2. Rencana 🌟

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturut-kan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kerugian."

(QS.Maryam(19): 59)

⭐⭐⭐⭐

"Gimana cowoknya? Ganteng nggak? Tajir nggak? Badannya atletis nggak?" Nisa beringsut mendekati Bintang, membuat gadis itu menoleh kesal padanya.

Saat datang ke kampus keesokan paginya, Bintang langsung mencari Nisa dan menceritakan semua keluh kesah pada sahabatnya itu. Tapi apa coba reaksi yang ia dapat? Mata gadis itu justru berbinar cerah, seolah bencana milik Bintang adalah surga bagi dirinya.

"Seketika aku nyesel cerita sama kamu, Nis," gerutu Bintang kesal.

Nisa terbahak. "Aiihhh ... gitu aja ngambek sih sayangku." Tangan gadis itu melingkar di perut Bintang. "Ya kan aku penasaran kayak gimana calon suami kamu itu."

"Dia bukan calon suamiku, ya. CATET!" kata Bintang sembari menekankan nada pada kata terakhir. "Calon suamiku cuma Mas Iam."

"Bin, aku kasih tahu, ya .... Orang yang pantes dijadiin calon suami tuh orang menjaga sholat lima waktunya. Sholat aja dijaga, apalagi kamu? Sorry to say, mas Ilham tuh masih jauh dari sosok itu."

"Ya ... namanya orang kan bisa berubah. Dia udah usaha sedikit demi sedikit kok."

"Iya sih manusia bisa berubah, iya sih kita nggak boleh suudzon sama orang. Kalau gitu tunggu dia perbaiki diri dulu lah, jangan terus mentang-mentang suka asal pacaran aja. Apalagi menikah. Sholat itu tiang agama. Dan suami adalah imam untuk keluarganya. Jadi penting banget sebagai pondasi awal kita dalam menjalankan rumah tangga."

"Kok jleb, ya?" kata Bintang memegang sebelah dadanya dengan ekspresi ekstrim.

"Drama! Dibilangin malah becanda mulu." Tangan Nisa berlipat.

"Iya, iya. Nanti sebelum nikah, mas Iam aku minta jaga sholat lima waktunya, deh. Aku yakin kok dia bisa. The power of love gitu, loh."

"The power of love, Buapakmu!" umpat Nisa masih dengan ekspresi jengkelnya dan itu membuat Bintang memperkencang volume tawa.

Namun beberapa detik kemudian, tawanya terhenti, dahinya mengerut dalam melihat sesuatu.

"Eh, itu Mas Iam, kan?" Bintang menunjuk ke suatu tempat dan membuat Nisa menelusuri arah itu.

"Ho'oh. Tapi dia sama siapa ya, Bin? Kok ganteng, sih?" Wajah Nisa kembali berbinar.

Benar juga, Mas Iam sama siapa?Kenapa lelaki itu seperti tidak asing?

"Eh?" Pikiran Bintang seketika terbuka. "Dia kan cowok yang kemarin?"

Nisa mengalihkan perhatiannya ke arah Bintang. "Kemarin yang mana?"

"Dia cowok yang ngelamar aku kemarin." Bintang memperjelas.

"Hah?" Nisa ikut terkejut. "Cowok itu? Kok bisa bareng Mas Ilham?"

Bintang menggeleng pelan, dia juga tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi feeling-nya sungguh tidak enak.

Kemarin lelaki itu berhasil mencuci otak seluruh keluarganya, jangan sampai sekarang Mas Ilham—pacar kesayangannya, calon suami yang ia pilih—juga akan menjadi korban lelaki itu. Dia harus melakukan sesuatu.

Bintang bergegas menuju sang pujaan hati yang sedang serius berbincang dengan calon suaminya. Ralat! Mungkin sebentar lagi lelaki itu akan menyandang nama 'mantan calon suami' karena Bintang yakin, dia pasti bisa menggagalkan rencana perjodohan yang dirancang keluarganya.

"Aku ke sana dulu ya, Nis."

⭐⭐⭐⭐

Langkah Bintang semakin mendekati dua lelaki yang terlihat mendiskusikan sesuatu.

"Assalamu'alaikum," ucap Bintang sembari tersenyum manis ke arah Ilham, tapi langsung berubah jutek ketika matanya beradu dengan Aidan.

"Wa'alaikumussalam warohmatullah," jawab keduanya bersamaan.

"Dek Bin, kok di sini?" Ilham mengerutkan dahi saat melihat Bintang mendekat. Dek Bin sendiri adalah panggilan kesayangan lelaki itu kepadanya.

"Iya, Mas. Tadi kebetulan aja lewat, terus lihat Mas Iam. Jadi kangen, deh." Lagi lagi Bintang memamerkan barisan giginya, ada gingsul di bagian atas yang menjadi daya tarik sendiri untuk orang yang melihatnya. "Mas lagi apa?"

"Oh, ini, Dek. Lagi ngobrol sama A' Aidan. Dia ini pembicara untuk acara kampus besok. Hari ini observasi tempat bersama timnya."

Pembicara? Memangnya dia siapa sampai bisa jadi pembicara di kampus?

Seolah dapat membaca pikiran Bintang, Ilham menjawab, "Beliau motivator singer yang lagi naik daun itu lho, Dek. Masa' nggak pernah lihat?"

Bintang mengedikkan bahunya, acuh tak acuh. Dia tidak terlalu tertarik mengetahui jati diri lelaki itu lebih lanjut.

"Eh iya. A'. Perkenalkan, dia adik kelas saya, anak semester tujuh, sebentar lagi PPL."

Aidan mengangguk, bibirnya melengkung tipis terlihat bersahaja.

Mendadak sebuah nada dering mengalun lembut dari saku baju yang Ilham kenakan. Lelaki itu mengangguk pelan ke arah Aidan, meminta izin untuk mengangkat teleponnya dan Aidan tersenyum mengiyakan.

Ilham segera menjauh dari mereka, menyisakan Aidan dan Bintang yang berdiri mematung berdua saja.

Sejenak, Bintang melihat lelaki itu dari atas sampai bawah, mengamati setiap inci dari tubuhnya.

Rambut lelaki itu terkesan klimis, kacamata bertengger manis di hidung mancungnya, memberikan kesan kharismatik yang menggoda. Tidak bisa dipungkiri, Aidan mempunyai modal besar untuk menarik kaum hawa dengan pesonanya. Jika saja lelaki itu tidak semena-mena melamar Bintang begitu saja, mungkin gadis itu akan terpesona dalam pandangan pertama.

Tapi semuanya hanya kemungkinan. Nyatanya dia sudah terlanjur sebal dengan sosok bernama Muhammad Aidan Fathoni itu. Mulut Bintang berdecih, lalu kemudian ia melangkah pergi tanpa sepatah katapun. Belum sempat menjauh, sesuatu menghentikan pergerakan kakinya, bahkan membuatnya hampir terjungkal ke belakang, dan itu semua ulah Aidan yang memegang dan menarik kerah baju Bintang untuk tetap bertahan pada posisinya.

"Ish! Apa, sih?!" Bintang menepis tangan Aidan, membuat lelaki itu mengeluarkan seringai kecil.

"Kamu beneran nggak kenal aku?" tanya Aidan kemudian.

"Emang penting ya kenal sama kamu?" Bintang menaikkan dagu, mencoba menantang lelaki di hadapannya.

Bibir Aidan tertarik tipis dan bersedekap. "Mungkin."

"Nggak usah sok cool, deh. Aku tahu kamu emang ganteng, tapi tingkah nyebelin kamu itu ngerusak semuanya tahu, nggak?"

"Oh, aku ganteng, ya?" Senyum lelaki itu bertambah lebar.

Bintang berdecak pelan, menyesali apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Nih mulut nggak bisa direm apa, yak? Bisa-bisa cowok itu besar kepala.

"Nggak usah GR dulu! Ganteng itu relatif, mulutku bisa bilang ganteng tapi hatiku berkata sebaliknya."

Suara kekehan kecil terdengar. Aidan menaikturunkan kepalanya perlahan.

"Maaf lama, ada sedikit urusan tadi." Suara Ilham memenggal percakapan sepasang muda-mudi itu.

Bintang segera menegapkan badan, berbeda dengan Aidan yang terlihat santai seperti biasa. Lelaki itu mengamati ponselnya, ada sebuah chat di sana.

"Oh iya, saya harus kembali bertemu dengan tim. Mereka sudah mengabari kalau urusan di sana sudah selesai."

Ilham mengangguk sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Iya, A'. Terima kasih sebelumnya."

Aidan mengangguk lalu permisi dari tempatnya berdiri, tanpa memandang sosok Bintang di sana.

Cowok sok cool gitu mau jadi suamiku? Sial tujuh turunan nanti aku, batin Bintang dalam hati.

⭐⭐⭐⭐

Sekarang Bintang sedang berada di kantin fakultasnya, mencoba mendinginkan otak yang tiba-tiba panas karena bertemu dengan cowok rese yang entah berasal dari planet antah berantah mana.

Dia tak sendirian, Ilham menemaninya. Lelaki itu masih asyik dengan minuman yang tersaji di meja, hingga Bintang berusaha menarik perhatiannya.

"Mas ...," rajuk Bintang dengan nada manjanya yang sangat khas.

Ilham mengangkat alis. "Apa, Dek?"

"Mas Iam kapan ngelamar aku?"

Karena terkejut dengan pernyataan Bintang, Ilham langsung tersedak. Bintang yang mengetahui hal itu segera menyodorkan selembar tisu ke arah lelaki itu.

"Mas Iam nggak pa-pa?" tanyanya khawatir.

Ilham hanya menggeleng. Setelah menetralisir kekagetannya, lelaki itu kembali menatap Bintang. "Kok mendadak ngomongin itu, Dek?"

Mulut Bintang mencebik lucu. "Ya, pengen tahu aja. Mas Iam kapan ngelamar aku?" Ia mengulangi pertanyaannya membuat lelaki di hadapannya mendengus pasrah.

"Kamu kan masih kuliah, Dek."

"Tapi kan bentar lagi lulus," rengek Bintang sembari bermain dengan lengan kemeja Ilham dan memilin-milinnya.

"Tapi kan aku juga baru sidang skripsi kemarin, aku belum punya kerjaan, nanti kalau nikah kamu mau dikasih makan apa?"

"Kan nikah itu membukakan pintu rezeki, Mas. Allah sudah menjamin rezeki setiap hambanya kok. Nggak usah takut kehabisan. Allah Maha Kaya."

"Nikah nggak se-simple itu, Dek. Nikah bukan perkara main-main."

"Mas nggak mau nikah sama aku?" Bintang menegapkan badannya, memasang wajah ngambek.

"Ya nggak gitu maksudnya, semua itu perlu persiapan yang matang, Dek. Lagian kenapa sih kamu jadi buru-buru begini?"

Dengusan pasrah keluar dari hidung Bintang. "Ada yang ngelamar aku."

"Hah?" Sekali lagi, Ilham tersedak. "Siapa?"

"Ada lah, pokoknya Mas harus ngelamar aku, kalau enggak Bintang dipaksa nikah sama cowok itu."

Ilham menghirup udara di sekitarnya, ia mencoba tenang, menahan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.

Setelah mampu menguasai diri, ia mengulas senyum manis ke arah Bintang. "Ya udah, besok mas ngomong sama Ibu Bapak dulu ya," ujarnya lembut.

"Beneran?" Mata Bintang bersinar cerah, seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru dari orang tuanya.

"Iya."

"Serius?"

Ilham terkekeh geli. "He'em. Serius."

"Yeaaayyy ...," sorak Bintang kegirangan.

Tanpa mereka sadari sepasang mata memandang mereka dengan saksama, rahangnya mengeras, tangannya mengepal.

⭐⭐⭐⭐

Sebuah rumah bergaya minimalis nan simple itu terlihat begitu senyap, hanya suara gemericik air dari kolam kecil di depan rumah yang mengisi gendang telinga.

Di teras depan terlihat seorang lelaki dengan tenang menyesap secangkir kopi hitam. Kakinya bertumpu dengan kaki lain. Mata tajamnya menelisik ke sebuah buku yang dia pegang dengan salah satu tangan.

"Mas." Sebuah suara menginterupsinya untuk menoleh dan terpaksa menghentikan aktivitasnya.

Lelaki lain menarik kursi yang hanya terpisahkan meja bulat sebagai pembatas di antara mereka.

"Apa?" tanya lelaki bermuka datar itu tanpa mengalihkan perhatian dari objek bacaannya.

"Aku sudah memulai rencana itu," ucap lelaki yang lebih muda.

Biru, lelaki berkacamata minus itu melirik sekilas ke arah adiknya, Aidan. Lalu menghembuskan napasnya perlahan.

"Jadi sekarang sudah saatnya?"

Aidan mengangguk mantap.

~bersambung

Yang bangun jam segini jangan lupa qiyamul lailnya, jangan lupa sholat subuh tepat waktunya juga. Hamasah! 😘😘😘

10 September 2016 revisi 10 Juli 2017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro