Ujian Datang untuk Menguatkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Heningnya malam dan udara yang dingin membuat orang lelap tertidur di balik gelungan selimut. Keadaan itu tak meruntuhkan semangat jiwa muda anak-anak santri. Di tengah malam mereka justru semangat beribadah mendekatkan diri pada Allah. Mereka gunakan sebagian malam untuk berta'aluq pada Allah. Bersujud, berdoa, dan menangis di tengah malam untuk menggapai ridho Allah. Adakah manusia yang lebih beruntung dari mereka? Di saat nyamannya untuk tidur malam, ada sebagian manusia yang taat dan menjadikan malam itu spesial.

"Assolatu khoirum minan naum!" Terdengar seruan itu selama dua kali.

Beberapa santri mulai terbangun.

"Hay 'alash sholah!" Kembali seruan kalimat itu dua kali agar santri yang masih tidur terbangun.

Sebagian santri yang masih tidur pun terbangun, menyisakan beberapa santri yang belum bangun.

"Ini, Gus." Santri memberikan segayung air pada Gus Akbar.

Gus Akbar pun menerima gayung itu dan menhampiri santri yang sedang pulas tertidur. Gus Akbar menyipratkan air ke muka santriwati itu sambil mengucapkan, "A'udzubillahiminassyaitonnirrojim."

Santri itu pun terbangun sambil mengucapkan istigfar. Hal seperti itu yang selalu diajarkan oleh ustadz-ustadz yang ada di pondok. Jika santri masih malas bangun tengah malam, maka mereka akan dicipratkan air agar mengusir kantuk.

Setelah membangunkan santri selesai, Gus Akbar pun menunaikan shalat tahajjud bersama santri di masjid. Semua santri pondok wajib menunaikan shalat tahajjud selama di pondok itu. Itulah peraturan yang diberikan oleh Gus Wahyu pada santri-santri pondok. Jika amalan sunah saja sudah giat, tentu amalan wajib akan diutamakan.

Setelah shalat tahajjud selesai, seluruh santri fokus untuk melanjutkan amalan selanjutnya.

Terdengar pecahan kaca dari arah kelas santri. Konsentrasi Gus Akbar dan para santri teralih. Gus Akbar beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju teras masjid untuk memastikan arah sumber suara. Ia melebarkan mata ketika melihat percikan api di dalam kelas belajar santri putra.

"Gus, kebakaran!!!" teriak salah satu santri.

"Semuanya ambil air!!!" teriak Gus Akbar. Ia berlari menuju saluran air, lalu menarik selang menuju kelas yang terbakar. Akbar pun mendobrak pintu kelas agar memudahkan akses pemadaman api sebelum apinya membesar.

Semua santri kalang kabut mencari sumber air.

***

"KEBAKARAN!!! KEBAKARAN!!!"

Semua santriwati yang sedang melakukan shalat tahajjud pun mendengar teriakkan itu. Mereka beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari aula.

"Untuk santriwati harap tenang! Kebakaran terjadi hanya di kelas belajar santri putra. Di mohon untuk semua santriwati agar berdoa, semoga semuanya baik-baik saja." Terdengar pemberitahuan dari arah speaker.

Malikha terlihat cemas. Bait-bait doa ia rapalkan dalam hati agar semuanya baik-baik saja.

Terlihat Safa dan Sofi mendekati kerumunan santriwati yang terlihat cemas. Malikha menatap kehadiran Safa dan Sofi.

"Apa semuanya baik-baik saja, Fa?" tanya Malikha pada Safa.

"Apinya sedang dipadamkan sama Kak Akbar bersama santri putra. Insya Allah, semuanya akan baik-baik saja." Safa menenangkan Malikha dan santriwati lain.

Seluruh santriwati pun merasa lega dengan kabar berita yang diberikan Safa.

"Lebih baik kita masuk ke dalam dan sholat hajat, semoga Allah melindungi kita semua." Safa menyarankan.

Semua santriwati pun masuk ke dalam aula dan menunaikan shalat hajat bersama.

Allahumma laa ya'ti bil hasanaati illaa anta walaa yadzhabu bis sayyi-aati illaa anta walaa haula walaa quwwata illaa billah.

***

Peluh terlihat bercucuran di wajah Akbar. Perjuangannya bersama santri selama hampir dua jam akhirnya selesai. Pakaian putihnya berubah menjadi penuh noda dan basah. Akbar pun keluar dari dalam ruangan yang penuh asap lalu mendaratkan tubuhnya di atas tanah karena rasa lelah tak bisa ia pungkiri. Ia pun berusaha menghirup napas sebanyak-banyanya karena dadanya terasa sesak setelah bergelut dengan asap di dalam.

"Kamu baik-baik saja, Bar?" tanya Gus Wahyu pada putranya yang terlihat kelelahan.

Akbar hanya mengangguk. Ia masih berusaha menormalkan pernapasannya.

Gus Wahyu menatap kaki putranya yang berdarah. "Lebih baik kamu pulang ke rumah. Bersihkan tubuh dan lukamu. Duapuluh menit lagi adzan subuh." Perintah sang ayah.

Akbar pun memeriksa tubuhnya. Rasa perih ia rasakan di bagian kakinya. Ia pun beranjak dari tempat duduknya. Akbar menatap bangunan kelas yang terbakar. Ia berjanji dalam hati akan mencari siapa pelaku di balik semua ini.

Akbar berjalan menuju rumah dengan langkah tertatih karena kakinya tergores pecahan kaca. Ia baru menyadari rasa sakit itu ketika berjalan menuju rumah.

"Assalamu'alaikum," ucap Akbar ketika memasuki rumah.

"Wa'alaikumussalam." Ibunya menyahuti salam Akbar. "Bar, kamu nggak apa-apa kan, Nak? Kebakarannya sudah padam? Kakimu kenapa?" tanya Qomariyah khawatir, melihat putranya dalam keadaan berantakan dan tertatih.

"Akbar baik-baik saja, Ummi. Hanya menginjak pecahan kaca tadi." Akbar tersenyum tipis pada ibunya agar sang ibu tak panik.

"Baik gimana, kakimu saja berdarah seperti iji." Qomariyah menatap Akbar panik.

"Akbar mau mandi, sebentar lagi adzan subuh. Ummi nggak usah khawatir, insya Allah, Akbar baik-baik saja." Akbar berlalu menuju kamar mandi.

"Kamu mandi, nanti Ummi siapkan baju dan obat buat kakimu."

"Iya." Akbar meraih handuk dan segera masuk ke dalam kamar mandi yang ada di ruang makan.

Qomariyah pun masuk ke dalam kamar putranya dan membuka lemari, lalu meraih pakaian putranya. Ia menyiapkan segala keperluan putranya untuk ke masjid. Tak lupa kotak obat ia siapkan untuk mengobati luka di kaki Akbar. Sudah lama ia tak melakukan tugas itu selama Akbar di pondok. Baru kali ini ia kembali menyiapkan pakaian putranya setelah beberapa waktu lamanya.

Terdengar pintu kamar terbuka. Akbar masuk ke dalam kamarnya setelah selesai mandi. "Kenapa Akbar jadi merepotkan Ummi seperti ini?" tanya Akbar ketika melihat sang ibu sedang meletakkan peci diatas tempat tidurnya.

"Apa memperhatikan anak sendiri nggak boleh?" tanya Qomariyah membalikkan pertanyaan Akbar. Ia memberikan pakaian yang sudah disiapkan pada putranya.

Akbar menerima pakaian dari sang ibu. "Harusya Akbar yang memperhatikan Ummi." Akbar tersenyum kilas pada sang ibu.

Qomariyah menuju lemari lain untuk meraih kotak obat sambil menanti Akbar berganti pakaian, sedangkan Akbar bergegas mengenakan pakaian.

"Ayo duduk." Perintah sang ibu ketika mendapati putranya sudah rapi mengenakan pakaian yang ia siapkan.

"Nggak usah, Mi. Nanti juga sembuh sendiri." Akbar menolak ketika kakinya akan diobati.

"Duduk." Sang ibu meraih tangan Akbar dan menyuruhnya duduk.

Akbar pun terpaksa menurut. Diam ketika sang ibu mulai mengobati luka goresan di kakinya. Akbar meringis menahan rasa perih ketika lukanya diolesi obat.

"Ummi jadi ingat waktu kamu kecil, Bar. Kamu main bola sama teman-teman terus nggak sengaja kena pecahan kaca. Pulang-pulang kakimu berlumuran darah." Qomariah mengupas masa lalu yang dialami Akbar ketika kecil sambil mengobati luka di kaki Akbar.

Akbar pun kembali mengingat masa kecilnya. "Kok Akbar lupa, Mi," katanya pura-pura lupa. Bukan pura-pura. Ia memang lupa jika ibunya tak mengingatkan.

Qomariyah sekilas menatap putranya heran. "Kamu boleh lupa dengan masa kecilmu, tapi asal jangan lupa sama hafalan Quran sama hadits yang kamu dapat selama di pondok." Qomariyah mengingatkan.

"Insya Allah, Akbar akan selalu jaga hafalan Akbar."

Adzan subuh pun berkumandang. Akbar meraih kain kasa dari tangan ibunya agar ia sendiri yang membalut lukanya. "Akbar langsung ke masjid yah?" pamitnya pada sang ibu ketika selesai membalut luka dengan kain kasa.

"Iya, hati-hati jalannya." Qomariyah hanya mengangguk.

Akbar beranjak dari duduknya. "Assalamu'alaikum." Akbar berlalu keluar dari kamar.

"Wa'alaikumussalam," sahut Qomariyah, menatap kepergian putra kesayangannya.

Putra yang ia sayangi kini telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah.

Tak sampai 5 menit, Akbar tiba di masjid pondok.

"Bagaimana kakimu, Bar?" tanya Gus Wahyu pada putranya ketika Akbar memasuki masjid dengan kaki terbalut kain kasa.

"Alhamdulillah, insya Allah baik-baik saja, Bi." Akbar tersenyum pada sang ayah.

"Nanti setelah musyawarah masjid, Abi mau musyawarah masalah kebakaran kelas santri putra. Abi sudah suruh ustadz-ustadz untuk datang musyawarah ke rumah," bisik Gus Wahyu pada putranya.

Akbar hanya mengangguk. Ia segera menunaikan shalat sunah sebelum subuh.

Setelah memastikan tak ada yang shalat sunah, salah satu santri pun ditunjuk untuk mengumandangkan iqamat. Jamaah pun fokus dan khusyuk shalat subuh berjamaah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro