10. Mau di atas apa di bawah?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Obrolan antara aku dan Rafael terjeda Ketika ponselku berbunyi. Menatap ke layar, tampak nama Mami ada di sana. Berjingkat, aku menyambar benda tersebut dengan cepat lalu berseru, "Mami?!" Aku berteriak dan memanggilnya dengan tak sabaran.

"Ya, Gusti. Ada apa, sih, Sa? Heboh banget. Telpon mulu sejak tadi?" terdengar suara Mami menjawab dengan santai.

Melirik ke arah Rafael yang masih duduk di sofa dengan ekspresi penasaran, aku kembali memborbardir Mami dengan banyak pertanyaan. "Ngapain Mami ke Magelang diam-diam dan ketemu sama Ibunya Rafael? Ngobrolin apa? Kok nggak cerita dulu ke aku kalau bakal ke sana? Mana ditelpon nggak diangkat lagi. Mami bikin penasaran tauk." Aku ngedumel.

"Ya elah, Sa. Bisa nggak, sih, nanya-nya satu persatu?"

"Nggak bisa, Mi! Aku udah penasaran banget ini. Mami nggak berantem 'kan sama bundanya Rafael?"

Terdengar gelak tawa dari seberang sana. "Kayak anak kecil aja pake acara berantem segala?"

"Nggak 'kan, Mi?" tanyaku lagi. Tatapan Rafael masih tak beralih dariku. Pastinya ia juga merasa penasaran luar biasa.

"Enggak, lah." Akhirnya Mami menjawab. "Sudah, Mami mau istirahat dulu. Besok pagi-pagi sekali kami kembali ke Jakarta."

Dan belum sempat aku kembali mengajukan berbagai pertanyaan, pembicaraan diakhiri. Kutatap layar ponsel dengan gemas. "Yaahh, diputus." Aku ngedumel.

Setelahnya, fokus Rafael kini beralih ke ponsel di tangannya. "Ibu kirim pesen." Ia berseru. Aku ganti berjingkat dan duduk di sisi pria tersebut lalu menatap ponsel Rafael dengan tak sabaran. Bersama-sama kami membaca pesan tersebut. Tak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Mami, isi pesan ibu Rafael juga nyaris sama. Bahwa pertemuan keluarga yang mereka adakan hanya pertemuan biasa. Silaturahmi saja.

"Kamu percaya kalau itu cuma silaturahmi biasa?" tanyaku sembari menatap Rafael dengan lekat. Pria itu mengangkat bahu. "Biasanya sih Ibu nggak suka bertele-tele. Kalau beliau bilang itu silaturahmi biasa, berarti ya bener." Ia menjawab. "Sudah, jangan terlalu dipikirin. Setidaknya mereka kelihatan happy-happy aja, kan? Besok setelah Mamimu sampai ke jakarta, kamu bisa menemuinya langsung dan mengobrol dengannya. Kalau mau, aku antarkan. Oke?" Ia menatap jam di dinding. "Sekarang ayo tidur." Ia bangkit.

Ketika aku tak bergeming, pria yang nyaris sampai ke kamarnya itu berhenti. "Aku tidur di kamarmu lagi, ya." Dan ia berbalik lalu bergerak ke kamarku.

Aku bangkit dan beranjak mengikuti langkahnya. "Kenapa sih akhir-akhir ini kamu seneng banget tidur di kamarku?" tanyaku.

Rafael hanya menatapku sekilas lalu menjawab, "Mau tidur di kamarmu atau di kamarku, sama aja. Yang penting kita tidur berdua." Dan langkahnya melenggang santai menuju tempat tidur, lalu ia rebah di sana. Sempat ngedumel, tapi aku akhirnya tetep mengikutinya ke tempat tidur kemudian berbaring di sisinya. Pria itu menarik selimut, menempatkan kami di bawahnya. Kedua lengannya melingkari tubuhku dan memeluk erat.

Dan akhirnya, malam itu kami tidur bersama lagi.

***

Pulang dari kantor, aku mampir ke rumah Mami ketika diberitahu bahwa Mami dan Papi sudah pulang dari Magelang. Mami sendiri yang menelponku ketika sudah sampai rumah. Awalnya Rafael berkeinginan untuk mengantarkankan tapi kutolak. Aku memilih ke sana naik taksi, sementara Rafael pulang terlebih dulu. Sebetulnya tak ada alasan khusus aku melarangnya ikut. Aku hanya takut diskusi antara aku dan Mamiku tidak akan berjalan leluasa bila Rafael ikut serta.

"Sebenarnya apa tujuan Mami pergi ke Magelang secara diam-diam?" tanyaku tak banyak basa-basi. Begitu sampai rumah Mami, menyaksikan beliau sudah duduk santai di ruang tivi, aku segera menghujaninya dengan pertanyaan seputar kepergiannya ke Magelang.

"Sebenarnya nggak diam-diam, kok, Sa. Awalnya Bundanya Rafael yang menelpon Mami lebih dulu. Mengatakan bahwa ia ingin berkunjung kembali ke Jakarta untuk bertemu dengan Mami. Dia bilang, ada banyak hal yang perlu dibahas dan dipersiapkan menjelang pernikahan kalian. Tapi kemudian, tercetuslah ide dari papimu untuk datang ke Magelang sendiri. Papimu bilang, yeah, sekalian pengen refreshing gitu. Mengunjungi beberapa teman lama, katanya." Mami menjawab santai. Tangannya masih sibuk memencet remot, mengganti beberapa channel tivi. Berbeda pada ibu-ibu pada umumnya yang gemar sekali menonton acara masak-masak, gosip dan sinetron, Mami gemar sekali menonton Discovery Channel.

"Bahas apa aja?" Aku ikut merebahkan tubuh ke sofa. Papi sedang asyik di ruang baca. Sementara dua kakak perempuanku telah pulang ke rumah masing-masing pagi tadi. Mereka bilang, mereka akan datang kembali ke rumah menjelang pernikahanku, atau bilamana dibutuhkan lebih awal.

"Banyak, tentang persiapan pernikahan kalian tentunya." Mami menjawab. Tatapannya fokus pada layar televisi yang kali ini telah menunjukkan program kesukaan.

"Nggak ada berantem? Gontok-gontokan sampai adu urat gitu?" Aku bertanya dengan hati-hati. Mentap beliau dengan seksama.

"Nggak ada, Sa. Nih anak kalo dibilangin kok ngeyel, sih." Mami sewot.

"Habisnya, mencurigakan gitu, lho, Mi. Aku takut banget kalau Mami dan Papi terlibat pertengkaran hebat terkait pelaksanaan pernikahan. Mengingat pertemuan keluarga beberapa waktu lalu sudah diwarnai perbedaan pendapat, baik tentang tempat pelaksanaan, waktu, ataupun konsep pernikahan." Kali ini aku ikut rada sewot. Mana mungkin aku bisa lupa dengan kejadian itu? Di mana dua orang Mami-mami tengah adu argumen hebat perihal pernikahan anak-anaknya. Padahal itu adalah pertemuan pertama kedua belah pihak.

Mami tersenyum dan menggeleng lembut. "Itu hal yang lumrah, Sa. Tapi bukan sesuatu yang patut dibesar-besarkan."

"Jadi benar ada argumen, kan? Berantem, kan?" todongku.

Mami menarik napas jengkel. "Kagak ada!" Ia berseru sembari menatapku dengan raut kesal.

Aku meringis. Takut bila remot di tangan Mami tiba-tiba berpindah ke kepalaku. Aku beringsut, memperpendek jarak di antara kami lalu bertanya ragu, "Jadi keputusannya, kami tetap nikah, kan, Mi? Nggak batal, kan?"

Mami mendelik. "Lah, emang siapa yang mau ngebatalin? Planning sudah matang kok pake acara batal." Ia sewot. "Tetep lanjut nikah!" Nada suaranya meninggi. Duh, serasa jadi anak durhaka deh diriku.

"Terus?" tanyaku kemudian.

"Apanya yang terus? Ya seperti konsep awal. Pernikahan dilaksanakan dua kali, di sini dan di Magelang. Di sana dilaksanakan agak meriah, sementara yang di sini cukup dihadiri beberapa orang saja biar sakral."

Aku menarik napas lega. Syukurlah. "Jadi, bener nggak ada masalah dengan rencana kami 'kan, Mi?" tanyaku lagi.

"Nggak ada, Sasa, Sayang. Pertemuanku dengan orang tua Rafael ya sekadar silaturahmi aja. Namanya besan, ya wajar dong kalo saling mengunjungi. Ntar kami juga ada rencana meet-up lagi, kok." Mami menjawab. "Ngomong-ngomong, Mami juga sempat ngobrol serius dengan Bundanya Rafael. Ya, obrolan sesama ibu gitu lah." Menyadari nada suara Mami yang terdengar serius, aku bangkit dan duduk menghadap Mami.

"Bahas apa, Mi?" tanyaku kemudian.

Mami juga merubah posisi duduknya menjadi lebih tegak lalu menatapku dalam. "Perihal rencana Rafael yang kemungkinan besar akan balik ke Magelang dan membawamu serta setelah kalian menikah, Mami ikhlas. Karena bagaimana pun juga, keluargamu kelak adalah yang paling penting. Tapi, Mami sudah berpesan khusus pada Ibunya Rafael," kali ini beliau meraih tanganku dan meremasnya lembut.

Sebelum aku sempat menanyakan apa saja yang beliau obrolkan dengan ibunya Rafael, Mami menarik napas pelan lalu kembali berkata, "Mami bilang ke ibunya Rafael, kamu dan juga putri-putri Mami yang lain adalah putri kesayangan. Mami perlakukan kalian dengan baik karena kalian adalah putri yang teramat berharga. Jadi, Mami harap ibunya Rafael dan keluarganya juga bisa memperlakukanmu dengan baik dan menganggapmu berharga."

Tatapan kami beradu lekat.

"Pun begitu sebaliknya. Mami paham kalau Rafael juga putra yang berharga bagi mereka. Jadi, mamipun akan melakukan hal yang sama. Memperlakukan ia dengan baik, seperti putra mami sendiri." Ia menepuk punggung tanganku beberapa kali, membuatku dirundung rasa haru.

Tersenyum, aku menghambur ke arah beliau dan memelukanya erat. "Terima kasih ya, Mi," bisikku.

Untuk beberapa waktu kemudian, kaling saling berpelukan haru. Seolah ini adalah momen yang pas untuk meminta dan memberi restu.

***

Selepas hari tersebut, persiapan pernikahan kami kebut. Seperti rencana dan konsep semula, pesta pernikahan dilaksanakan dua kali, di Magelang dan juga Jakata. Namun setelah menimbang dan berdiskusi kembali dengan seksama, dan demi menyiasati waktu cuti agar tidak terlalu lama, pesta dilaksanakan beruntun. Agak berubah dari hasil musyawarah yang pertama, tapi tak apa lah.

Jumat pagi, Akad yang sederhana dilaksanakan di Jakarta, dihadiri beberapa kerabat saja. Kemudian sabtu siang kami bergerak bersama ke Magelang, untuk acara pernikahan yang selenggarakan hari minggu. Acara yang di Magaleng lumayan meriah. Persis seperti angan-angan Bu Salma. Menyaksikan rona ceria di wajahnya, aku pun ikut bahagia. Tentunya karena pada akhirnya, pernikahan itu terjadi juga.

Jangan tanya bagaimana rasanya merayakan prosesi pernikahan yang terburu dan boleh dibilang; sat set. Terkepor? Jelas. Belum lagi karena kami harus umpet-umpeten dengan teman-teman sekantor agar mereka tak curiga. Sebenarnya tak ada alasan khusus sehingga pernikahan kami dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi.

Kami hanya tak ingin mereka kaget. Bagaimanapun mereka tahu kalau kami sahabat baik yang tinggal serumah, dan baru saja putus. Apa jadinya jika mereka tahu bahwa kami memutuskan menikah dalam waktu dekat ini?

Mereka pasti berpikir bahwa hubungan kami terjalin ketika kami masih punya pasangan masing-masing.

Bisa-bisa mereka berpikir kami berselingkuh dulu, lalu putus dengan kekasih masing-masing, dan akhirnya menikah.

Baiklah, katakanlah kami terlalu overthingking. Intinya, aku dan Rafael pengen cepet nikah tanpa ada drama. Titik.

Setelah resepsi selesai, esoknya, kami akan pulang kembali ke Jakarta. Secepat itu pokoknya.

"Ya Gusti, capek sekali." Aku mengerang sembari membersihkan sisa-sisa make up di wajah. Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Kami baru saja melewati seharian dengan resepsi dan menyambut tamu undangan hingga sore tadi. Tubuhku rasanya remuk redam.

Rafael sendiri tengah mengganti baju dengan kaos tipis dan celana pendek. Kemarin setelah akad, kami langsung memutuskan untuk tidur karena kecapekan. Hari ini pun sepertinya begitu. Kami ingin tidur saja.

"Sa?" panggil Rafael.

"Hm." Aku menjawab tanpa menatap ke arahnya. Masih asyik mematut bayangan di cermin sambil menyapukan kapas berisi micellar water.

"Malam ini, kamu ... mau di atas apa di bawah?" Pria itu kembali bertanya dengan suara berat.

Eh?

***

Bersambung ...

Setelah ini, Sasa dan Rafael libur dulu ya ges ya. Saya mau fokus menyelesaikan My Morning Glory yang sisa beberapa bab lagi. Ntar kalo yang ono dah kelar, yang ini bakal saya kebut.

Pokoknya, asal lambat yang penting tamat yes. Love you. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro