2. Pola pikir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Belum lama ini, seorang teman cukup dekat menulis chat bernada begini di grup WA (WhatsApp) kami:
Gue nyesel selama masih muda, gue hidup tu cuma gini-gini aja.

Mungkin dia nulis gitu juga kepada dirinya sendiri. Waktu itu, saya ingat betul, sesaat kelar baca chat itu, saya jadi teringat sama teman sekolah (SD) yang baru ketemu lagi setelah sekian belas tahun. Saya berada di mobilnya, kami akan ke acara reuni SD kelas kami, dan memang sudah ada sekitar 6 bulan sejak pertemuan 'reuni' pertama di antara kami berdua.

Di momen semobil dengannya itu, dia curhat dengan kondisi yang senada dengan teman tadi:
Reuni ini jadi bikin gue nyesel kenapa dulu gue ngabisin hidup dengan hal-hal yang sebenarnya menjadi gitu-gitu aja. Kira-kira seperti itu.

Lalu, setelah saya bertanya kenapa, dia menjawab:
Ya gue langsung buka usaha emang, tapi ternyata apa yang gue lakuin ga bikin gue hepi. Gue kayak.. ya terjebak sama rutinitas gitu.

Kalau diamati sepintas dari sekian chat yang sudah-sudah di grup kami, teman yang disinggung pertama kali itu juga mengalami hal yang sama deh. Cuma bedanya, teman di grup WA itu lebih mapan dengan bisa menyelesaikan studi S1, dan belakangan S2-nya. Kalau saya, hampir senasib dengan teman lama SD itu.

Kira-kira kenapa ya suka bahkan sering ada orang yang menyesali hidupnya enggak melakukan ini, enggak melakukan itu?

Coba dulu saya melamar kerja di perusahaan yang saya minati itu.
Kalau saja saya menerima tawaran itu, mungkin enggak akan begini.

Melalui penjabaran dengan gaya bercerita begini, saya enggak mau menggurui atau menguliahi atau menasehati siapa pun. Cuma berbagi saja, dan sedikit mengajak 'merenungkan' kehidupan kita.

Saya sendiri juga sempat mengalaminya kok. Meski pernah studi S1 tapi saya enggak menuntaskannya karena sejumlah faktor, termasuk akhirnya jadi tidak mengenali diri sendiri. Apesnya, tidak lama setelah keluar, saya menjalani tes yang hasilnya bilang kalau saya cocok dengan jurusan S1 yang saya pelajari itu. Sungguh 'menohok' jiwa serta pribadi saya ketika itu.

Enggak sampai di situ aja cerita hidup saya seputar hal studi ini ternyata. Hampir 10 tahun berlalu, saya ketemu seorang teman yang menekuni dunia yang saya pelajari di S1 tadi. Untuk sesaat sempat terpukau dengan hasil-hasil karyanya, bahkan sampai membeli sejumlah bukunya, muncul lagi rasa penasaran akan penyesalan kenapa dulu saya tidak menuntaskan kuliah. Lambat laun, teman yang jadi IDOLA saya itu akhirnya 'dijauhkan' dari (hidup pribadi) saya seiring kehidupan kami berjalan.

Maka, pertanyaannya adalah:
Kenapa harus ada gejala idola?
Seseorang atau sekelompok orang atau sejenis budaya yang digilai sampai luar biasa fanatiknya, apakah ini bisa dikategorikan kelainan kejiwaan?
Kenapa saya bilang fanatik, karena semua penggemar itu TIDAK menjadi diri mereka sendiri, tetapi kebanyakan menjadi identitas BERSAMA yang dibuat secara bersama-sama pula. Istilah kerennya, arus utama atau MAINSTREAM.

Emang enggak ada yang salah (dan saya juga mau berkomentar lebih dalam lagi) seputar gejala sosial ini, tapi manusia juga memBUTUHkan keUNIKan PRIBADInya.

Kreativitas itu original, dalam artian menjadi diri sendiri.
Di sini saya membahas manusia sebagai makhluk individu.

Jadi tips kedua ini juga berhubungan dengan sejumlah tips berikutnya. Mungkin kali ini enggak sesimpel yang tips pertama, tetapi semoga bermanfaat.

Silakan dikomen kalau memang ada masukan lain atau kurang sependapat. Sekali lagi, terima kasih 😊

Astardi Sky's be creative
Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro