak hal. Ditambah dengan fisiknya yang lemah, yang harus bolak balik rumah sakit--,"

"Marta kenapa, Bu?" potongku.

Kali ini ada kabut yang menyelimuti wajah Bu Salma. "Marta punya penyakit jantung bawaan sejak kecil. Fisiknya lemah."

Aku ternganga. "Kok ... Rafael nggak pernah cerita?"

Bu Salma kembali tersenyum. "Ibu yang melarang. Karena sepertinya memang bukan hal yang penting untuk diberitahukan pada banyak orang. Yang penting Marta rajin berobat, gitu saja," ujarnya. "Jadi, bilamana suatu saat nanti Rafael mengajakmu pulang ke sini, semoga kamu berkenan ya, Nak."

Keadaan hening.

Dan mendadak aku linglung.

Serasa ada yang terlewat.

Tentang tempat tinggal setelah menikah, belum kami bahas. Karena kupikir, semua akan tetap sama seperti sediakala.

***

Hari sudah sore ketika Rafael sampai rumah, nyaris pukul lima lebih. Lebih lambat dari yang kemarin. Dengan perasaan tak sabaran, aku menyusulnya ke kamar. Ia bahkan belum sempat mandi ketika aku menemuinya dengan langkah tergopoh.

"Ada masalah?" Ia menatapku dengan raut cemas. Mungkin karena eskpresiku yang tak menentu. Bingung, jengkel, gemas, entahlah, pokoknya jadi satu. Nyaris saja kukeluarkan semua yang ada di kepala. Tapi pada akhirnya, aku menarik napas berat, lalu berujar, "Mandi dulu sana. Habis itu kita bicara."

"Penting?"

Aku mengangguk. Tak membantah ataupun menjawab, Rafael melepas kaos tanpa sungkan lalu melemparnya ke ranjang baju kotor. Ia bergerak ke kamar mandi, lalu mulai membersihkan diri. Lima belas menit kemudian ia keluar masih dengan tubuh basah. Tetes demi tetes air berjatuhan dari rambut dan juga tubuhnya yang bertelanjang dada. Handuk ia lilitkan buru-buru bagian bawah tubuh. Terlihat sekali kalau ia mandi dengan buru-buru.

Dan sejak tadi aku tetap memilih untuk tak meninggalkan kamarnya. Duduk-duduk di tepi ranjang, membuka ponsel, lalu sibuk memikirkan tentang hal yang ingin kubahas dengannya.

"Mau jalan-jalan keluar? Ke kebun lagi atau kemana gitu?" Rafael mengusap rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Aku menarik napas berat, lalu menggeleng. "Jadi benar, kamu berencana pulang ke Magelang selepas kita menikah?" tanyaku langsung.

Rafael terlihat terkejut dengan pertanyaanku. Gerakan tangannya yang tengah mengeringkan rambut terhenti seketika. Tatapannya lurus menembus manik mataku. "Kamu ... sudah bicara dengan Ibu?" Ia bertanya lirih.

Aku mengangguk. "Tadi pagi."

Rafael bergerak mendekat. Membuatku mampu mencium aroma wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Nampak jelas raut wajah yang diselimuti kebingungan. Mulutnya sempat bergerak, hendak mengucapkan sesuatu, namun akhirnya urung.

"Jadi benar, rencanamu seperti itu?" tanyaku lagi.

Dan pria itu mengangguk pelan. Ia kembali bergerak, membuat jarak kami semakin dekat. "Sa ...," panggilnya lirih. "Tau tujuanku ngajak kamu pulang ke Magelang? Agar kamu tahu bahwa ada sebuah keluarga besar yang hangat di sini," lanjutnya.

Aku terdiam. Sabar menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.

"Aku anak pertama, Sa. Ayah dan Ibu sudah makin menua, sementara ada banyak hal yang harus diurus. Jadi ... kemungkinan besar, aku akan balik ke sini. Kita akan tetap punya rumah di Jakarta. Tapi bila ayah dan ibuku menghendaki aku kembali, maka aku akan pulang." Lirih. Suara Rafael nyaris tak kedengaran. Entah karena ragu, atau karena takut obrolan kami didengar Ibundanya.

"Lalu aku?" tanyaku kemudian. "Aku ... bagaimana?"

Rafael menelan ludah. Menggigit bibir, pria itu membuang pandangannya sejenak. Kemudian ia kembali menatapku dalam lalu menjawab tak kalah pelan, "Terserah kamu."

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa kecewa pada sosok pria yang menjulang di hadapanku.

°°°

Bersambung ...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro