End 20 : Azayn di mata Tim

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Maaf atas keterlambatannya posting ending. Hari ini saya repot banget. Huhuhu

Part terakhir saya dedikasikan kepada gaachan yang mengajarkan saya cara menikmati proses menulis, tulis apa yang ingin kamu tulis, bukan apa yang ingin mereka baca. 










Tim pernah jatuh cinta. Dulu. Kepada seorang cewe yang selama lima tahun mengisi hari-harinya. Tim kira, cewe pertama yang mengisi hatinya adalah cinta pertama dan terakhir buat Tim. Namun nyatanya nggak. Cinta pertama Tim harus kandas ketika cewe yang ia sayangi mengkhianatinya. Lebih miris lagi. Cewe itu berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Dengan orang yang sangat ia percayai. Sejak saat itu, Tim nggak pernah lagi jatuh cinta. Pintu hatinya tertutup. Rapat sekali.

Azayn adalah tetangga yang super ngeselin bagi Tim. Dari sejak mereka kecil, Azayn adalah orang pertama yang menemaninya sampai mereka dewasa. Azayn ibarat tuyul buat Tim. Kecil, mungil, imut, menggemaskan, berparas manis yang menjadi ingus Tim. Kemanapun selalu merepeti Tim. Pagi, siang, sore, bahkan ketika tidur pun, tetangga super cerewet itu selalu mengintili Tim.

Resah? Sangat! Terganggu? Luar biasa! Azayn itu, sungguh sosok alien yang nggak pernah berhenti ngoceh didekat Tim. Manja luar biasa kepada Tim. Menjadi anak kesayangan Mak ama Bapak melebihi Tim. Dan menjadi cucu kesayangan Mbah. Azayn ibarat kembar sialnya Tim. Di mana ada Tim di situ entah bagaimana caranya pasti ada Azayn yang super ngeselin.

Tapi anehnya, dan ajaibnya, kehadiran Azayn yang mengganggu itu, yang menjengkelkan itu, justru mampu menyembuhkan luka Tim dari sakit hati setelah dikhianati cewenya. Kehadiran Azayn memberikan setetes obat penenang bagi gulananya Tim. Kecerewetan Azayn, mengisi hari kosong Tim. Kemanjaan Azayn, mengisi rasa putus asa Tim terhadap cinta.

Dan sekarang, sosok itu, cowo menjengkelkan itu, cowo berpenis sebesar jempol kucing ngondek itu, cowo yang luar biasa bangga ketika mendapatkan mimpi basah pertamanya itu, adalah orang terakhir yang mengisi hari-hari Tim. Orang terakhir yang mengenalkan Tim kepada cinta sejati. Bocah itu adalah orang pertama dari sekian banyak orang yang Tim kenal, yang mengajarkan Tim apa arti cinta.

Dari Azayn, Tim tahu bahwa, cinta itu tak hanya sekadar menjalin komitment dengan orang yang sangat ia sayang. Lebih dari itu, cinta bagi Tim adalah ketulusan, kesederhanaan, dan keikhlasan. Dan semua itu, berujud pada seorang bernama Azayn. Lelakinya. Kekasihnya. Suaminya. Orang terakhir yang akan menghabiskan kopinya dikala Tim menua. Orang terakhir yang menemani Tim di atas kursi goyang, ketika semua rambut Tim beruban. Orang terakhir yang menemani Tim, disaat Tim sudah tak mampu menopang tubuhnya dengan kedua kakinya.

Tim sangat mencintai Azayn. Tim sangat menyayangi Azayn. Dan tujuan hidup Tim Cuma satu: membahagiakan Azayn. Apa pun keinginan Azayn, senggak masuk akal apa pun keinginan itu, sebisa mungkin akan Tim kabulkan.

Seperti saat ini, ketika Azayn merengek-rengek minta cilok bakar disaat ia harus meeting  dengan klien membahas masalah ekspor telur-telur ayam. Tim kewalahan. Sangat. Apa lagi kliennya tergolong orang sangat berpengaruh di dunia bisnis. Mengecewakan klien tersebut, berarti bersiap-siap perusahaannya akan mengalami kebangkrutan. Namun, mengecewakan Azayn, hidup Tim akan merana. Lebai? Hidup Tim nggak pernah berjalan normal ngomong-ngomong.

“Maaf, saya harus menjawab telepon dari Ibu saya dulu,” Tim bangkit dari kursinya, mengangguk kepada para klien yang sedari tadi mendengarkan presentasinya. Tim keluar dari ruang rapat. Berjalan tergesa menuju toilet.

Tim buru-buru merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel dari sana, lalu mendial nomor orang pertama yang sanggup menolong Tim dari huru-hara masalah pelik.

“Mak...,” Tim langsung menyebut nama tersebut ketika panggilannya terhubung.

“Ya, Tim, ada apa? Anak mantu Mak nggak kenapa-kenapa, kan? Lu nggak nyakitin dia, kan?”

Tim memutar mata. Mungkin, satu-satunya orang yang memiliki perasaan besar kepada Azayn sebesar perasaannya adalah Mak. Wanita perkasa yang selalu membela Tim dan mantunya apa pun yang terjadi.

“Mak, Tim lagi ada rapat membahas ekspor telur ke China. Tapi Azayn telepon kalau dia pengin cilok bakar, Mak. Tim bingung, Mak, mana yang harus Tim dulukan. Rapat ini apa Azayn,” Tim mengusap muka frustasti.

“Astaga, Tim, lu jadi orang kok oon banget, sih. Minggat lu dari ruang rapat dan segera tunaikan apa yang diinginkan laki lu. Awas lu ya kalau lu berani mengecewakan anak Mak. Mak sunat manuk lu.”

Itu ancaman paling mengerikan sepanjang sejarah. Sunat lagi? Lha, Azayn dapat apa? Mana bisa menyentuh prostat Azayn kalau rebung Tim dipangkas babat? Ah, bener-bener nakutin Tim, serapahan Mak. Rebung Tim kan mainan yang demen banget diisap Azayn. Ah, Tim nggak mau. Nggak rela. Tim menggeleng tegas. Nggak sadar jika Mak nggak melihat gelengannya.

“Terus rapat Tim gimana, Mak?”

“Biar Bapak lu yang nanganin rapat lu, Tim. Bapak lagi makanin ayam-ayam di rumah. Mak suruh ke kantor lu secepatnya.”

Ah, Tim lupa kalau Bapak adalah seorang bisnisman andal yang mampu mengembangkan dan memajukan perusahaan peternakan ayam sampai ke kancah internasional. Tim langsung menyetujuinya. Tim nggak ingin mengecewakan Azayn. Tim nggak ingin suaminya sampai ngiler kalau keinginannya nggak terkabulkan.

Setelah izin meninggalkan rapat, Tim langsung melesat ke rumah. Cowo mungil itu sedang di depan televisi sambil memeluk boneka pemberiannya dengan wajah tertekuk. Begitu melihat kehadiran Tim, Azayn sumringah. Menghambur ke arah Tim. Naik ke gendongan Tim.

“Mami pengen cilok bakar, Pi,” begitu sang suami merajuk. Kedua kaki Azayn terkalung di pinggul Tim. Kedua tangannya memainkan rambut belakang Tim.

“Cium dulu, donk,” dan bagi Tim, memesumi suaminya adalah kebutuhan. Setiap hari setiap saat, Tim kudu bisa mendapat ciuman Azayn. Ihik-ihik pun bisa dilakukan empat kali sehari. Berbagai macam gaya. Berbagai macam prosedur. Jangan salahkan Tim, tubuh Azayn yang selalu  ranum itu selalu bisa membuat Tim turn on.

“Nggak mau!” Si mungil membuang muka. “Cilok bakar dulu, Papiii,” dia gemas.

Tim ikutan cemberut. “Ya udah, Papi tidur aja. Capek. Nggak ada cilok bakar.”

Tim bersiap menurunkan Azayn, tetapi lelaki mungil itu udah lebih dulu menarik tengkuk Tim, lalu menyambar mulut Tim.

Ya Tuhaaan, ini yang dinamakan keindahan. Ciuman ama Azayn itu adalah dopamin. Ganja pula. Nagihin, gan. Tim ingin lagi. Tim mengisap mulut Azayn, menggigitnya, hingga Azayn mendesah. Tim menyelundupkan lidahnya di mulut Azayn, sambil merebahkan Azayn ke sofa.

“Nggak mau!” Azayn melepas pagutan. Wajahnya memerah. Napasnya terengah-engah. Tim tahu, Azayn juga udah horny. “Mami maunya cilok bakar! Mami nggak mau anu-anu!”

Tim menindih tubuh Azayn. Tangannya masuk ke dalam kaus suaminya. Dan sang suami langsung mendesah.

“Piii, Mami mau cilok bakar!”

“Ihik-ihik dulu, Mi,” Tim menjilat telinga Azayn, “nanti Papi belikan sepuluh ribu deh.”

“Nggak mau!”

“Lima belas ribu!”

“Nggak mau!”

“Dua puluh ribu,” Tim menjilati leher Azayn, menggigitnya. Tangannya mengelus selangkangan Azayn.

“Ya udah mau dua puluh ribu.”

Asik.

“Yang banyak kuah sambal kacangnya, ya! Sama pedes, ya!”

Tim udah hilang kendali. Tim melorot kolor Azayn, kemudian mengisap batang imut, mungil, yang kalau konak malah bikin geli. “Apa pun yang Mami minta.”

==

Si kecil itu selalu berantusias jika di tangannya ada sebungkus cilok bakar. Setelah berhasil membujuk Azayn main kuda-kudaan dua ronde, Tim mengajak Azayn ke taman tempat biasa penjual cilok bakar mangkal.

Tapi sore ini Tim nggak suka. Penjual cilok langganan mereka―Pak Wardi―hari ini nggak dinas, dan yang ada Mas-Mas yang sedari tadi memerhatikan Azayn lekat-lekat. Tim nggak suka jika ada orang yang melihat Azayn terlalu intens. Itu Azayn Tim. Suami Tim. Milik Tim. Tim terusik. Ia ingin mencongkel mata Mas-Mas yang memerhatikan suaminya intens.

“Papi kenapa, sih?” mulut Azayn belepotan kuah sambel kacang. Tim mendesah. Apalagi saat Azayn secara seduktif menjilati bibirnya untuk menghilangkan kuah kacang itu. Ya ampun, itu kan jatah gue! Seharusnya masalah jilat-menjilat itukan gue! Gue konak lagi.

“Cilok bakarnya tambah, Mas?”

Tim benar-benar bersumpah jika ia benci setengah mati ama Mas-Mas penjual cilok. Azayn milik Tim mengerjap imut. Lalu berpaling ke arah mas penjual cilok yang tadi menanyai mereka tambah cilok apa enggak. Saat Azayn mau menjawab, Tim udah terlebih dulu menyalak.

“Maaf ya, Mas, saya dan SUAMI SAYA sudah kenyang!” Sengaja Tim menekan kata suami saya supaya mas-penjual-cilok-bakar itu tahu, cowo kerdil yang sedari tadi sedang ia perhatikan has been taken by Tim. Milik Tim. “Kok, saya perhatikan sedari tadi Mas melototi suami saya, ya, ada apa? Ada yang ingin Mas sampaikan kepada suami saya? Mas bisa langsung menyampaikannya kepada saya.”

Azayn memutar mata. “Papi apaan, sih? Keterlaluan tahu, nggak?”

“Biarin, Mi, Papi nggak suka Mas ini sedari tadi memelototi Mami. Mami itu milik Papi. Nggak boleh ada yang memerhatikan Mami. Cuma Papi aja yang boleh memerhatikan Mami.”

Lagi, si mungil memutar bola mata malas. “Ya ampun, Pi, lagian Mas ini kan mau tanya nambah cilok bakar apa enggak, nggak ada maksud lain. Ya kan, Mas?”

Mas yang sedang diperdebatkan speechless, sweatdrop, nggak menyangka di hari pertamanya mangkal di taman ini, langsung bertemu dengan dua pasangan homo yang udah nikah. Ia mengusap peluh di pelipis. Berniat menyanggah semua tuduhan nggak masuk akal yang dilontarkan Tim tanpa alasan. Tapi suara Tim yang ngambek itu, membungkam mulutnya.

“Papi nggak peduli, ya, Mi, apa alasan dan maksud tersembunyi Mas ini memerhatikan Mami. Papi nggak suka. Dia udah lebih dari tiga detik memerhatikan Papi. Papi cemburu, Mi. Papi sakit hati. Mami itu kepunyaan Papi, dan sekarang ada yang main mata ama Mami. Hati Papi seperti disulut bara api.”

Itu keterlaluan memang. Sangat lebai memang. Tapi sifat posesif dari Tim ini lah yang membuat Azayn bisa jatuh cinta setiap harinya. Semakin sayang setiap waktunya.

“Piii...."

“Saya kasih tahu ya, Mas!” Tim menghadapi Mas penjual cilok yang wajahnya seketika pias melihat pertengkaran mereka. “Azayn ini suami saya. Dan saya melarang Mas memerhatikan suami saya lebih dari tiga detik. Mas udah berbuat zina mata, lho. Mas ini udah menyulut prahara dalam rumah tangga saya, lho. Gimana kalu Mas punya suami, terus suami Mas dilirik ama cowo lain, emang Mas mau? Mas rela?”

Mas itu bukan fudan tentu saja, yang akan histeris jika melihat pasangan homo lagi dalam mode posesif-posesifnya. Dia diduga homophobic. Sedetik kemudian, setelah Tim melayangkan pernyataan menggegarkan hatinya, si Mas langsung meninggalkan Tim dan Azayn. Menghampiri sepedanya. Lalu mengayuhnya cepat sekali, minggat dari dua pasang homo lebai.

“Lihat kan, Pi, gegara Papi, Masnya sampai ketakutan seperti itu. Tingkah Papi itu kekanakan tahu, nggak! Mami nggak suka.”

Tim memegang pundak Azayn. Matanya menatap teduh. “Papi sangat sayang ama Mami,” dibelaianya suari lembut itu penuh sayang. “Papi Cuma menjaga harta berharga dalam hidup Papi,” bibir Azayn yang masih ada belepotan kuah kacang, diusap Tim. “Papi nggak ingin harta paling mahal dari keindahan dunia ini ikutan dinikmati oleh orang yang bukan muhrimnya. Papi tahu Mami ini cowo. Dan sesama cowo itu muhrim. Tapi Mami itu suami Papi. Semuhrim apa pun Mami dengan para cowo, hati Papi nggak pernah rela membagi Mami dengan mereka. Meskipun itu hanya sekadar lihat-lihatan doang.”

Oh, itu perkataan paling gombal dan alai yang pernah dilontarkan Tim, tapi Azayn suka. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu memeluk Tim. “I love you, Pi.”

“I love you too, Mi.”

==

“APAAA?” mata Tim membeliak. Terkejut. Ia sedang menandatangani berkas-berkas yang dibutuhkan buat ekspor telur-telur ayam saat Azayn meneleponnya.

“Tadi disenggol ama temen, Pi, terus jatuh dari tangga kampus. Sekarang Mami di klinik kampus. Kaki Mami terkilir. Tapi udah diobatin ama dokternya.”

Hati Tim meradang mendengarnya. Siapa yang tega mencelakakan suaminya? Sampai jatuh dari tangga dan terkilir? Oh, Tim ngilu. Dadanya panas. Emosinya memuncak kepada siapa aja yang telah menyenggol Azayn. Jangankan menyenggol Azayn, ada satu biji nyamuk menggigit kulit Azayn pun Tim bisa kalap.

Tim melempar gelas kaca berisi air putih tatkala telepon Azayn terputus. Ia emosi. Sangat. Ditatapnya Disty sang sekretaris sekaligus fujosi akut―temennya Dan yang ikut waktu Tim bulan madu ke Semeru―dengan bengis.

“Kamu tangani masalah ini. Saya mau ke kampus. Kaki suami saya terkilir. Saya mau membunuh siapa pun yang udah menyenggol suami saya sampai jatuh dari tangga!”

Mata fujosi tersebut berbinar-binar. Lalu mimisan. Sedetik kemudian ia berteriak, “KYAAAH! SEMANGAT PAK TIM. SEMANGAT! SEMANGAT!”

Tak menghiraukan fujosi garis keras tersebut, Tim langsung menyambar jasnya. Berlari kesetanan menuju basement kantor. Lalu mengambil sepeda kayuh kebanggannya pemberian Mak. Tim bersepeda ugal-ugalan menuju kampus.

Di ambang pintu klinik, penampilan Tim udah terlihat berantakan, rambutnya acak-acakan, tiga kancing atas kemejanya tanggal. Dasi garis-garinya miring. Hati Tim sangat sedih melihat bocah itu kakinya diperban. Sembari menekuk lutut memainkan ponsel.

“Mi....”

“Papiii....,” senyum Azayn terkembang. Gigi kelincinya terlihat menggemaskan. Azayn merentangkan tangan, menyambut suaminya dalam pelukan. “Sakiiit, Piii,” ia mengadu. Membenamkan wajahnya di pundak Tim. “Tadi nggak sengaja disenggol. Sakit banget kaki Mami.”

“Siapa, Mi?”

“Siapa apa?”

“Siapa yang udah menyenggol Mami?”

“Temen Mami, tapi nggak sengaja kok, Pi.”

“Siapa?”

“Nggak sengaja, Papi.”

“Mami, sebut nama!”

Azayn bungkam. Azayn tahu, jika Tim ini sangat posesif. Tim mati-matian menjaga Azayn supaya nggak kenapa-kenapa. Dan sekarang, melihatnya terkilir seperti ini, Tim bisa sangat berlebihan melindunginya.

Sesaat keduanya bungkam. Pintu klinik terbuka.

“Az, maaf tadi gue nggak senga―ja,” teman Azayn yang baru masuk langsung terdiam melihat punggung Tim memeluk Azayn sayang. “Maaf mengganggu!”

“Jadi lo yang udah nyenggol suami gue?” suami Tim terdengar mengerikan.

“Pi, jangan mulai, Mami Cuma terkilir, kok. Nggak usah diperpanjang deh, Pi.”

Tapi melihat Azayn terluka adalah cara paling baik untuk menyakiti Tim. Hati Tim sangat nggak terima melihatnya. Tim melepas pelukan. Berbalik ke belakang. Menatap seorang cowo berambut kriwul dengan tindik di hidungnya. Tim geram. Murka.

“Lo yang udah nyenggol suami gue sampai terkilir?”

“Piii....”

Cowo tersebut mundur. “Maaf saya nggak sengaja.”

“Nggak sengaja?” dada Tim terbakar. “Lo udah mencelakakan suami gue, Bego!”

“Papi, nggak usah bikin ribut. Ini di kampus. Nanti Mami kena skors,” Azayn mencoba menahan Tim yang semakin mendekati temannya.

“Saya benar-benar nggak sengaja, Pak. Maaf!”

Kesalahan pertama, lelaki tersebut udah membuat orang yang paling Tim sayang terluka. Kesalah kedua, Tim masih muda untuk dipanggil Pak. Orang yang berhak memanggil Pak Cuma karyawan perusahannya aja. Wajah Tim juga masih terlihat belasan tahun meskipun memiliki jambang dan sedikit kumis tipis. Tapi untuk dipanggil Pak oleh bocah seusianya? Sangat menyengat harga diri Tim.

Tim meringsek maju, lalu, tanpa memedulikan ocehan Azayn yang memohon-mohon untuk melupakan kejadian ini, juga seribu alasan nggak sengaja yang bocah berambut kriwul itu lontarkan, Tim melayangkan bogemnya keras hingga teman Azayn terjerembab ke ubin.

“LO DENGAR, YA, RAMBUT KRIWUL! NGGAK ADA YANG BOLEH MENCELAKAKAN SUAMI GUE! GUE NGGAK PEDULI LO SENGAJA ATAU NGGAK! SEKALI LO  MEMBUAT SUAMI GUE TERLUKA, LO BERHADAPAN AMA GUE!”

Pungkasnya, satu tinju sebagai salam perpisahan kembali Tim hantarkan. Lalu Tim menghadapi Azayn yang tampak emosi melihat kelakuannya yang berlebihan.

“Mami benar-benar kecewa sama Papi. Papi keterlaluan! Papi egois!”

“Papi yang bertanggung jawab atas Mami di sini!” Tim berseru tegas, “Bahagia Mami. Sedih Mami. Kesakitan Mami, dan semua yang berhubungan dengan Mami adalah tanggung jawab Papi. Mami bahagia, Papi lebih bahagia. Mami sakit, Papi lebih sakit. Dan sekarang, orang yang paling Papi sayangi terkilir? Pertanggungjawaban apa yang Papi berikan? Papi gagal menjadi suami buat Mami. Papi payah.”

Oh, itu sangat menyentuh. Azayn menangis lagi, lalu Tim mendekapnya. Mengucapkan kalimat sayang berkali-kali. Mengelus rambutnya, sembari menghujani si kecil kecupan-kecupan sayang.

“Makasih ya, Pi, udah sayang ama Mami.”

Tim mengangguk, lalu menggendong Azayn seperti putri keluar dari klinik. Tak menghiraukan cibiran maupun tatapan ingin tahu teman sekampus Azayn. Yang Tim lakukan adalah menjaga Azayn, tak lebih. Yang Tim lakukan adalah mencintai Azayn. Itu aja.

==

Tim nggak pernah memiliki sejarah indah dengan urusan genting. Naik ke atas genting, lalu membenarkan letak genting yang merosot adalah phobia buat Tim. Ketinggian itu masih menjadi mimpi paling menakutkan bagi Tim. Tapi sekarang masalahnya adalah, dapur mereka bocor. Tim kewalahan menampungnya dengan bak. Tapi menyuruh si imut hujan-hujanan membenarkan letak genting dengan kondisi kaki yang belum sembuh betul adalah dosa.

Tim nggak mau itu! Tapi kalau genting dapurnya nggak dibenerin, bisa bocor tuh dapur.

“Tapi, kan, Papi takut ketinggian,” Azayn khawatir saat Tim bertekad membenarkan gentingnya.

“Hujannya deras, Mi, kalau gentingnya nggak dibenerin bisa banjir dapur kita.”

“Biar Mami, aja! Mami yang paling berpengalaman membetulkan genting!”

“Nggak akan pernah Papi izinin Mami naik ke atap dalam keadaan hujan gini dan kaki Mami masih sakit!”

“Kaki Mami udah sembuh, Pi. Lagian Cuma hujan air gini, nggak perlu ada yang ditakutin.”

“No way!” tim bersikeras. “Mami di sini aja. Biar Papi yang benerin gentingnya!”

“Tapi, kan, selama ini yang benerin genting selalu Mami,” Azayn ngeyel.

“Itu beda kasus, Mamiii, sekarang hujan. Dan kaki Mami belum sembuh betul!”

Tim meninggalkan Azayn. Menyambar kantung plastik buat jaga-jaga kalau mabuk di atas genting. Tim mengambil tangga lipat dari gudang.

“Piii....”

Nggak menghiraukan larangan sang suami, Tim nekad. Menerabas hujan. Menaiki tangga. Mata Tim kunang-kunang langsung. Ketinggian itu benar-benar momok buat Tim. Kewalahan, sambil menggenggam erat kantung plastiknya, Tim berjalan ke arah genting yang miring letaknya. Baru sekali langkah di bawah timpaan hujan, perut Tim seperti diaduk. Ia mabuk. Lalu muntah di tas kresek yang ia siapkan. Ya ampun, Tim benar-benar payah.

Tim mencoba melangkah lagi, lalu mabuk lagi, muntah lagi. Seperti itu terus. Menguras semua tenaga Tim. Sementara letak genting yang miring belum ia jumpai. Saat Tim sepertinya udah lemas di bawah langit, sosok Azayn tetiba memeluknya dari belakang.

“Papi yang kuat, ya, Mami benerin genting dulu,” dan marmut kesayangan itu pun berjalan menuju letak genting yang membuat dapur mereka bocor. Membenarkannya. Kemudian mengajak sang suami turun. Menghanduki Tim. Melepas semua kain yang melekat di tubuh Tim. Azayn tahu apa yang dibutuhkan suaminya ketika phobianya menyerang.

Azayn ikutan menelanjangi diri. Menggenggam rebung Tim. Berbisik seduktif di telinga Tim, “Mami mau lima ronde.”

Lima ronde? Oke, fix, mabuknya ditunda dulu. Sekarang ada yang lebih menggairahkan. Tim menggendong Azayn di depan. Mengarahkan penisnya di mulut anus Azayn, kemudian memasukkannya begitu aja. Azayn memekik. Menggeram. Detik berikutnya, karena Tim sudah hafal letak titik ternikmat di sarung Azayn, suami mini tersebut mendesah nikmat. Bergerak naik turun di gendongan Tim.

“Ahh.. Loveeh.. Piiih...”

Tim tahu, dirinya dan Azayn memiliki masing-masing cara untuk membuat keduanya saling jatuh cinta setiap harinya. Cinta dalam hidup Tim dan Azayn adalah kebutuhan. Bukan kewajiban. Seperti karbohidrat buat manusia. Memang bisa disubtitusi dengan nutrisi lain, tapi keberadannya melawan kelaparan dan menyehatkan badan.

Cinta bagi Tim dan Azayn seperti itu. Seperti karbohidrat. Asupan utama yang dibutuhkan keduanya. Untuk menahan diri dari lapar. Dan memberi kesehatan buat keduanya.

==

Tim pulang larut malam. Sekitar pukul sebelas. Hari ini telur-telur ayam itu siap dikirim ke China, jadi Tim harus mengawasi bagian ekspedisi pengiriman. Melakukan pengecekan stok meskipun sudah memiliki bawahan yang bertanggung jawab dengan hal ini.

Untung Tim membawa kunci serep rumah, jadi Tim nggak harus sampai membangunkan Azayn. Tim melepas sepatunya, meletakkannya di rak. Kemudian berjalan menuju dapur. Tim terkesiap melihat penampakan sosok di dapur. Tas selempangnya sampai jatuh dari pundak. Mata Tim berbinar bling-bling. Dan rebungnya konak ugal-ugalan.

Di sana, sedang memunggungi Tim, melakukan entah apa di depan kompor, seorang Azayn. Iya, Tim tahu. Yang Tim nggak tahu, kenapa tuh suami cebol hanya memakai sempak kekecilan yang menampakkan belahan bokongnya, dan hanya dibalut apron berwarna merah? Ya ampun, rebung Tim ngaceng lah, disuguhin pemandangan menggiurkan begitu.

Tim mendekati Azayn, melepas dasinya. Juga tiga kancing teratas kemejanya. Lalu memeluk sang suami dari belakang. Azayn terkejut.

“Papiii...,” Azayn menoleh ke arah Tim, kemudian terdorong ke belakang begitu Tim menghujani bibir mungilnya dengan ciuman.

“Kok, Mami, Cuma pakai sempak aja, sih?” deru napas Tim pendek-pendek. Tangannya meraba bokong Azayn yang mulus dan sekal. “Mami sengaja memancing Papi supaya langsung makan Mami, ya?” Tim menyelempitkan jarinya ke dalam sempak Azayn, menyentuh dubur suaminya hingga Azayn mengerang.

“Tadi Mami tidur, Pi, tapi tetiba pengen minum susu. Ya udah Mami ke dapur bikin susu. Ahh... Piiih....”

Tangan Tim mengelus-elus lubang Azayn yang berkedut dan si kecil itu kian mendesah. Mencengkeram erat pinggiran pantry. Tim nggak kuat dong. Lihat bokong itu aja udah konak, apalagi ditambah suara desahan mengundang birahi, suami mana coba yang nggak turn on?

Tim itu mesum. Oh, mungkin semua udah tahu kemahamesuman Tim kepada suaminya. Sehari bisa menggenjot sang suami empat kali sebelum dan sesudah makan. Dan hari ini, jujur, sebelum berangkat kerja tadi Tim udah berhasil menggagahi sang tercinta empat kali. Nggak! Lima sampai enam kali deh kalau nggak salah hitung. Dan sekarang Tim mau lagi. Istilah Jawanya tanduk.

Tim melorot sempak suaminya. Sang suami malu-malu kucing, tapi ya akhirnya mengangkang juga, sih. Tim membalik tubuh Azayn. Merebut bibir Azayn dengan mulutnya. Lalu, menggendong Azayn di depan. Memasukkannya di kamar mandi. Meletakkan Azayn di bath up. Menelanjangi diri, kemudian ikutan menceburkan diri di bath up. Azayn bersandar di dada bidangnya. Sementara Tim mengelus-elus tubuh Azayn.

“Mami bahagia, Pi,” Azayn bergumam. Membiarkan sang suami menciumi sekujur tubuhnya. “Apa pun keinginan Mami, Papi pasti mengabulkannya.”

Tim memainkan dua puting menggiurkan sang suami. Terharu juga sih. Tapi sekarang Tim kan lagi sedang dalam masa-masa ingin mencumbu. Bukan masa-masa berbagi kenangan. Berbagi kenangannya nanti ajalah.

“Ada Papi di samping Mami.”

Leher Azayn itu sangat legit memang. Tim nggak pernah bosan menyupangnya. Ketagihan malah. Lidah Tim bermain di sana. Dengan gigitan nakal sesekali.

“Ada Papi selalu melindungi Mami.”

Suara Azayn mulai berubah. Suara desahannya nggak mampu tertahan. Burung mungilnya berdiri lucu, seperti anak TK sedang berbaris. Imut mungil gitu. Tim suka memainkan burung itu. Kecil-kecil cabe rawit begitu Tim memahkotainya.

“Apalagi kalau ada anak di dalam keluarga kita. Pasti tambah semakin bahagialah Mami.”

Dan semua gerik Tim merangsang sang suami terhenti begitu aja. Tubuh Tim membeku sekejap. Apa tadi yang diminta suaminya? Anak? Azayn pingin anak? Kenapa gue nggak pernah tau?

“Bisa mendengar suara cekikikan anak-anak di rumah ini pasti rasanya damai banget ya, Pi. Mendengar mereka berantem. Merebutkan mainan. Ah... terasa lengkap kehidupan kita.”

Mereka? Ya ampun berapa anak yang diinginkan Azayn?

Tim masih terkesiap.

“Lalu mendengar suara tangis mereka. Memeluk mereka satu persatu, untuk menenangkan mereka. Membuatkan mereka sarapan dan bekal sekolah. Menjemput mereka ke sekolahan. Lalu mendongengi mereka ketika mau tidur. Ya ampun, Pih, bahagia banget ya kalau kita bisa seperti itu. Keluarga kita terasa lengkap. Ada Papi, ada Mami, dan ada anak-anak.”

Oke, fix. Tadi Azayn menyebut mereka. Sekarang Azayn menyebut anak-anak. Azayn ingin memiliki anak lebih dari satu. Kebahagian Azayn adalah tujuan hidup Tim. Jika memiliki anak mampu membuat kebahagian seorang Azayn bisa lengkap, sebisa mungkin Tim akan mengabulkannya.

Ia menarik napas panjang. Merengkuh tubuh Azayn. Membiarkan si kecil itu rebah di dada bidangnya. Azayn ingin punya anak. Azayn ingin punya anak. Kalimat itu berpusing di kepala Tim. Mengendap di sana, dan menjadi kewajiban bagi Tim untuk mengabulkannya.

Tim mencium puncak kepala Azayn. Tangannya melingkari perut Azayn. “Apa pun keinginan Mami, sebisa mungkin Papi kabulkan.”

==

Seminggu ini Tim nggak pulang. Panggilan telepon Azayn pun sering Tim abaikan. Bukan tanpa alasan. Tim lagi giat bertandang ke panti asuhan ama Dhisty untuk mengangkat anak dari sana. Ia udah bertekad, bahwa ia akan pulang jika berhasil membawa anak-anak buat Azayn. Tim udah menghubungi Mak ama Bunda untuk mejaga Azayn. Tim pun udah mengutarakan maksud kepada orangtuanya tersebut.

Mak ama Bunda antusias banget mendengarnya. Mereka berjanji nggak akan membocorkan berita bahagia ini kepada Azayn. Tapi Tim resah, baru aja Mak telepon kalau Azayn nangis melulu di dalam kamar. Nggak mau makan. Nggak mau mandi. Bahkan Azayn yang semangat kuliah itu pun, jadi nggak mau kuliah demi menunggu suaminya pulang.

Melihat suami tercinta menangis itu adalah dosa buat Tim. Tapi Tim bisa apa? Ini ia lakukan juga demi kebaikan dan kebahagiaan Azayn, kan?

“Mereka kembar, Pak?” suara Dhisty menginterupsi lamunan Tim. Saat ini mereka sedang berada di mobil Dhisty menuju panti asuhan yang udah Dhisty rekomendasikan. “Namanya Nakula-Sadewa. Diasuh di panti sejak mereka masih bayi merah. Sekarang usia mereka lima tahun. Dan selama itu pulalah, mereka nggak mengenal orangtuanya.”

Selama seminggu ini, fujosi akut binaan Mak ama Bunda itu, merekomendasikan Tim ke berbagai panti asuhan. Menjumpai anak-anak kecil yang menggemaskan. Namun dari sekian yang direkom Dhisty tak ada yang menyentuh hati Tim. Namun entah kenapa, kali ini, baru aja mendengar nama Nakula-Sadewa dari mulut sekretarisnya tersebut, dada Tim menghangat. Keinginan kuat untuk segera menemuinya membara begitu aja.

“Nakula-Sadewa?” Tim menyebutnya lembut. Dan kebahagiaan aneh yang tak tampak, menari-nari di pelupuk mata Tim.

Mereka ada di sana. Sedang main robot-robotan. Pendek-pendek. Kulit mereka putih bersih. Rambut mereka kriwil-kriwil. Bibir mereka merona. Salah satu dari mereka bertubuh lebih besar. Mungkin karena hobi makan? Tim menerka-nerka.

“Yang lebih besar itu namanya Sadewa,” Ibu pemilik panti menunjuk. Tersenyum. Mendengar ada yang mau mengadopsi Nakula-Sadewa Ibu panti sangat senang. Wajar, sih. Nakula-Sadewa nggak pernah bertingkah normal. “Sadewa paling nakal di panti,” Ibu berambut uban itu menerangkan. “Dia melepas semua ayam-ayam yang diternak.”

Bapak pasti dapat musuh nih kalau tuh anak dibawa pulang.

“Sedangkan Nakula...,” ada jeda beberapa detik sampai Tim harus menelengkan kepala untuk melihat Ibu panti. “Maaf, Pak.”

“Ada yang saya lewatkan di sini?”

Ada! Tim menebak begitu. Raut Ibu panti cemas. Kedua tangannya saling remas. Menggigit bibir bawah ketakutan. Tim melirik Dhisty yang tampak mengernyit. Ibu panti memberi gestur supaya Tim mendekatkan telinganya, kemudian berbisik.

“Dia er ... sedikit mesum. Suka ngintip anak-anak panti lainnya mandi!”

Ya rasulallah ... Tim bergidik seketika. Menegang sebentar. Ibu panti mendekati kedua anak kembar tersebut.

“Nakula-Sadewa.”

Anak-anak kecil itu menyahut. Menoleh ke arah mereka. Ibu panti tersenyum. Mengelus rambut keduanya. Mengecup pipi masing-masing. “Hari ini ada Papi yang mau bawa kalian pulang.”

Seketika, dua bocah itu melonjak gembira. “Kami mau diadopsi, Mama?” Sadewa―yang bertubuh sedikit besar―antusias. Matanya mengerjap. Lalu menoleh satu-satunya orang yang layak disemati panggilan Papi di antara Ibu panti, Dhisty, ama Tim.

Lagi, tanpa pikir panjang, ketika Ibu panti mengangguk mengiyakan, Nakula-Sadewa langsung berlari ke arah Tim. Memeluk betis Tim kuat.

Tim terkejut luar biasa. Matanya membeliak. Namun hatinya berdebar. Menghangat. Tim merasakan sesuatu asing yang tak pernah ia rasakan sebelum ini. Oh, ini kah yang  disebut Azayn sebagai kebahagiaan yang lengkap?

“Jadi Om yang akan menjadi Papi kami?” Sadewa bertanya penuh semangat. Tim mengangguk penuh haru. “Waaah, Sadewa senang banget...,” si kecil memeluk Tim. Tangannya yang kecil melingkari leher Tim. “Teman-teman yang lainnya pada diambil mama-papa baru mereka, tapi nggak ada yang mau ambil Nakula ama Sadewa. Papi beneran mau menjadi Papi kami?”

Ya Tuhan, dada Tim menghangat seketika. Ia peluk tubuh mungil Sadewa sembari mengangguk berkali-kali.

“Dan tante ini yang jadi Mami kami?” Nakula menyeletuk. Memeluk kaki jenjang Dhisty. Kemudian mendongak. Nyengir menyeramkan setelahnya. “Mami celana dalamnya pink!”

Dhisty memekik. Bersumpah serapah. Nakula tertawa nista. Lalu menghampiri Tim, ikutan memeluk tubuh Tim. “Nakula senang punya keluarga baru akhirnya. Punya Papi. Nakula senang.”

Nggak memedulikan seberapa nakal Sadewa itu. Seberapa mesum Nakula itu, hari itu Tim sepakat dan setuju mengadopsi keduanya. Ia bawa Nakula-Sadewa pulang, sementara seluruh berkas adopsi Dhisty yang mengatur.

==

Melihat suaminya terlihat kurusan dari yang terakhir ia jumpai adalah rasa sakit paling dahsyat yang pernah Tim rasakan. Demi Tuhan, cukup sekali aja Tim membuat orang yang paling ia cinta itu menangis sedih, nggak mau ngapa-ngapain selain meringkuk di kamar.

Tim udah pulang. Mak ama Bunda bahagia banget Nakula dan Sadewa, Tim bawa ke rumah. Kedua bocah itu, meskipun nakal tapi memiliki sopan-santun ama orang tua. Begitu melihat Mak ama Bunda, keduanya langsung salim. Mengecup pipi para fujosi akut tersebut bergantian.

Sekarang Tim mengajak anak-anaknya ke kamar, menjumpai Mami yang sedang sesenggukan. Tim berjalan mengendap-endap mendekati suaminya. Kemudian Tim berbisik kepada Nakula-Sadewa.

“Kalian berdua, bangunkan Mami yang lagi tidur, Sayang.”

Nakula mengeryit. “Cowo juga, Pi?”

Sadewa menyikutnya. “Nakula nggak usah banyak ngomong, ayo kita bangunkan Mami.”

“Tapi cowo, lho.”

“Berisik!”

Sadewa lebih dulu naik ke ranjang. Nakula yang nggak mau ketinggalan, mengikuti gerik kembarannya tersebut. Saat berada di dekat Azayn, Sadewa memeluk pundak Azayn sayang. Lalu Nakula ikut-ikutan.

“Mami...,” suara kecil itu pecah di kamar yang sunyi.

Azayn terkesiap. Terkejut luar biasa. Tubuhnya menegang. Lalu secara perlahan, Azayn membalikkan badan. Sekonyong-konyong membelalak melihat Nakula-Sadewa di sana.

“Mami...,” Sadewa langsung memeluk tubuh Azayn. Diikuti Nakula yang masih bingung kenapa Maminya cowo.

Tangis Azayn kian santer. Ia melirik Tim yang tersenyum. “Pih...,” Azayn terbata. Memeluk dua anak kecil ke dalam pelukan.

Apa yang dikatakan Azayn adalah keajaiban. Dan keajaiban tersebut nyata di depan Tim. Melihat bagaimana dua bocah kembar memeluk tubuh Azayn, memahkotainya dengan sebutan Mami, lalu melihat tangis haru bahagia dari mata Azayn adalah surga. Tim nggak pernah merasakan ini sebelumnya. Kamarnya terasa hidup. Bernyawa. Dengan hadirnya dua anak lucu menggemaskan di dalamnya.

Tim meringsek kasur mereka, memeluk Azayn dan kedua anaknya sayang. “Apa pun keinginan Mami, Papi pasti kabulkan,” ucap Tim penuh cinta. “Sebisa mungkin,” kecupan-kecupan kecil Tim daratkan ke wajah suaminya, juga wajah kedua anak itu. “Papi berjanji nggak akan membuat Mami nangis lagi. Papi bersumpah ini adalah kali pertama dan kali terakhir Papi meninggalkan Mami selama seminggu nggak ada kabar. Demi Tuhan Papi nggak akan mengulanginya lagi. Mami menginginkan anak? Nakula dan Sadewa adalah anak kita, Mi. Mereka menjadi bagian dari keluarga kita. Anak Papi, anak Mami.”

Azayn nggak bisa berkata apa-apa. Kebahagiaan luar biasa besar ia rasakan dalam dada. Berkali-kali Azayn memberi kecupan kepada anak-anaknya. “Terima kasih, Pi, terima kasih.”

Sadewa mendongak. Mengusap air mata Azayn, lalu mengecup kelopak mata Azayn, “Kata Mama panti, kalau ada yang nangis, matanya harus dicium biar nggak nangis lagi,” ia mengerjap. Giginya terpampang ketika nyengir. “Mami jangan sedih. Jangan nangis. Sadewa janji deh nggak akan nakal lagi.”

Nakula ikut-ikutan mencium. Tapi lebih berani. Bikin Tim panas dingin. Anak cebol itu mencium bibir Azayn. Itu bibir miliknya. Khusus menerima ciumannya. Kenapa tuyul itu main nyosor? Dasar anak mesum.

“Nakula nggak peduli kalau ternyata Mami itu sama-sama cowo,” si kecil super mesum itu berkata. “Tapi Nakula bahagia memiliki Papi ama Mami. Nakula bahagia, Mi.”

Dan dia mengecup lagi. Bibir Azayn. Tim murka. Sangat. Tim menggendong Nakula dalam pangkuannya. “Kamu dengar ya, Jagoan, dilarang mencium bibir Mami. Bibir Mami itu milik Papi. Nggak boleh kamu cium-cium sembarangan gitu.”

Senyum menyeringai terbit dari bibir Nakula. Ya Tuhan, siapa sih yang  ngajarin anak kerdil ini menyeringai seperti itu?

“Papi cemburu, ya, cieee Papi cemburu....”

Cemburu? Ya ampun, dapat kosakata itu dari mana dia? Lalu, dalam sepersekian detik, lagi-lagi Nakula mencium bibir Azayn. Keparat kau! Tim menjauhkan Nakula, lalu buru-buru menyambar bibir Azayn. Azayn kewalahan, tertawa bahagia.

“Ah, nanti kalau Papi berangkat kerja, Nakula mau ciumin bibir Mami sebanyak-banyaknya, ah.”

Ya ampun, sekarang Tim cemburu ama anaknya. Ia nggak terima, dong. Bibir Azayn kan milik dia. Main dicolong gitu aja ama anaknya. Tim menghadapi Azayn, menggeleng tegas dengan raut muka serius. “Mami harus berjanji, nggak akan pernah biarin anak cebol ini mencium bibir Mami. Bibir Mami itu Cuma buat Papi. Nggak ada yang boleh menciumnya sembarangan.”

“Ya udah kalau gitu aku menciumnya nggak sembarangan, deh.” Sekali lagi, gan, si anak tuyul itu menyambar bibir Azayn. Tim murka, tapi detik berikutnya ia ketawa-tawa geli ketika Sadewa mengelitikinya, hingga Tim terjatuh di kasur. Lalu, nggak mau ketinggalan, Nakula menindih tubuh Tim. Tertawa geli. Kemudian mengecup bibir Tim sayang.

“Nakula mau cium Mami ama Papi setiap hari. Nakula senang punya Mami-Papi.”

“Sadewa juga, ah. Sadewa juga mau ciumin Mami-Papi.” Sadewa ikutan menindih tubuh Tim. Rebutan cium bibir Tim. Azayn tertawa bahagia. Ia mengelus kening Tim. Mengecupnya penuh perasaan.

“Terima kasih ya, Pi. Terima kasih sudah hadir dalam hidupku. Mami bahagia. Sangat,” dikecup lagi dahi Tim.

Dan hari itu, adalah hari paling membahagiakan buat keluarga kecil Tim. Tim merasa lengkap. Tim nggak menginginkan hal lain untuk menyubtitusi kebahagiaannya sekarang. Ada Azayn, ada Nakula, dan Sadewa, sudah cukup mengisi kehidupan Tim.

Cinta bagi Tim sangat sederhana. Hanya perlu ketulusan, keihklasan, dan kesederhanaan itu sendiri. Sudah itu aja. Tim mencintai Azayn. Azayn pun mencintainya. Mereka memiliki anak. Nggak peduli dengan gunjingan orang lain yang mempertanyakan dua orang sesama jenis menikah, Tim hanya menjalankan apa yang menurut kata hatinya benar. Semua orang bisa berkomentar, semua orang bisa memberi kritik, tapi nggak semua orang bisa menerima pebedaan pasangan Tim ama Azayn.

Aneh? Memang! Absurd? Memang. Tapi, gan, hidup sendiri udah sangat absurd, kenapa sibuk menilai dan mencari kekurangan orang lain? Jalani aja. Kalau ada yang berdakwah tentang dua orang homo saling berbagi cinta dan akhirnya menikah, cukup balas mereka dengan kaliamat: “Agama situ gincu?”

==

Ending
terima kasih kepada para pembaca yang terbuka dengan  pemikiran absurd kami. Yang mau menerima kenyelenehan cerita ini.

Saya dan gaachan menyatakan ff Tim-Azayn tamat....

Salam terakhir dari kami

DAKI
(Duo Absurd Kayangers Independen)
Al & gaachan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro