Bab 11. Sebuah konspirasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Akuarium dan ayahnya rasanya sesuatu yang terasa sedikit janggal. Hal itu sejak tadi terus terpikirkan oleh gadis dengan rambut sebahu, yang kini duduk diam di bangku mobil.

Sejak kapan ayahnya menyukai ikan hias? Adalah satu pertanyaan yang belum menemukan jawaban hingga sekarang. Setahu Gyana, ayahnya lebih senang menghabiskan waktu di kebun belakang rumah mereka yang tidak bisa dikatakan luas. Namun, dari lahan yang terbatas itu ayahnya bisa menanam berbagai macam sayuran yang seringkali dibagikan pada tetangga karena mereka memang jarang memasak.

"Setahu gue ayah itu nggak pernah suka ikan," celetuk Gyana sembari menoleh pada pemuda di sampingnya. Dikta yang sejak tadi mencuri pandang pada Gyana kini memusatkan penuh perhatian pada gadis itu karena kebetulan lampu jalan tengah berubah merah.

"Oh, ya? Aku juga kurang tahu." Jawaban yang terdengar menjengkelkan di telinga Gyana. Namun, jika dirinya saja tidak tahu, apalagi dengan orang lain?

"Mungkin ayah kamu sedang jenuh dan mencoba mencari kesibukan lain?" Dikta seolah-olah sedang ikut bingung padahal pemuda itu tahu apa alasan sesungguhnya ayah gadis di sampingnya ini membeli akuarium.

Bukan ayah Gyana yang menyukai ikan hias, tetapi dirinya. Jadi bisa tertebak bukan, apa tujuan dari misi ini? Apalagi jika bukan agar Pradikta bisa sering-sering ke rumah Gyana dengan alasan mengurusi akuarium dan juga ikannya.

Gyana yang menyetujui kemungkinan itu hanya diam. Memang ayahnya tidak memiliki kegiatan lain setelah pensiun. Jika bukan berkebun, paling kalau awal bulan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu datang ke kontrakan mereka untuk menagih uang bulanan.

Selain dari uang pensiun ayahnya, kontrakan memang menjadi penghasilan utama mereka. Usaha menjanjikan yang akan Gyana teruskan nanti. Dan mulai sekarang gadis itu juga sudah mulai menabung dari hasil menulis. Yang nantinya akan dia investasikan pada kontrakan.

Suasana kembali hening hingga kedua orang itu sampai di tempat yang dituju. Setelah mengambil pesanan ayahnya, Gyana sudah berkeinginan untuk pergi, tetapi Pradikta menahannya.

"Kata ayah kamu ikannya juga suruh beli, uangnya udah dikasih ke aku tadi."

Gyana awalnya agak ragu, takut Pradikta berbohong karena ayahnya tadi tidak berpesan untuk yang satu ini. Namun, seingatnya di rumah juga belum ada ikan yang siap untuk dimasukkan ke akuarium ini. Jadi? Gadis itu memutuskan untuk mengikuti saran Pradikta. Mereka berdua mulai memilih ikan mana yang harus dibeli.

"Kamu suka yang mana?" tanya Pradikta saat keduanya kini tengah memperhatikan ikan dengan berbagai macam ukuran. Juga dengan berbagai macam warna yang begitu cantik. Tanpa sadar bibir Gyana mengulum senyum tipis untuk pemandangan indah di depannya.

Pradikta yang melihat itu ikut tersenyum, dan mengabadikan senyuman indah milik Gyana untuk disimpannya dalam memori.

"Kalau yang ini bisa nyala," ujar Dikta menunjuk jajaran ikan kecil dengan warna biru. "Namanya ikan neon."

Gyana yang tertarik dengan ikan-ikan itu seketika mengamatinya. Rasanya rumahnya akan jadi tidak membosankan jika ikan-ikan kecil nan cantik ini ada di sana.

"Terserah kamu aja mau yang mana, kan kamu yang dititipi mandat dari ayah." Setelah mengatakan itu Gyana berjalan ke luar. Sengaja kembali bersikap ketus karena keanehan mulai terjadi pada dirinya saat sadar tengah berdiri cukup dekat dengan sosok menyebalkan itu. Hal yang paling Gyana benci adalah hidungnya yang mulai menyukai aroma tubuh seorang Dikta.

Sementara Pradikta hanya bisa tertawa geli, membiarkan Gyana untuk pergi ke luar. Dan setelah memastikan gadis itu tidak pergi ke mana pun, melainkan hanya berdiri di samping mobil, maka dia segera membeli keperluan untuk akuarium. Tidak hanya ikan, ada filter dan tanaman hias yang dibelinya agar akuarium di rumah Gyana terlihat cantik.

*

"Ditaruh situ aja, Dik." Gunawan langsung menyambut kedatangan Dikta dan juga Gyana yang kini malah langsung melangkah ke kamarnya.

"Gya! Bikinin minum buat Dikta!"

"Nggak usah, Om, Gyana capek pasti."

"Nggak papa, cuman bikin minuman doang lah."

Kedua laki-laki itu lantas merapikan dua akuarium yang Dikta beli. Sementara Gyana yang sebal, tetapi tidak bisa membantah perintah ayahnya langsung menuju dapur. Dirinya sebenarnya lelah karena sejak tadi belum sempat istirahat.

Memutuskan untuk membuat es sirup leci gadis itu membuat dua gelas. Terserah pemuda di depan sana menyukainya atau tidak. Segera keluar dan meletakkan satu gelas di atas meja, Gyana dengan sedikit mengendap membawa satu gelas yang lain kabur ke kamarnya.

"Loh, itu nggak ditawarin minumannya." Gadis itu berdecap kesal saat ayahnya ternyata berhasil mengendus keberadaannya.

"Itu minumannya! Kalau kurang bikin sendiri di dapur!" ujar gadis itu sembari melangkah cepat ke kamar sebelum interupsi lain datang dan menganggu niatnya untuk istirahat.

Gunawan yang mendengar itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu masih sanggup ngadepin yang kayak gitu, Dik?"

Dikta malah tersenyum sebagai jawaban, seolah-olah sikap menjengkelkan yang sejak tadi Gyana tunjukkan bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. "Enggak papa, Om, Dikta udah biasa. Lagian itu juga bukan sikap asli Gya, kan, Om? Dia kayak gitu karena salah Dikta juga kok."

Gunawan yang tidak terlalu tahu apa sebenarnya masalah kedua anak muda ini hanya mengangguk. Putrinya memang sering mengatakan jika Dikta ini dulu pembully, tetapi melihat Dikta yang sekarang begitu sopan, mungkin kenakalan yang pemuda ini lakukan dulu hanyalah kenakalan anak remaja pada umumnya. Dan melihat bagaimana usaha Dikta untuk tetap bertahan dalam perjodohan ini, Gunawan yakin jika hanya pemuda ini yang dapat dirinya percaya untuk menjaga Gyana suatu saat nanti jika dirinya tidak ada lagi di dunia.

*

"Bagus juga," bisik Gyana sembari melihat akuarium yang sudah selesai dirapikan. Tidak hanya ada ikan, tetapi di dalamnya ada semacam tanaman hias yang tertata rapi. Terlihat cantik saat diletakkan di dekat jendela ruang tamu seperti ini.

"Bagus, kan?"

Gyana tersentak oleh kehadiran ayahnya yang kini berjalan ke sofa ruang tamu dan duduk di salah satu bangkunya.

"Sejak kapan Ayah suka ikan hias?" Mengabaikan kekaguman yang ayahnya tunjukkan dari matanya, gadis itu lebih tertarik untuk mengulik apa sebenarnya yang terjadi di balik keberadaan ikan hias ini.

"Sejak sering main ke rumah Om Pram. Di sana kan banyak ikan hiasnya." Gunawan menjawab tanpa melepas pandang pada buku tebal yang kini dibacanya.

Sembari menggaruk hidungnya yang mendadak gatal, Gyana ikut duduk di bangku kosong depan sang ayah. "Ayah bilang Om Pram kan kerja di luar kota dan kalian nggak pernah ketemu. Tapi Dikta kok bisa sekolah di sini?" Sebenarnya sudah lama Gyana penasaran akan hal ini, tetapi terlalu gengsi untuk menanyakannya.

Senyum Gunawan muncul mendengar pertanyaan itu, dan saat itu juga Gyana merasa menyesal karena sudah bertanya. Jika bisa ditarik, akan dirinya tarik pertanyaan tidak penting tadi.

"Kalau dipikir-pikir kalian ini memang kayak jodoh, ya, selalu sekolah di tempat yang sama."

Gyana mendelik horor mendengar asumsi yang baru saja ayahnya katakan. "Ayah ini apa-apaan, si, kok malah ngomong gitu. Amit-amit, ah!"

Gunawan tertawa geli sebagai balasan kalimat ketus yang baru saja putrinya sampaikan. "Jangan gitu, nanti kalau beneran jodoh gimana?"

"Ayah! Ih, nyesel udah nanya-nanya." Gyana memberengutkan wajah dengan gaya lucu.

Gunawan kembali tertawa kecil, lalu selanjutnya menjawab rasa penasaran yang Gyana tanyakan tadi. "Om Pram kerja di luar kotanya kan pindah-pindah. Tadinya Dikta sama Tante Septi diajak, tapi cuman satu tahun. Dan setelah itu Tante Septi sama Dikta mutusin buat menetap di Tangerang."

Meski sudah kehilangan semangat mendengar jawaban itu, tetapi otak Gyana mulai menyambungkan apa yang terjadi dulu. Pradikta memang muncul satu tahun kemudian setelah dirinya lulus SMP. Namun, hal itu sudah tidak lagi penting sekarang.

"Terus ini yang mau ngurusin akuariumnya Ayah?" tanya Gyana basa-basi, tetapi senyuman penuh misteri ayahnya mulai memunculkan kecurigaan baru di benak gadis itu.

"Ayah belum terlalu ngerti cara ngurusinnya."

"Ya terus kenapa dibeli coba? Kan Gya juga nggak ngerti, Yah." Gyana mulai tidak paham dengan sikap ayahnya yang sering aneh belakangan ini.

"Ya siapa juga yang minta kamu ngurusin?"

"Terus?"

"Kamu liat saja nanti, nggak usah dipusingin."

Gyana menyelidik wajah sang ayah yang kini memunculkan senyum geli. Sungguh-sungguh mencurigakan dan—gadis itu terhenyak saat terdengar suara salam dari luar. Tidak perlu bertanya siapa, karena suara itu sudah terlalu familier di telinga Gyana. Dan saat sosok itu muncul dengan menenteng entah apa, Gyana tahu ini bentuk dari konspirasi antara sang ayah dan pemuda yang baru saja masuk itu.

***

Hari perasaan cepet banget, ya. Tau2 udah senin lagi aja. Tengkiu for reading, ya. Semoga cerita ini menghibur. Luv banyak2, Aya :)

IG - dunia.aya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro