Sabahat Terbaik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terlihat seorang wanita berjalan memasuki area pondok pesantren milik Gus Wahyu. Beberapa santri menunduk ketika wanita itu lewat didepannya. Wanita itu berjalan menuju rumah Gus Wahyu. Ia menghela napas dan membuangnya perlahan. Ia harus mengembangkan senyum supaya tak ada yang curiga padanya. Tangannya terangkat mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum." Wanita itu mengucapkan salam di sela ia mengetuk pintu.

Tak ada jawaban.

Ia kembali mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," sahut seseorang dari dalam.

Wanita itu semakin mengeratkan tali tas yang ia pegang.

Pintu pun terbuka.

"Safa." Gus Wahyu menatap Safa bingung.

Safa tersenyum, lalu meraih tangan Gus Wahyu dan mencium punggung tangannya.

"Nggak kabari Abi kalau mau pulang?" Gus Wahyu melebarkan pintu agar putrinya masuk.

Safa pun masuk. Ia hanya diam tak membalas ucapan Gus Wahyu.

"Kamu cuti?" tanya Gus Wahyu.

Safa meletakkan tasnya di sisi sofa dan hanya anggukan jawaban dari pertanyaan Gus Wahyu.

"Sudah makan?"

"Sudah, Bi." Safa pun duduk. "Jodha sekarang di pondok putri?" tanya Safa.

"Iya. Abi kasihan sama Malikha. Dia sepertinya betah di sini." Gus Wahyu tersenyum tipis pada putrinya.

"Umi di sana?"

"Iya."

"Kalau begitu, Safa ke pondok putri yah, Bi?"

"Nggak istirahat dulu?"

"Nanti saja." Salwa beranjak dari duduknya. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Safa pun keluar dari rumah untuk menuju pondok putri. Ia kembali menguatkan hatinya agar tetap tenang dan tersenyum.

"Assalamulalaikum, Kak Safa?" sapa seorang santriwati pada Safa ketika ia sudah memasuki area pondok santriwati.

"Wa'alaikumussalam," sahut Safa dengan senyum ramah. Ia masih melanjutkan langkahnya menuju dapur pondok.

Beberapa santriwati menyapanya di sepanjang jalan melewati lorong pondok. Ia menghentikan langkahnya ketika tiba di depan pintu ruangan yang ia tuju. Ia kembali menghirup napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Setelah hatinya tenang, ia pun masuk ke dalam disertai salam, "Assalamu'alaikum." Safa mengembangkan senyum.

"Wa'alaikumussalam." Jawaban salam terdengar kompak dari dalam. Semua mata pun tertuju pada Safa.

"Safa," gumam Umi Qomariyah tak percaya.

Safa tersenyum.

Umi pun menghampiri putri angkatnya yang ia rindukan. "Kenapa mau pulang nggak bilang-bilang?" tanya Umi bingung.

Safa meraih tangan uminya dan mencium punggung tangannya. "Kejutan, Mi," katanya setelah melepas tangan uminya.

"Cuti?"

Safa mengangguk.

"Sudah makan?"

Safa kembali mengangguk. Ia kemudian mengedarkan pandangannya. "Mana Jodha?" tanya Safa ketika tak mendapati Malikha di dapur.

"Tadi izin buat shalat dhuha."

"Safa ke kamar santri dulu yah?" pamitnya.

Umi hanya mengangguk.

Safa pun berlalu dari dapur untuk menuju kamar santri. Ia pun menguatkan dirinya agar tersenyum di depan Malikha. Hampir satu bulan ia tak bertatap wajah dengan Malikha. Ia rindu canda tawa dengan Malikha ketika di kampus, di kantin, dan ketika Malikha berkunjung ke kost-annya.

Safa memasuki kamar santriwati yang terbuka sambil mengucapkan salam, "Ass ... salamu'alaikum," ucapannya melemah karena mendapati Malikha sedang berdoa.

Safa pun masuk dengan langkah pelan. Ia kemudia duduk tak jauh dari Malikha, menanti sahabatnya itu selesai shalat.

Mata Safa berkaca ketika mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Ia tak menyangka jika harus memilih pilihan berat. Tapi ia yakin, bahwa semua ini ujian dari Allah. Ia yakin, jika Allah akan memberi jalan terbaik untuknya.

Safa mengusap air mata yang hampir jatu ke pipinya ketika mendapati Malikha telah selesai. "Apa kabar, Jo?" sapa Safa.

Malikha langsung menoleh ketika mengenali suara yang menyapanya. Ia kira santriwati yang masuk ke dalam kamar, jadi ia tak fokus pada sekitar.

"Safa." Malikha menatap Safa tak percaya.

"Iya, ini aku." Safa mendekati Malikha.

Malikha tersenyum bahagia. Ia segera memeluk Safa. "Kenapa nggak bilang kalau mau pulang?" dengus Malikha, melepas pelukan.

"Kejutan." Safa tersenyum renyah pada sahabatnya itu.

"Ada acara apa kamu pulang? Bukannya bulan depan ujian?" Malikha menatap Safa bingung.

Safa duduk di tepi kasur. "Pingin pulang saja. Kangen Umi, Abi, Sofi, dan Kak Akbar." Safa masih tersenyum pada Malikha.

"Kirain kangen aku," ketus Malikha.

"Eum ... kangen nggak yah?" goda Safa.

"Nggak kangen juga nggak apa-apa." Malikha cemberut.

"Kangen, Jo. Buktinya setelah menemui Abi sama Umi, aku langsung nemuin kamu."

Wajah Malikha berubah cerah.

"Bagaimana perkembanganmu di sini? Sudah hafal ayat apa saja? An-Naba'? An-Nazi'at? Atau 'Abasa?"

Malikha menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Baru sampai Al-'Āla."

"Alhamdulillah. Semangat terus, Jo. Perkembanganmu semakin meningkat." Safa memuji.

"Alhamdulillah." Malikha tersenyum. "Aku masih ada tugas di dapur. Gimana kalau kita ngobrol di sana saja?" Saran Malikha.

"Iya." Safa pun mengangguk.

Mereka keluar dari kamar untuk menuju dapur.

"Bagaimana kabar orang tuamu, Jo?" tanya Safa di sela perjalanan mereka menuju dapur.

"Nggak tau, Fa. Aku nggak pernah hubungi mereka. Hp aku saja mati sejak aku di sini." Malikha menghentikan langkahnya. "Kamu jangan bilang sama siapa-siapa yah, tentang pekerjaan Papa aku. Mereka hanya tau aku mualaf biasa." Mohon Malikha.

"Insya Allah." Safa tersenyum. Ia menangkap sosok seseorang yang sedang berjalan tak jauh dari posisinya berdiri sekarang. "Kak Akbar!" seru Safa.

Laki-laki itu menoleh ketika namanya di seru oleh suara wanita yang tak asing di telinganya. Akbar membalikkan tubuh. "Safa," gumamnya masih bisa di dengar. Akbar pun menghampiri Safa dan Malikha.

Safa tersenyum menatap Akbar yang sedang berjalan ke arahnya.

"Kamu pulang kapan? Kenapa nggak kasih kabar?" tanya Akbar ketika tiba di depan Safa.

Safa meraih tangan Akbar dan mencium punggung tangannya.

Malikha merasa bingung dengan Safa. Bukankah Safa adik angkatnya Akbar, lalu kenapa Safa mencium tangan Akbar? Malikha bertanya dalam hati.

"Safa pulang sekitar satu jam yang lalu. Safa ingin kasih kejutan sama Kakak, Sofi, Umi, dan Abi." Safa tersenyum menatap Akbar. "Oh iya. Kakak masih ingat sama wanita yang waktu itu Safa ceritain?" lanjutnya.

Akbar mengangguk. Ia tahu wanita yang di bicarakan Safa. Wanita itu adalah Malikha. Gus Wahyu dan Sofi yang bercerita padanya.

Safa tersenyum. "Jo, ini loh kakakku yang pernah aku ceritain ke kamu. Kamu masih ingat nggak?" Safa menyenggol lengan Malikha.

Malikha merasa risih karena ia paham dengan obrolan Safa dan Akbar.

"Fa, aku pamit ke dapur yah?" bisik Malikha pada Safa mengalihkan pembicaraan.

"Tunggu sebentar lagi," balas Safa dengan hal yang sama.

Malikha pun tak bisa menolak. Ia tetap berdiri di samping Safa. Kejadian tempo hari pun kembali teringat dalam pikirannya. Malikha hanya menunduk karena rasa malu masih terasa ketika mengingat hal itu.

"Ya sudah, Kakak mau lanjut ngajar di pondok putra. Nanti kita lanjutkan obrolannya di rumah." Akbar mengakhiri obrolan bersama Safa.

Safa mengangguk.

"Assalamu'alaikum." Akbar berlalu dari hadapan Safa dan Malikha.

"Wa'alaikumussalam." Safa menatap Akbar yang berjalan meninggalkan mereka.

Setelah kepergian Akbar, Safa dan Malikha berjalan menuju dapur.

"Serius, Jo, kamu nggak naksir kakakku?" Safa tersenyum menggoda pada Malikha.

"Fa, aku mau nanya." Malikha mengabaikan pertanyaan Safa. Hatinya masih bertanya-tanya mengenai jabatan tangan Safa dan Akbar.

"Sejak kapan aku melarang orang bertanya?" Safa balik bertanya.

"Bukankah dalam Islam tak boleh berjabat tangan dengan yang bukan mahrom, termasuk anak angkat?" tanya Malikha.

Safa tersenyum. "Aku memang anak angkat, tapi aku disusui Umi. Aku dibuang orang tuaku ketika aku masih bayi. Orang tuaku membuangku di sini. Saat itu Ummi sedang hamil Sofi. Jadi aku sempat minum susu ASI Umi. Itu alasannya kenapa aku boleh bersentuhan dengan Abi atau Kak Akbar. Kami saudara sepersusuan. Jadi nggak masalah kalau Abi atau Kak Akbar bersentuhan denganku."

"Maaf yah, Fa." Malikha terdengar sedih.

"Nggak apa-apa."

Malikha dan Safa pun tiba di dapur. Mereka mengucapkan salam ketika memasuki dapur.

Jawaban serempak pun terdengar.

"Maaf Mi, tadi Safa ajak Malikha ngobrol dulu, jadi terlambat datang ke sini." Safa meminta maaf pada uminya.

"Iya, Umi ngerti. Semuanya sudah hampir matang. Safa sama Malikha siapkan tempat buat sayur yang sudah matang," perintah Umi.

Safa dan Malikha pun menurut. Mereka mengerjakan perintah dari Umi diselingi obrolan ringan mengenai kampus tempat mereka belajar.

Ada masalah yang Safa sembunyikan dari keluarga dan Malikha mengenai kepulangannya ke Bandung. Safa belum bisa menceritakan masalahnya sekarang karena ia belum siap. Jika waktunya tiba, ia pasti akan menceritakan masalahnya pada orang-orang yang ia cintai. Untuk saat ini, biarlah ia menutupi masalahnya sendiri sampai kondisinya memungkinkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro