Bab 13. Kesempatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu pergi aja sama Dikta. Nanti Ayah dibungkusin aja, kamu kan udah tahu apa yang boleh Ayah makan." Kalimat horor yang menghantarkan Gyana untuk kembali terjebak di bangku mobil berdua saja dengan pemuda yang—kenapa rasanya sulit sekali untuk menghindar dari seorang Dikta?

"Kamu mau makan di mana?" tanya Dikta saat mobil yang dikendarainya sudah keluar dari komplek perumahan Gyana.

"Terserah lo aja, deh, mau makan apa. Sejujurnya gue nggak laper." Gyana sudah kenyang dengan rasa kesal yang mendominasi perasaannya sejak tadi.

Dikta yang mendengar kalimat itu malah hanya tersenyum. Dalam kepalanya sudah tahu akan mengajak gadis ini ke mana, karena Dikta tahu betul apa kesukaan Gyana.

Setelah perjalanan beberapa menit yang berlalu dengan kondisi hening, akhirnya Dikta membelokkan mobilnya ke sebuah kedai soto. Yang pemuda itu tahu, Gyana menyukai olahan makanan berkuah yang pedas dan asin. Makanya pelihannya antara, soto, atau bakso. Melihat gadis itu turun tanpa protes, Dikta pun mengulum senyum lega karena ternyata pilihannya tidak salah.

"Ayah kamu bisa makan soto daging?" Pertanyaan itu muncul setelah keduanya duduk di salah satu meja kosong. Suasana sedikit padat mungkin karena memang ini jam makan malam.

"Enggak, nanti berenti sebentar di tempat makan langganan ayah." Gyana menjawab sembari mengedar pandang, enggan menatap wajah di depannya. Dikta masih menyisakan rambut basahnya—yang andai saja Reni di sini pasti sudah bertindak berlebihan.

Dikta pun mengangguk paham saat mendengar jawaban itu, dan mulai memesan apa yang keduanya inginkan.

*

Gyana menyesal karena tidak membungkus sotonya dan memakannya di rumah dengan sang ayah. Karena saat ini, dirinya harus kesusahan menelan makanan di mangkuknya yang nyaris utuh. Penyebabnya tentu saja karena pemuda di depannya terus saja menatapnya. Dan saat sekali saja Gyana mendongak untuk melihat apa yang sebenarnya Dikta lakukan, pemuda itu menunjukkan senyum yang sangat menyebalkan sekali. Menyebalkan karena mampu membuat seorang Gyana gugup.

"Aku ke toilet bentar." Baru saat kalimat itu muncul, Gyana mampu mengembus napas lega dan cepat-cepat menghabiskan sotonya. Kalau bisa sudah habis sebelum Dikta kembali duduk di tempatnya.

Dikta yang sengaja menjadikan alasan toilet untuk memberi Gyana waktu makan, hanya bisa tersenyum. Menunggu di kejauhan sana gadis yang kini sedang melahap sotonya terlalu terburu-buru hingga nyaris tersedak.

Pemuda itu sadar sudah ada yang mulai berubah dari Gyana. Cara pandang gadis itu ke dirinya juga terlihat sedikit aneh. Jika dulu Gyana akan langsung marah-marah jika dia menatap lama, maka kali ini yang terlihat gadis itu seperti salah tingkah. Apa itu tanda jika Gyana sudah mulai menerima keberadaannya? Hanya terlalu gengsi untuk bersikap baik. Jika tebakannya ini benar, maka perjuangan yang dilakukannya selama ini benar-benar tidak sia-sia.

Setelah yakin Gyana sudah berhasil menandaskan makanan di mangkuknya, pemuda itu memutuskan untuk kembali. Berusaha untuk bersikap biasa saja saat melihat mangkuk di depan gadis itu bersih, tanpa menyisakan makanan sedikit pun. Senyum geli mati-matian ditahannya untuk tidak muncul atau Gyana akan tersinggung.

"Mau ngerokok dulu apa enggak?"

Dikta mengangkat alis bingung saat mendapat pertanyaan semacam itu.

"Biasanya cowok kalau abis makan kan suka ngerokok."

"Biasanya itu siapa aja? Kamu udah pernah jalan sama cowok lain?" Dikta hanya senang menggoda Gyana. Apalagi kalau gadis ini sudah berbicara, cukup diprovokasi sedikit juga pasti langsung uring-uringan.

"Ya pernahlah, dikira gue nggak laku karena pendek?" Gyana mengatakan itu sembari memicingkan mata kesal.

Dikta yang sadar jika Gyana mulai mengungkit masa lalu mencoba bersabar. "Tolong jangan ungkit itu lagi, dulu aku nggak bener-bener ngeledek fisik kamu. Aku minta maaf kalau kata-kataku dulu bikin kamu terluka sampai saat ini."

"Udah ah, basi."

Dikta hanya bisa menghela napas, dan memutuskan untuk berhenti saat tahu kali ini Gyana benar-benar marah, bukan hanya kesal. Setiap kali kenangan masa lalu terungkit, gadis ini pasti akan bereaksi seperti ini. Luka hati Gyana karena masa lalu pasti sangatlah besar, sehingga benci itu tidak juga berkurang kadarnya. Hal yang dulu dia anggap kalimat gurauan sepele, ternyata imbasnya begitu dalam untuk orang yang dulu memang dijadikan bahan ledekan ini.

"Sebagai info aja, aku nggak ngerokok. Mau langsung pulang?"

Gyana tidak menjawab, melainkan bangkit dan langsung menuju kasir. Membayar menu makanan mereka sebelum Dikta mengeluarkan uangnya.

"Anggep aja ini sebagai ganti traktiran lo yang waktu itu. Gue nggak mau berutang budi."
Setelah mengatakan itu Gyana berjalan terlebih dulu ke mobil, meninggalkan Dikta yang hanya diam dan ikut melangkah ke arah sama.

*

"Lo di sini aja, gue bisa beli sendiri," ketus Gyana saat mobil Pradikta sudah berhenti di depan kedai mi tempat biasanya dia membelikan makanan untuk ayahnya. Di sini, penjualnya sudah tahu olahan seperti apa yang bisa dimakan oleh ayahnya.

Dikta yang enggan memancing amarah Gyana lebih lagi, memilih untuk tidak membantah. Pemuda itu duduk diam di mobil sembari memerhatikan sosok mungil Gyana yang kini berjalan ke arah kedai mi yang menyediakan berbagai macam olahan.

Dalam diam pemuda itu terus menatap sosok Gyana yang tampak sedang berbincang dengan penjual mi dengan begitu akrab. Terlihat dari cara gadis itu yang kini tampak tertawa entah untuk hal lucu apa. Dalam hati pemuda itu terus bertanya, kapan kiranya seorang Gyana bisa bersikap seperti itu kepadanya?

Dikta segera menyalakan mesin mobil saat melihat Gyana sudah berjalan kembali dengan menenteng satu kantung plastik. Namun, langkah gadis itu terhenti saat beberapa orang pemuda menghadangnya. Dikta pun dengan sigap turun dan menghampiri Gyana yang kini menunjukkan wajah pias.

"Ini ada apa?" Dikta langsung berdiri di depan Gyana. Bisa dirasakannya gadis itu yang kini ketakutan, tangan mungil Gyana mencengkeram jaket yang kini dikenakannya.

"Bagi duit!" ujar salah satu dari tiga pemuda tanggung yang menghiasi tubuhnya dengan tato itu.

"Kalau nggak mau?" Dikta tidak menunjukkan wajah gentar sedikit pun. Selain memang dirinya bisa bela diri, juga karena pemuda tanggung di depannya ini memiliki postur tubuh jauh dari dirinya yang bisa dikatakan bertubuh jangkung.

"Hajar!" ujar salah satunya, dan baru saja dua orang yang lainnya akan maju untuk melawan Dikta yang masih menunjukkan wajah santai, suara sirine polisi terdengar. Tiga pemuda itu pun langsung kalang kabut melarikan diri.

Dikta hanya tertawa geli menyaksikan semua itu. Lalu saat yakin ketiga pemuda tadi sudah menghilang dari pandangan, dikeluarkannya ponsel yang masih meraung-raung di sakunya.

Gyana yang sejak tadi diam seketika melongo kaget karena ternyata bunyi sirine itu bukan dari mobil polisi yang memang sesekali patroli, melainkan dari ponsel pemuda yang kini tengah menatapnya khawatir.

"Kamu nggak papa?"

Gyana menggeleng canggung saat sadar jika sejak tadi dirinya merapatkan diri ke arah Dikta.

"Mereka sering ke area sini buat gangguin pembeli?"

"Enggak, baru ini." Gyana tidak berbohong karena memang biasanya tidak ada preman di area sini. Mungkin ketiganya tadi hanya sekadar lewat dan mencari peruntungan saat melihat sosoknya.

"Ya udah, pulang sekarang?"

Gyana tanpa berani menatap wajah Dikta kembali menganggukkan kepalanya.

*

"Gy," panggil Dikta saat keduanya sudah duduk di mobil dan siap untuk perjalanan pulang.

Gyana yang sejak tadi melempar pandang ke luar jendela mobil hanya bergumam, enggan menoleh ke arah Dikta yang dirinya yakin kini tengah berulang kali mencuri pandang ke arahnya.

"Kalau aku bilang nyesel banget untuk kesalahan aku di masa lalu. Kamu percaya?" ujar pemuda itu sembari sesekali menoleh untuk melihat ekspresi Gyana melalui pantulan samar di kaca mobil yang gelap.

Gyana tidak langsung menjawab, gadis itu seperti memikirkan sesuatu. "Gue percaya atau enggak udah nggak guna lagi. Ingatan sialan itu masih akan ada di hidup gue dan ganggu hari-hari gue."

"Kamu nggak harus ngapus semua itu, tapi aku mau kamu kasih aku kesempatan untuk ngerubah cara pandang kamu ke aku."

Gyana mendengkus sinis. "Lo pikir superman bisa berubah?" Gadis itu masih enggan menatap wajah Dikta.

"Kasih aku kesempatan buat nyembuhin luka-luka kamu."

"Gue kan udah bilang—"

"Salah jika harus ngejauh dan menghilang dari hidup kamu," potong Dikta cepat saat yakin seperti apa susunan kalimat yang akan gadis itu lontarkan untuknya.

"Terus?" Kali ini Gyana menatap wajah Dikta dengan kilat marah yang selalu muncul setiap kali topik sensitife itu diungkit. "Gue harus deket-deket sama lo biar perlahan bisa lupain masa lalu?"

"Bukan lupain, tapi maafin masa lalu yang nyakitin itu," jawab Dikta cepat. "Kamu masih terjebak sama kebencian kamu karena kamu belum maafin aku."

Gyana diam, amarah tengah menggelegak di dadanya. Kenangan masa lalu di mana dirinya sedang dipermainkan karena sebuah kekurangan kembali memenuhi memori kepalanya.

"Kasih aku kesempatan buat ngobatin luka-luka itu. Aku bener-bener nyesel, Gy."

Gyana mengembus napas kasar, dan masih memilih diam. Membiarkan Dikta menunggu jawaban yang tidak akan pernah dirinya berikan. Dan saat mobil pemuda itu berhenti di depan rumahnya, Gyana berusaha untuk langsung keluar. Namun, sialnya pemuda di sampingnya malah menguncinya.

"Jangan kabur dulu, pembahasan kita belum selesai." Dikta harus meyakinkan gadis ini untuk mau memberinya kesempatan.

"Pembahasan lo kali, bukan kita. Gue nggak butuh semua itu."

Pradikta mengembus napas lirih. "Iya, aku yang butuh itu agar rasa bersalah yang ngehantui pikiranku setiap hari ini bisa berkurang."

Gyana memilih diam karena merasa kalimat itu tidak ada artinya untuknya.

"Dan juga, biar rasa sakit cewek yang aku sayang banget bisa berkurang, atau malah hilang."

Gyana tersentak mendengar pernyataan itu. Namun, gadis itu berusaha untuk tidak menunjukkannya.

"Aku sayang sama kamu, Gy, dari dulu. Dan setiap hari bertambah kadarnya."

***

IG - dunia.aya 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro