Bab 19. Degup tak biasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gya bantuin apa ini, Tan?" ujar Gyana saat melihat Septi sibuk menyiapkan bumbu untuk membakar ikan.

"Udah selesai kok, Sayang, ini tinggal dibakar aja." Septi mengoles ikan-ikan itu dengan kecap dan bumbu lainnya.

"Ya udah, Gya yang bakar aja." Gyana mengambil alih ikan di baskom yang kini Septi pegang.

"Memang bisa?" Gyana mengangguk dengan senyuman. "Ya udah kamu bawa ke Dikta sana." Septi mengedikkan dagu ke arah putranya yang sedang menyalakan alat untuk membakar ikan-ikan ini. Seketika Gyana mematung dan—tidak mungkin tiba-tiba menyerahkan kembali pada Tante Septi karena tadi dirinya yang menawarkan bantuan.

"Tante tinggal masuk, ya." Kalimat itu menyentak fokus Gyana. Gadis itu mengangguk, lalu menyiapkan nyali untuk mendekati Dikta. Jika tidak mengingat kesepakatan yang mereka lakukan tadi, Gyana tidak perlu bingung. Bersikap ketus dan galak ke Dikta bukanlah perkara sulit. Namun, saat ini yang harus dia lakukan adalah melupakan kebencian yang dimilikinya untuk pemuda itu. Walaupun sementara tentu saja sangat susah.

"Udah dibumbuin ikannya?" tanya Dikta dengan senyuman seperti biasa. Gyana memilih untuk mengangguk saja tanpa bersuara.

"Sini," ujar Dikta sembari mengambil alih baskom berisi ikan di tangan Gyana.

"Emang lo bisa?" Susah sekali mengontrol nada bicaranya untuk menjadi tidak ketus. Padahal Gyana sudah merasa mencoba sekuat tenaga.

Dikta malah tersenyum, mungkin sudah terbiasa dengan nada ketus yang gadis itu berikan. "Bisalah, apa yang Dikta nggak bisa?"

"Iya, si, apalagi mainin hati cewek, paling bisa," cibir gadis itu pelan. Dipikirnya Dikta tidak mendengar, tetapi sebenarnya pemuda itu mendengar hanya saja mencoba untuk tidak peduli. Malah Gyana tampak lucu jika sedang mengerutu seperti itu.

"Sini gue aja," ujar gadis itu yang tidak sabar melihat pergerakan Dikta saat membakar ikan di pemanggang listrik.

"Ya udah, kamu yang bakar, aku ngapain ya?" Dikta tampak berpikir, lalu berdiri. Dan tanpa mengatakan apa pun pemuda itu masuk ke vila. Tidak lama, Dikta keluar dengan kunci mobil di tangannya. Gyana yang sedang fokus pada ikan-ikannya sesekali mendongak, memerhatikan Dikta yang kini sedang membuka pintu bagasi mobil, lalu mengeluarkan sebuah gitar.

"Aku nyanyi aja deh buat kamu," ujar Dikta sembari duduk di bangku kosong tidak jauh dari tempat Gyana melakukan kegiatannya. "Kamu mau request lagu?" Pemuda itu melempar senyum menawannya. Sekuat tenaga Gyana menahan keinginan untuk membalas senyuman itu. Kesepakatan mereka tidak mengharuskanya untuk tersenyum bukan? Jadi Gyana tidak akan melakukannya.

"Gue nggak suka dengerin lagu." Tentu saja itu bohong. Jika mood menulisnya sedang hilang, Gyana biasanya menonton film, membaca buku, atau mendengarkan lagu romantis sampai mood-nya kembali.

Dikta yang tahu jika Gyana berbohong hanya tersenyum geli, lalu segera memetik gitarnya. Ada satu lagu yang dia tahu disukai gadis ini. Tidak perlu bingung dari mana dia tahu, karena apa pun yang disukai Gyana akan dia usahakan untuk tahu.

Waktu pertama kali

Kulihat dirimu hadir

Lirik lagu cinta luar biasa dari Andmesh Kamaleng mengalun merdu dari bibir Dikta yang diiringi oleh gitarnya. Gyana seketika mematung dan merasakan ada getaran aneh di dadanya. Salah, tidak seharusnya wajahnya memanas dan tangannya sedikit bergetar seperti ini. Rasanya Gyana ingin menghentikan Dikta karena efek suara merdu dan lagu cinta yang pemuda itu alunkan membuat jantungnya tidak bisa bekerja dengan baik.

Terimalah lagu ini, dari orang biasa

Gyana sudah tidak bisa berdiri dengan benar. Bahkan sejak tadi gadis itu terus menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sebagai tanda jika sedang gelisah. Dikta menyadari semua itu, perubahan aura dan tingkah laku yang kini Gyana tunjukkan. Pemuda itu semakin yakin jika sebenarnya hati gadis itu sudah mulai goyah dan tidak membencinya seperti dulu lagi. Meski baru sedikit, dia yakin sudah berhasil menyusup ke hati Gyana. Namun, gadis itu terlalu gengsi untuk mengakuinya. Dan tugasnya adalah meyakinkan gadis itu jika perasaannya tidak salah dan tidak perlu disembunyikan.

Gyana mengembus napas lega saat akhirnya Dikta menyelesaikan satu lagunya. Lirik itu mengalun dengan begitu sempurna. Tentu saja nilai itu diberikan oleh orang awam yang sama sekali tidak tahu nada seperti dirinya. Gyana segera meletakkan ikan yang sudah matang ke piring. Dan sedikit tersentak saat Dikta tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Efek romantis di lagu tadi masih memengaruhi perasaannya. Maka saat menyadari keberadaan Dikta gadis itu segera menjauh. Tidak peduli andai saja pemuda itu tersinggung. Yang jelas dia harus menyelamatkan detak jantungnya yang seperti siap lepas dari tempatnya.

Dikta yang sadar jika sikap Gyana tidak seperti biasa mengulum senyum. Gadis itu memang menjauhinya, tetapi wajah yang Gyana tunjukkan saat ini adalah sebentuk resah, tidak terlihat kebencian seperti biasa. Pemuda itu merasa lega karena semua berjalan sesuai rencana.

*

"Ah, kenapa kalah lagi!" seru Gyana jengkel karena di permainan kali ini dirinya kembali kalah. Semua yang ada di vila itu, kecuali Septi, sedang memainkan kartu remi. Hanya untuk bersenang-senang, dan yang kalah akan dicoret wajahnya menggunakan bedak bayi.

"Udah dibilang kamu nggak bisa main." Gunawan tertawa saat mengatakan itu. Sebenarnya bukan kekalahan putrinya yang kini membuatnya begitu bahagia. Namun, sikap Gyana yang tidak lagi menunjukkan permusuhan dengan Dikta yang membuatnya lega. Entah apa yang terjadi di balik semua kondisi kondusif ini.

"Udah, coret lagi, Dik!" seru Pram penuh semangat. Hal yang sejak tadi ditunggu-tunggu adalah ini. Semua orang memang sengaja membuat Gyana kalah agar pemandangan yang satu ini kembali terlihat. Seolah semua yang ada di sana sedang ingin memastikan jika mata mereka tidak bermasalah.

Gyana meneguk ludahnya kasar saat Dikta mulai tersenyum ke arahnya. Tangan pemuda itu mencolek bedak, dan siap menyasar wajahnya. Namun, bukan coretan kasar yang pemuda itu lakukan. Melainkan mengoleskan dengan penuh hati-hati, seolah bedak itu bisa melukai wajah Gyana. Jangan tanyakan perasaan gadis itu, jantungnya sudah kuwalahan untuk meredam degub yang terus menggila setiap kali Dikta menyentuh wajahnya dengan penuh perasaan.

"Ngolesnya penuh perasaan banget, si, Dik?" Septi terkekeh saat mengatakan itu. Membuat dua anak muda itu langsung salah tingkah, terutama Gyana.

"Udah, ah, males mainnya!" Gyana langsung bangkit saat merasakan wajahnya memanas.

"Loh, nyerah ini?" tanya Gunawan dengan senyuman geli. Namun, Gyana tidak mengindahkan, malah terus berjalan keluar. "Kamu kasih obat apa bisa jinak gitu, Dik?"

Dikta hanya tertawa lirih, lalu bangkit dari duduknya. "Dikta susul dulu, Om, takutnya kabur," ujar pemuda itu dengan tawa renyah.

"Apa ini tanda kalau rencana kita berhasil, Gun?" Pertanyaan Pram membuat pandangan Gunawan yang sejak tadi mengikuti langkah Dikta seketika beralih.

"Semoga saja," ujar ayah Gyana penuh harap.

"Kita main catur aja, yuk, Gun. Udah lama aku ndak ngalahin kamu."

"Enak aja ngalahin, kamu yang harus siap-siap kalah."

*

"Gy! Tunggu!" Pradikta berlari kecil, lalu menjajari langkah Gyana yang memang hanya berjalan santai sembari mengedar pandang pada malam gelap yang kini menyelimuti.

"Mau ke mana? Udah malem ini," tanya pemuda itu sembari melongok jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah menunjuk pukul sembilan.

"Masak jam segini udah mau tidur? Percuma liburan dong." Gyana menjawab sembari menoleh ke arah Dikta, tetapi merasa menyesal karena pemuda itu menunjukkan senyuman yang membuat jantungnya kembali berulah.

"Kayaknya deket sini ada kedai kopi kecil, kita ke sana aja," ujar Dikta yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Gyana. Gadis itu enggan bersuara atau pun sekedar menoleh ke arah samping karena tidak mau terjebak pada hal tolol. Mengagumi Dikta contohnya.

Keduanya berjalan sekitar lima menit dan menemukan satu kedai kopi yang terlihat lumayan ramai, tetapi masih menyisakan beberapa tempat duduk. Sepertinya pengunjung adalah orang-orang yang sedang berlibur seperti mereka.

Dikta meletakkan satu gelas cokelat panas ke hadapan Gyana, dan kopi hitam untuk dirinya sendiri.

"Memang bisa tidur kalau minum kopi?" tanya gadis itu saat melihat kopi hitam di cangkir Dikta.

Pemuda itu tersenyum sebelum menjawab, "Bisa, nggak ngaruh buat aku."

Gyana hanya mengangguk, lalu menyeruput cokelat panasnya. Tidak akan bertanya apa-apa lagi karena Dikta selalu memunculkan senyuman sebelum menjawab sesuatu. Dalam hati gadis itu bertanya-tanya, apakah pemuda ini selalu menunjukkan senyuman sok manis itu setiap kali mengobrol dengan orang lain? Jika ya, maka tidak heran saat banyak gadis yang menyukainya, bahkan berharap manjadi pacarnya. Gyana merasa kesal sendiri dengan pemikirannya.

Fokus Gyana yang tengah menikmati lagu dari pengeras suara teralih saat ponsel Dikta terus saja bergetar. Awalnya gadis itu tidak mau tahu, tetapi merasa kesal karena Dikta terus mendiamkan ponselnya. Andai benda itu tidak diletakkan di atas meja mungkin tidak akan menganggu.

"Angkat aja kenapa, si?" ujar Gyana sebal sembari mengintip layar ponsel Dikta yang menunjukkan nama Luna. "Itu cewek lo yang telpon."

Dikta malah menunjukkan senyum tipis, lalu mengangkat ponselnya. Gyana pikir pemuda itu akan mengangkat telepon dari Luna, tetapi malah mematikannya, dan mematikan ponselnya.

"Aku lagi males diganggu," ujar pemuda itu enteng membuat Gyana tentu saja melongo bingung.

"Kamu mau tahu alasan aku jadiin Luna pacar?" Seharusnya Gyana menggeleng, atau kabur saat ini juga. Bukan malah diam dan membuat Dikta mengartikan itu sebagai jawaban iya.

"Itu karena kamu," ujar Dikta dengan wajah datar. Gyana sudah pernah mendengar kalimat seperti ini, dan seharusnya dia muak mendengarkan kalimat tidak masuk akal itu lagi. Namun, kali ini gadis itu malah penasaran kenapa harus dia yang menjadi alasannya.

"Aku pengin kamu sadar, kalau sebenarnya kamu udah suka sama aku." Dikta tersenyum tipis, ada kepercayaan diri penuh yang kini pemuda itu sorotkan dari matanya. Dan saat itu, seharusnya Gyana menyangkal, bukan malah hanya diam saja seperti patung.

"Aku pengin buat kamu cemburu, dan sepertinya aku berhasil." Dikta tersenyum, dan kesadaran Gyana seolah kembali saat itu juga.

"Jadi kamu mainin Luna?" Gyana benar-benar kesal dengan kejujuran yang Dikta berikan.

Pemuda itu menggeleng santai. "Dia yang mau," jawabnya enteng sembari menyeruput kopi di cangkirnya.

Mendengar itu tentu saja membuat Gyana bingung. "Maksudnya?"

"Dia tahu kalau aku suka sama kamu," ujar Dikta lagi dengan nada santai. "Dan dia yang nawarin diri buat pacaran sama aku biar kamu cemburu."

Gyana tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun, yang dia yakini untuk saat ini adalah, dua manusia itu sungguh makluk gila yang seharusnya dijodohkan saja.

"Jadi yang waktu di gudang itu semua udah lo rencanain?" Dikta mengangguk santai, seolah semua rencana itu tidak salah.

"Tapi status pacaran kalian itu beneran?" Gyana ingin sekali menonjok wajah Dikta saat lagi-lagi pemuda itu mengangguk dengan wajah tanpa dosa.

"Tapi kita bisa putus kapan aja aku mau, itu perjanjiannya," ujar Dikta enteng.

Gyana tertawa sinis untuk jawaban itu. "Lo sadar nggak kalau kayak gitu lo sama aja lagi mainin hati Luna?"

"Kenapa aku harus mikirin Luna saat yang aku suka itu kamu?"

"Egois," bisik Gyana dengan wajah kesal.

"Kamu pikir kamu nggak egois?" Gyana diam, tidak mau melanjutkan obrolan yang hanya menyulut emosinya ini.

"Oke," ujar Dikta tiba-tiba. Pemuda itu tampak bangkit, menumpukan kedua telapak tangannya di atas meja, lalu merundukkan tubuhnya agar pandangan keduanya sejajar. "Aku bakalan lanjutin rencana awal," lanjutnya.

Gyana hanya mengerjab, aura yang kini Dikta tunjukkan begitu dingin. "Aku bakalan terus pacaran sama Luna sampai kamu bilang cukup."

Gyana sudah ingin memrotes, tetapi kembali diam saat Dikta melanjutkan kalimatnya yang belum selesai. "Dan aku harap jangan lama-lama, karena kedekatan yang terjalin setiap hari meski dilandasi oleh rencana konyol bisa berubah menjadi tulus kalau jangka waktunya terlalu lama."

Setelah mengatakan itu Dikta pergi begitu saja. Meninggalkan Gyana yang merasa jengkel karena sikap yang Dikta tunjukkan seperti tengah mengancamnya. Siapa yang peduli apakah pemuda itu akan berpacaran dengan siapa. Malah lebih bagus karena kini hidupnya di kampus akan berjalan indah tanpa gangguan. Tentu saja Gyana mengatakan itu dalam hati untuk menipu diri sendiri, ada rasa kecewa yang sedang dia coba redam di dalam sana. 

***

Cerita ini sudah tamat di Karyakarsa. Jadi kalau mau baca lebih cepat silakan meluncur ke sana, ya.

Akun KK - ayaarini236

Jangan lupa juga mampir ke novel terbaru aku. Romansa dosen dan mahasiswanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro