1: Perkenalan dan Awal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pojok Author 🍯:

Halo Honey! Kabar gembira untuk kita semuaaah, versi remake Meniti Ikatan dengan judul baru: (My)sterious Husband sudah publish di angshaomi jadi cerita yang di sini aku unpublish ya.

Versi remake sudah mulai aku update yaaa yuuuk mampir ke angshaomi terima kasih banyaaaa

See you there!

ーーー

(c) 2016

Prasetyono Jefran Dewandaru

28 Tahun, seorang kolektor barang antik. Tenang, dewasa dan sangat penyabar, jarang ulas senyum namun sekalinya nampak, bisa ambyar kalian. Memiliki sisi misterius. Sangat sederhana, padahal kaya 8 turunan, tapi tidak diperlihatkan.



Sasmaya Anindyawati

20 Tahun, lulusan SMA. Pekerja serabutan yang tinggal bersama orangtua angkat di rumah sederhana. Kadang cerewet, kadang pendiam, moody orangnya. Hampir 90% galak, apa lagi pas diem tapi takut banget sama petir dan kegelapan.



Gyuta Baskara

22 Tahun, sahabat Maya. Gebetannya banyak, orangnya receh. Otaknya rada-rada tapi lulusan S1 Ilmu Komputer. Intinya: ganteng-ganteng somplak dan tidak berakhlak.



Pemeran lainnya menyusul seiring perkembangan cerita.


Maya kembali bersiap menghisap rokok yang hanya berjarak beberapa senti dari bibir, tapi siapa sangka benda itu menghilang dalam sekejap bersamaan dengan pemantik di tangannya. Bukan lagi rokok yang dia pegang, melainkan 3 buah permen dengan bungkus warna-warni. Maya terkesiap lalu menoleh pada seorang pria yang berani mengganggu acara perdana merokoknya.

"Apa-apa ... an ... sih." Awalnya ingin luapkan emosi, tetapi antara otak dan bibir semuanya tidak sinkron sebab mata menangkap sosok malaikat pencabut nyawa yang kelewat edan tampannya.

Alhasil, rokok itu mendarat pada bibir orang asing yang kini berdiri tepat di hadapan Maya. Sosok tegap itu lantas menundukkan tendas, dua manik legam beserta lesung pada pipi kirinya berhasil membius kesadaran Maya. Tinggi mereka kira-kira terpaut sekitar 10 senti sehingga Maya harus menengadah lalu tanpa sadar mulutnya sedikit menganga.

Sungguh sial respon itu di luar kendalinya. Tanpa rasa berdosa, pria itu mengisap kuat rokok lalu mengembuskan napasnya begitu saja di hadapan Maya. Akibatnya, sang gadis kembali terbatuk kecil seraya mengibaskan tangan.

"Sok-sokan merokok." Sindiran sang pria sangat tepat sasaran.

Merasa tersindir, Maya kembali buka suara dan menghapus khayalan sebelumnya. "Apa-apaan sih lo! Sini balikin rokok gue!" Ia mencoba mengambil kembali barang miliknya.

Tentu saja, usahanya nihil, bersamaan dengan itu terdengar sapaan seseorang dari belakang. "Jefran! Ih, kok nggak bilang sih udah dateng ... loh? Maya? Kamu belum pulang?"

Maya mengenali suara itu yang tak lain pemilik restoran tempatnya bekerja. Sang gadis menoleh kikuk dan menyengir kecil, sembari merutuki kebodohannya dalam hati. Ia berharap pria bernama Jefran itu tidak mengadu perihal rokok. Bisa-bisanya Maya lupa kalau masih di dekat lingkungan tempatnya bekerja. Semua ini gara-gara Gyuta, pokoknya, salahkan saja dia.

"Saya merokok dulu, Wik. Kamu tunggu di dalam saja," jawab Jefran dengan tenang.

Mendengar kalimat sang pria, Maya pun spontan menoleh sebab doanya seakan terkabul secara instan.

"Oh ... ya sudah. Maya, cepat pulang jangan keluyuran," sambung Wiwik dan langsung menghilang di balik pintu resto.

Detik pertama menjadi sunyi dan hanya suara kendaraan yang mendominasi, Jefran tampak santai sambil bersandar pada dinding, juga menikmati kegiatan mengisap tembakau.

"Anu, kak ... eh, Mas, eh, Pakー" Maya bingung menempatkan kata yang pas karena Jefran terlihat masih muda tapi melihat kedekatannya dengan Wiwik, sepertinya umur keduanya tidaklah jauh atau malah sepantaran. Berarti, pria itu tetap lebih tua dari Maya.

Jefran menyela ucapan Maya sambil mendekatkan tendasnya. "Cepat pulang, nanti dicari orang tua," ia menjeda melirik sudut bibir sang gadis yang tampak samar pada pandangnya, "dan segera obati lukanya."

Setelah berbicara seperti itu, Jefran mematikan rokoknya dan berlalu masuk ke restoran. Tanpa tahu dengan jarak sedekat tadi, berhasil membuat sang gadis tidak dapat berkutik. Maya sempat menahan napas untuk sepersekian detik saat rupa sempurna itu berada tepat di hadapannya membuat degup jantungnya berdetak tak karuan.

Sial, perasaan apa ini?

***

15 Jam yang lalu.

"Nduk, nanti kamu pulang jam berapa?" tanya Dahlia, wanita paruh baya yang sudah setahun belakangan ini menjadi wali dari Maya.

Maya pun menoleh di sela kegiatannya bersiap untuk berangkat kerja. "Jam sepuluhan, Bu. Seperti biasa kok."

"Ya sudah ... hati-hati. Jangan kemalaman nanti bapakmu ngamuk. Ibu ndak mau kamu kena pukul lagi." Dengan nada khawatir Dahlia mendekat sambil merapikan pakaian anak angkatnya.

Maya mengangguk sambil tersenyum tipis. Ia raih tangan Dahlia, lalu menatap keluarga satu-satunyaーyang paling warasーseraya mengeratkan genggaman tangannya penuh harap.

"Bu, kenapa kita nggak kabur aja dari rumah?" bujuk Maya dengan tatapan sendu, tetapi sedetik kemudian raut wajah teduh itu berubah merah kala mengingat perlakuan sang ayah, seolah tengah menaruh dendam. Ia pun menuturkan kebenciannya, "Bapak udah sinting! Dia cuma bisa mukul, ngebentak sama mabuk."

Dahlia hampir menangis melihat amarah dari iris cokelat Maya, kuasanya bergerak mengusap lembut rambut anak gadisnya yang sedang mencoba membujuk.

"Malam ini kita pergi dari sini, pas bapak belum pulang. Maya mohon ... ini kesempatan kita, Bu."

Dahlia tentu sangat menginginkan kehidupan yang damai bersama Maya, Putri sahabatnya yang meninggal karena kecelakaan. Wanita itu sudah menganggap Maya sebagai putri kandungnya sendiri. Vonis mandul membuat Dahlia akhirnya mengadopsi Maya yang waktu itu dititipkan di panti asuhan. Sayangnya niat baik Dahlia tidak mendapatkan dukungan dari Wahyu, sang suami.

"Jadi kalian mau kabur, hah?" Suara orang yang tidak diharapkan kehadirannya terdengar menjadi momok menakutkan bagi Dahlia dan Maya, sampai keduanya saling menautkan tangan dengan siaga.

Wahyu menarik Dahlia kasar, diikuti Maya yang berteriak memanggil sang ibu. Maya berontak ingin melawan. Namun, ia ditampar dan didorong oleh sang ayah sampai tersungkur di teras rumah.

"Sana kamu kerja yang bener! Awas kalau berani kabur, Ibumu nggak bakal selamat. Jadi anak jangan kurang ajar," ancam Wahyu dengan penuh amarah. Sementara itu Dahlia hanya bisa menangis tertahan, sangat tidak berdaya.

Maya hanya bisa diam saat dicaci maki dan ibunya kini telah menjadi sandera. Ia menahan semua emosi dengan menggigit bibir bawah kuat-kuat, sudah tidak peduli dengan tetangga sekitar yang menatapnya iba beserta omongan kosong yang tak bisa membantu. Maya melengos pergi karena ia tidak suka dikasihani.

***

"May, itu ... bibir lo kenapa?" Gyuta Baskara­­—rekan kerja sekaligus sahabat Maya—menatap khawatir pada luka di sudut bibir Maya.

"Biasa, orang edan!" tanggap Maya kesal seraya mengembuskan napas kasar. Jika teringat kejadian tadi pagi, suasana hatinya seketika memburuk. Dasar sialan! Bisa-bisanya Wahyu menjadi pengecut dengan menyandera istrinya sendiri hanya karena dia mengetahui kelemahan Maya yang terletak pada Dahlia.

"Anjir, dicipok orang edan? May, lo gapapa?" Gyuta dengan gaya hiperbola menarik kedua pundak Maya lalu mengecek di segala sisi gadis itu.

Refleks satu pukulan mendarat pada pundak Gyuta. "Sembarangan! Jangan deket-deket ah, bau rokok."

Pria itu mengaduh sambil nyengir kuda. Setelahnya Gyuta menyodorkan rokok bersama pemantiknya kepada Maya. "Gue cuma bisa bantu ini sebagai sahabat lo. Seenggaknya dengan ngerokok bisa sedikit ngurangin beban. Itu prinsip gue sih," ujar Gyuta sok bijak. "Udah cepet ambil aja, gue ikhlas. Abis ini gue mau ngapelin Risma, kasihan dia udah nungguin."

Belum sempat Maya melayangkan protes, Gyuta langsung angkat kaki menuju motornya.

"Ya Allah, gue punya sahabat nggak ada akhlaknya. Itu Risma yang mana lagi woi!" teriak Maya walau tahu itu tindakan yang sia-sia. Gyuta memang termasuk ke jenis laki-laki fakboi-santuy. Walaupun begitu, Maya senang berkawan dengan pria itu. Sikap Gyuta yang apa adanya dan humoris membuat Maya kerap terkekeh karena kekonyolannya.

Waktu menunjukkan pukul 9 malam, akhirnya Maya selesai dengan pekerjaannya sebagai pramusaji. Ia tidak langsung pulang, melainkan bergeming di pinggir jalan dengan tatapan sulit diartikan yang tertuju pada genggaman.

Andaikan ada malaikat ganteng yang nyasar jemput gue.

***

Pojok Author 🍯:

Halo, Honey! Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca. Akhirnya aku bisa membulatkan niat untuk merampungkan kisah ini hehehe. Perancangan naskah sudah rampung, allhamdulillah yeeeeey, aku usahakan buat upload rutin ke depannya ya! 😉

Salam Manis, Hanie.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro