IGNORE - Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti apa masa kecil yang berkesan itu? Tolong ceritakan, mungkin aku melupakan sesuatu. _Kemal Satyangkara_

※※※

"Lepasin, Nek. Kei mau ketemu Mama," Kei meronta dari pelukan sang nenek yang berusaha menahannya masuk ke dalam sebuah kamar perawatan di rumah sakit tempat mamanya dirawat.

Sayup-sayup Kei masih bisa mendengar jeritan sang mama. Hatinya teriris mendengar setiap jeritan, ada kepiluan yang bisa Kei kecil tangkap dari jeritan itu.

"Iya, Kei pasti ketemu sama Mama, tapi nggak sekarang."

"Mama kenapa, Nek? Kei mau lihat, mau jaga Mama." Air mata Kei mulai menitik satu per satu. Suara jeritan mama tak kunjung mereda membuat kecemasan Kei terbit. 

"Di dalam sudah ada dokter. Percaya sama nenek, Mama akan baik-baik aja."

Kei menatap mata neneknya, mencari kesungguhan di sana.

Hari itu, Kei amat penasaran ingin masuk ke dalam kamar perawatan mamanya. Setiap kali datang ke rumah sakit, nenek tidak pernah membiarkan dia bertemu langsung dengan perempuan itu. Selalu hanya melihat dari balik jendela kamar perawatan. Selalu seperti itu. Kei tak merasa puas.

Ketika dirinya terlewat dari pengawasan sang nenek, diam-diam Kei masuk ke dalam kamar perawatan mamanya. Kei tidak bisa melukiskan bagaimana bahagianya dia saat bisa melihat perempuan yang telah melahirkannya itu dari dekat. Dia hampir saja memeluk perempuan yang sedang duduk diujung tempat tidur, tapi sebelum semua itu terjadi, tiba-tiba mamanya menjerit ketakutan saat menyadari keberadaannya.

Tidak hanya menjerit mamanya juga melempari Kei dengan benda apa pun yang ada di sana.

Kei sama sekali tidak merasa takut melihat ibunya mengamuk, yang dirasakannya justru kecewa, karena lagi-lagi kehadirannya seperti tak diharapkan.

Kei cuma penasaran seperti apa rasanya dipeluk oleh Mama. Kei membatin, sambil menatap mamanya dengan sedih.

Setelah itu beberapa suster dan neneknya muncul, nenek langsung membawanya keluar dari sana. Kei meronta, tidak ingin meninggalkan mama. Tapi meskipun sudah sekuat tenaga melawan, neneknya berhasil membawanya keluar dari ruangan itu.

Kei masih ingat, saat dia berusia lima tahun, mama juga bereaksi yang sama ketika melihatnya. Sampai dua tahun berlalu, Kei masih tidak mengerti, kenapa setiap melihatnya perempuan itu menjadi histeris dan ketakutan?

Apakah Mama membencinya?

Pelukan nenek melonggar seiring dengan tubuhnya yang berangsur-angsur melemah. Nenek mencium kepala Kei dengan lembut.

"Nek, kenapa Mama takut lihat Kei?" tanya Kei sesaat setelah mengusap matanya yang sembab.

Kei menatap neneknya lama, ketika perempuan yang menjadi tempatnya bersandar saat itu tak kunjung menjawab.

Gelda, nenek Kei tersenyum.

"Mama nggak takut sama Kei," perempuan itu menjawab lembut. "Kondisi Mama kan lagi nggak sehat. Jadi kalo terkejut, Mama bisa tiba-tiba histeris."

"Kapan Mama sembuh, Nek? Mama udah terlalu lama sakitnya."

"Kalo Kei jadi anak yang pintar dan bisa membanggakan nenek dan Mama, Mama pasti akan sembuh."

Kei menatap neneknya, lama. Kemudian mulutnya kembali bersuara.

"Nek, Kei pengin tahu gimana rasanya dipeluk sama Mama?"

Lagi-lagi nenek membutuhkan waktu yang lama untuk menjawab pertanyaannya. Nenek kembali tersenyum, sebelum akhirnya bicara.

"Ini, seperti ini rasanya," nenek mengulurkan lengan, membenamkan tubuh kecil Kei di dalam pelukannya.

Kei mengangguk dalam diam. Meskipun nenek menyayanginya, entah kenapa Kei yakin, pelukan seorang ibu memiliki sentuhan yang berbeda, kehangatannya tidaklah sama.

Setelah hari itu banyak pertanyaan yang bermunculan dibenak. Tentang sakit yang diderita mamanya. Dan kenapa perempuan itu selalu histeris setiap melihatnya? Juga kapan ibunya akan sembuh? Membuatkannya sarapan dan mengantarkannya ke sekolah? Dan mengajaknya bermain seperti ibu teman-temannya yang lain.

Setiap pertanyaan-pertanyaan itu terlontar, nenek memang selalu menjawab. Tapi tidak tahu apa yang terjadi padanya, Kei merasa jawaban itu bukanlah kejujuran. Ada yang sedang ditutup-tutupi.

Seiring waktu, Kei pun berhenti mempertanyakan semua hal yang menganggu pikirannya itu. Lambat laun, pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya. Menjadikan dia tumbuh dengan cara pikir lebih dewasa dari usianya.

Ketika segala pertanyaan itu mendapat titik terang, hanya satu yang Kei tanamkan dalam dirinya. Dia harus menjadi anak yang membanggakan bagi keluarganya, terutama untuk mamanya.

Prestasi yang dia dapatkan dari mempelajari beladiri karate sejak usia tujuh tahun, menjadi titik balik dimana dia mulai meniti harapan. Agar suatu hari nanti mama bisa melihat ke arahnya. Memeluknya dengan kebanggaan yang membuncah, hingga tak menyisakan lagi celah untuk kehancuran dan rasa sakit di masa lalu.

"Tapi Cleo mau yang ini," rengekan seorang gadis kecil menarik pikiran Kei dari kenangan masa kecilnya untuk kembali ke dunia nyata.

Kei memperhatikan gadis kecil berkucir dua itu masih dengan sisa-sisa masa lalu yang berusaha dia singkirkan.

Setiap kali melihat Cleo, adik perempuan Wira, tanpa bisa dihindari Kei selalu tertarik ke masa lalu. Tidak banyak kenangan berkesan di masa kecilnya, tapi Kei cukup bahagia untuk itu.

Kei melihat Wira menghampiri adiknya. "Kita ke sini bukan cari mainan buat Cleo. Ingat kan kita ke sini buat apa?"

Cleo diam beberapa saat.

"Cari hadiah ulang tahun buat Susan." Katanya kemudian.

"Pinter." Wira tersenyum sambil mengusap puncak kepala gadis kecil itu.

"Tapi, tapi, Cleo mau beli mainan juga, Kak."

"Buat Cleo besok-besok lagi ya, kan kemarin sama Mama baru beli mainan juga."

Wajah antusias Cleo menyurut, wajahnya berubah keruh dan bibirnya cemberut, membuat wajah imutnya semakin terlihat menggemaskan. Kei ingin sekali mencubit pipi chubby Cleo, tapi gadis kecil itu sangat aktif, tidak bisa berdiam meski dua detik dalam gendongan. Sehingga sangat sulit untuk sekadar menyalurkan kegemasannya.

"Ayo, kita cari hadiah buat Susan." ajak Wira memasuki rak mainan semakin dalam.

Cleo menurut tapi wajahnya masih cemberut.

"Susan sukanya apa?" tanya Wira.

Cleo tak menjawab. Wira menurunkan pandangan memperhatikan adiknya yang tiba-tiba merajuk dan melakukan aksi mogok bicara.

Wira terkekeh, seolah sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.

"Oke, kalo Cleo mau beli mainan, tapi Cleo nggak jadi datang ke ulang tahunnya Susan. Cleo nggak dapat balon sama jajan terus nggak bisa makan kue. Nggak apa-apa?"

Wajah cemberut Cleo segera menghilang. Gadis kecil itu seolah sedang mempertimbangkan ucapan kakaknya.

"Nggak mau! Cleo mau ke ulang tahun Susan, mau nyanyi, mau makan kue, mau balon, mau jajan."

Wira mengelus rambut adiknya. "Oke kalo gitu ayo cari kado buat Susan.

Kali ini Cleo menurut tapi tidak antusias seperti saat baru tiba di toko mainan. Gadis kecil itu menyebutkan beberapa hal yang disukai oleh Susan. Pilihan mereka kemudian jatuh pada seperangkat mainan masak memasak.

Cleo memeluk mainan itu seakan itu adalah miliknya. Gadis kecil itu memilih kertas kado bergambar sofia untuk membungkus hadiah. Saat akan bergerak ke kasir, Cleo memeluk mainan itu semakin erat. Tidak rela jika mainan itu diberikan pada orang lain.

"Cleo, hadiahnya dibungkus dulu, sini," Wira meminta dengan tangan yang menengadah.

Cleo menggeleng. "Cleo mau mainan ini," katanya dengan suara pelan.

Wira mengulurkan kedua tangannya pada Cleo, lalu mengangkat gadis kecil itu untuk digendong.

"Kalo mau pergi ke ulang tahun Susan, Cleo harus bawa hadiah, kalo nggak nanti Susan bisa sedih. Cleo mau bikin Susan sedih?"

Cleo tidak menjawab. Tapi selang lima detik kemudian Cleo menggeleng.

"Kalo gitu mainan ini buat Susan, ya?"

Lalu dengan hati berat Cleo melepaskan mainan itu dari pelukannya. Memberikan benda itu pada kakaknya.

"Anak pinter," Wira mengusap kepala Cleo.

Pemandangan itu selalu bisa membuat hati Kei menghangat. Kei memang kerap melihat interaksi antara Wira dan Cleo.

Perhatian Kei kembali pada Cleo. Gadis kecil itu memeluk leher Wira kuat-kuat, wajahnya yang keruh ia benamkan di leher kakaknya. Meski begitu Kei masih bisa melihat wajah Cleo seperti ingin menangis.

Kei menarik napas sesaat lalu berjalan menghampiri Wira.

"Hei, cantik," sapanya sambil menyentuh kepala Cleo lembut.

Cleo mengangkat wajahnya, menatap Kei dengan ekspresi datar. Bulir air mata tampak menggenang di pelupuk matanya.

Kei tersenyum. "Cleo mau beli apa?"

Cleo menatap Kei lama.

"Pilih aja, Kak Kei yang belikan."

Wajah gadis kecil itu seketika berubah. Senyumnya yang sempat hilang muncul kembali. Dia menepuk-nepuk pundak Wira minta diturunkan. Begitu kakinya menyentuh ubin toko, gadis kecil itu langsung melesat ke rak mainan.

"Asyik!" soraknya sambil berlari.

"Biar aja," kata Kei saat Wira menoleh padanya dengan wajah memprotes. "Ini dari gue. Anggap aja hadiah."

Wira lalu menghela pendek. Kedua cowok itu kemudian menyusul keberadaan Cleo.

"Cleo mau mainan apa?" Kei berdiri di sebelah Cleo.

"Mmmm... apa ya? Bentar-bentar, cari dulu." Mata gadis itu liar mencari-cari mainan yang menarik hatinya. "Yang ini?" Cleo menunjuk set pancingan.

"Itu kan Cleo udah punya di rumah." Kata Wira.

Cleo mencari lagi. "Yang ini."

"Itu juga udah."

Cleo mulai terlihat bingung.

"Yang ini?" Kali ini telunjuk mungilnya menunjuk lego.

Wira mengangguk. Sementara Cleo mengarahkan tatapannya kepada Kei, seperti meminta persetujuan. Kei mengangguk.

"Cleo bilang apa ke Kak Kei?"

Cleo tersenyum lebar. "Thank you, Kak Kei."

Kei berjongkok di depan Cleo, hingga tubuh mereka sejajar. "Your'r welcome," Kei menyahut kemudian mengangsurkan tangan untuk adu tos.

"Kissnya mana?" Kei menunjuk pipinya.

Cleo tertawa geli, lalu mengecup kedua pipi Kei bersemangat sampai mengeluarlan bunyi yang nyaring, membuat mulut Kei tidak bisa tidak mengeluarkan kekehan.

Setelah membayar mereka segera keluar dari toko.

"Kak Kei, gendong," rengek Cleo menarik ujung kemeja Kei

"Boleh," Kei membungkuk sedikit untuk mrngangkat tubuh Cleo. Bukannya meggendong Cleo dilengan, Kei justru mengangkat Cleo melewati bahu hingga gadis kecil itu duduk di atas pundaknya. Cleo berseru kegirangan karena merasa posisinya lebih tinggi.

"Cleo mau duduk di depan sama Kak Kei, ya," ucap Cleo saat mereka sampai di sebelah motor Kei.

"Oke." Kei mengangguk, lalu mendudukkan Cleo dibagian jok terdepan.

"Oke." Cleo mengacungkan dua ibu jarinya.

Setelah mengantarkan Wira pulang, Kei langsung melajukan motornya menuju SMA Pancasila untuk melakukan rutinitas yang sudah berlangsung dua bulan lebih ini.

※※※

Latihan karate sudah hampir selesai. Setelah latihan utama selesai, mereka melakukan pendinginan sebelum menutup latihan hari ini. Lima belas menit kemudian, Sensei Kahar menutup latihan.

"Osh!" Para junior karateka memberikan salam penghormatan mereka pada pelatih, sebelum latihan dibubarkan.

Kei pergi ke pinggir aula, dekat tribun penonton, tempat tas ranselnya berada. Dia meneguk minuman yang dibawanya hingga tandas. Entah kenapa Kei merasa kesal hari ini, beberapa kali Sensei Kahar menegurnya karena menganggap Kei kurang fokus.

Menurut Sensei Kahar, Kei melewatkan beberapa gerakan yang baru diajarkan tanpa perhatian detail, hingga membuat beberapa juniornya melakukan kesalahan yang harus Sensei Kahar koreksi sendiri. Hari ini Sensei Andi tidak mengajar karena ada keperluan, dan itu semakin menambah kentara kekeliruan yang dia lakukan.

Kei memijit pelipisnya, membuang perasaan tidak nyaman yang sejak tadi dia rasakan. Sebelum melepaskan karate gi-nya, Kei menyempatkan diri menatap pintu aula, yang dia lakukan entah sudah keberapa kali sejak latihan karate dimulai.

"Gue nggak lihat Anya. Tuh cewek kemana Kei?" tanya Romy.

Kei mengangkat bahu tak acuh.

Romy menatap tribun yang biasanya menjadi lokasi Anya menunggu Kei selama latihan.

"Sakit jangan-jangan," cowok itu menebak-nebak.

Kei melepaskan sabuk hitam di pinggangnya. Tak terlalu menanggapi ucapan Romy. Juga tidak berusaha menebak-nebak seperti yang dilakukan oleh Romy. Tapi tanpa bisa dihindari, matanya menatap ke arah tribun penonton.

Ingatan Kei refleks tertuju pada ucapan gadis bebal itu di rumahnya kemarin, setelah jendela baru di rumahnya terpasang.

Saat itu Kei masih tidak percaya gadis bebal itu sungguh-sungguh dengan ucapannya. Meskipun sempat merasa lega, pada akhirnya Kei yakin, gadis bebal itu tetap akan muncul hari ini. Di luar dugaan, gadis itu benar-benar tidak menunjukkan dirinya di tempat ini. 

"Dia nggak pernah absen nungguin lo latihan selama dua bulan ini, rasanya aneh aja kalo tiba-tiba dia nggak datang." Romy bicara lagi.

Kei ingat, dia belum menceritakan perihal kaca rumahnya yang dipecahkan oleh Anya. Dan sepertinya Kei tidak berniat untuk memberitahukan kejadian itu pada Romy.

"Lo nggak penasaran kenapa dia nggak nongol hari ini?" Romy mulai mencecar karena Kei masih diam saja.

"Silahkan cari tahu sendiri, kalo lo penasaran."

Kei melepaskan baju latihan, melipat dan memasukkan ke dalam tas.

"Kalo gitu, sini gue minta nomor hanphonenya."

"Jangan libatkan gue kalo lo mau berurusan sama cewek itu."

Tawa Romy menyembur.

"Kenapa? Lo cemburu?" suara tawanya berkurang berganti seringaian yang mulai menganggu dimata Kei.

"Nanti dia akan mikir, gue nggak mau dia berhenti datang ke sini."

Romy mengangkat alis, lalu tertawa. "Sejak kapan lo peduli? Lagipula memang maunya lo begitu, kan?"

Kening Kei berkerut.

"Lo yakin nggak ada masalah kalo dia nggak nungguin lo latihan lagi?"

Kei berdecak, meladeni Romy sama saja membuang waktu. Cowok itu tidak akan mengerti apa maksud dari ucapannya.

Romy tergelak lagi. "Gue nggak buta, Kei. Lo kira gue nggak sadar selama latihan lo selalu ngelirik ke pintu masuk aula."

Kerutan di kening Kei langsung lenyap. Dia menatap Romy tajam.

"Diam-diam lo nungguin, kan?"

Kei meneleng frustasi. Romy, brengsek! Apa cowok itu benar-benar tidak bisa mencerna ucapannya? 

Melihat kekesalan Kei, tawa Romy makin kencang.

"Amarah lo menjelaskan semuanya," cowok itu bergumam dengan mata menyeringai.

Sorot tajam, Kei lemparkan pada teman seperguruannya itu yang ia kenal sejak sepuluh tahun lalu.

"Lo marah karena cewek itu nggak nongol atau karena perkiraan gue yang bener, hm?"

Kei menarik napas panjang, meraih tasnya, menenteng benda itu ke bahu kemudian berlalu.

"Berhenti membicarakan hal nggak penting."

"Kei, Kei. Lucu banget lo. Tuh cewek datang lo nggak konsen. Trus sekarang tuh cewek nggak nongol lo makin nggak bisa fokus."

Lebih baik dia segera pergi, sebelum Romy membuat asumsi aneh yang makin tidak masuk akal.

Kei menghampiri Sensei Kahar yang sudah bersiap-siap untuk pulang.

"Sensei, bisa gue izin untuk jumat ini? Udah dua bulan gue nggak ke Bandung." Kei bertanya begitu berada di sebelah laki-laki itu.

Sensei Kahar mengalihkan perhatiannya pada Kei. Sensei Kahar menimbang sesaat.

"Oke." Jawab Sensei Kahar kemudian. "Semoga aja Andi nggak ada keperluan lagi."

Kei menarik napasnya sesaat. Belum juga pergi ke rumah neneknya, Kei sudah merasa suasana hatinya berubah lebih baik sekarang. Sesosok wajah memenuhi langkahnya saat meninggalkan aula SMA Pancasila. 

Tunggu Kei, Ma..

※※※

salam dilse
kakahy
:)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro