✿ 00.01 ✿

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terlampau lemah

Sementara kau terlalu keras kepala

•••••

Sang Surya merayap di ufuk timur. Sibuk mengelabuhi alam hingga sampai di kaki langit barat. Sinar kemuningnya merembes. Angin yang datang dari luar secara heroik melibas gorden jendela. Pekanbaru sedang berangin, menyambut musim kemarau. Pemilik kaki jenjang itu melangkah mantap menuruni anak-anak tangga. Senyum mentari seolah-olah pindah ke wajahnya. Sambil memperbaiki posisi jam tangan, ia mulai memainkan handphone dan memanggil seseorang.

Ia tampak tersenyum manis. Berbincang singkat dengan seorang pria di sebrang telepon sana.

Gadis itu berbelok ke arah meja makan. Sudah ada seorang pria separuh baya yang tengah sarapan. Menyantap roti bakar dengan selai cokelat yang mengering karena dipanggang. Gadis itu menatap sorot mata ayahnya dengan kasih yang utuh. Semenjak Bundanya telah tiada lima belas tahun lalu, kasih sayangnya hanya tertumpah kepada pria itu. Cap satu kecupan hangat di ubun-ubun setiap pagi seperti berkat untuknya memulai hari.

Insani tidak pernah kekurangan apapun dari ayahnya. Semua ia dapatkan dengan sempurna. Kebahagiaan semakin lengkap karena ada Azim di dekatnya. Setelah ayahnya menyerahkan tanggung jawab perusahaan kepadanya, Insani semakin dapat diandalkan. Usia ayahnya yang sudah genap lima puluh dua tahun berhasil membuatnya cepat lelah. Apalagi penyakit jantung memaksanya untuk lebih banyak beristirahat dan relaksasi.

Insani menyantap roti di atas piring dan meneguk segelas susu. Ayah Insani mulai angkat bicara setelah membersihkan sekitaran mulut, "Diantar Azim lagi?"

"Iya, Yah," sahut Insani cepat. Seuntas senyum ia suguhkan supaya tak terkesan angkuh. Ayahnya mengangguk mafhum. Ayah Insani tidak pernah keberatan dengan keadaan Azim yang jauh di bawah status sosial mereka.

Ayah sudah selesai dengan sarapannya. Namun masih tetap menemaninya Insani hingga selesai sarapan.

"Insani berangkat, ya, Yah?" Insani mencium punggung tangan ayahnya dengan santun. Ia langsung berbalik arah saat ayahnya mengiyakan perkataannya.

*****

Telunjuk Insani mengarah ke mobil sedan putih yang terparkir di garasi yang terbuka saat Azim bertanya hendak diantar dengan mobil Insani atau motornya. Senyum mengulum dengan mata kiri mengedip sekali. Azim dengan cekatan menangkap kunci mobil yang dilempar Insani. Kemudian, tubuh langsing Insani sengaja ia jatuhkan ke dada bidang Azim. Lelaki berambut hitam tebal dengan lembut mencubit dagu belah Insani dan merangkulnya mendekati mobil.

Walaupun Azim terbiasa menggunakan sepeda motor, tetapi ia sudah terlanjur bisa menyetir. Menjalin cinta dengan seorang anak pemimpin perusahaan surat kabar terbesar di Riau mengharuskannya untuk bisa itu. Tidak ada yang memaksa. Ia hanya sadar diri.

Dengan gesit, Azim mengemudi sampan darat beroda empat itu. Namun, tiba-tiba ia menjadi tidak fokus. Insani mencelik curiga ke arah Azim. Kekasihnya itu kenapa? Perilaku Azim memang sedikit berubah akhir-akhir ini. Ada yang menggangu pikirannya. Usianya sudah cukup matang untuk menikah. Hubungannya dengan Insani yang sudah memasuki tujuh tahun rasanya harus dibawa ke pernikahan. Ini adalah waktu yang tepat untuk berbagi keresahan hatinya belakang ini. Azim ingin bicara, tetapi entah apa yang menghalanginya.

Insani mendekap lembut lengan kiri Azim. Napas Azim berderu ganas, terdengar oleh telinganya. Insani menyentuh tangan Azim di setir. Azim membalas meremas jemarinya dengan lembut.

"Kamu lagi mikirin apa?" Insani menatap lekat jalanan yang padat. Bertanya tanpa melihat ke arah lawan bicara. Ia tahu Azim pasti peduli padanya dengan menjawab pertanyaannya. "Akhir-akhir ini kamu beda."

"Aku ...," Azim melepas lemas tangannya yang mendekap jemari Insani. Wajah wanita itu menengadah ke arahnya tanpa melepas dekapan. Jarak wajah mereka hanya beberapa sentimeter. Kecupan dan pelukan sudah biasa mereka lakukan. Dan menikahinya adalah cita-cita Azim selanjutnya. Tidak mungkin mereka hanya melakukan itu saja tanpa menikah, "harus pergi dari kota ini."

"Maksudnya?" Insani beranjak dan menatap wajah Azim lebih dalam.

"Kita nggak mungkin selalu begini, Sani. Kita perlu menikah dan aku harus kaya untuk bisa menikahimu." Azim mempertegas perkataannya. Tetap fokus ke depan. Ia berbelok memasuki jalan utama menuju kantor Insani.

"Apa harus pergi? Tidak bisa di sini saja?" rengek Insani. Wanita itu ciut nyali karena takut mulai menguasai hati. Dia seperti terpojokkan.

"Aku sudah memikirkan ini. Aku akan pergi ke Malaysia. Ada teman Ulung Abduh di sana yang akan membantuku untuk bisa sukses." Mobil berbelok lagi, "Begitu sukses aku akan langsung pulang dan melamarmu."

"Entah mengapa, tapi aku tidak yakin." Insani merebahkan punggungnya ke kursi mobil. "Tolong yakinkan aku," imbuhnya nyaris tak terdengar.

Azim menginjak rem dan mobil sudah berhenti. Mereka sudah berada di depan kantor Insani, kantor surat kabar terbesar di Riau, Riau Bos. Insani adalah CEO Riau Bos, sentral percetakan surat kabar yang mana koran-koran yang dicetak akan disebarkan ke berbagai Kota di Riau. Otoritas percetakan surat kabar berada di perusahaan Insani.

Azim meraih kedua tangan Insani, ia letakkan ke dadanya. Mata mereka beradu. Ada sendu di manik Insani dan ada kesungguhan di mata Azim. Decit bunyi rem dari beberapa kendaraan di parkiran yang sama tak mereka hirau. Azim berdengus, ia tak sanggup membaca kesedihan di mata Insani. Ia melepaskan tangan Insani. Menolak pandangan ke arah depan.

"Masuklah, nanti kamu telat," perintahnya.

Insani masih enggan beranjak. Azim tahu Insani menanti sebuah pernyataan untuk menjadi pegangannya saat Azim benar-benar pergi. Azim merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah kertas usang berlipat-lipat kecil. Berlahan ia bukan lipatannya satu persatu. Tampak sebuah cincin emas putih terkesan kuno, tetapi tetap cantik. Cincin peninggalan ibunya saat wanita itu membuatnya menjadi sebatang kara.

"Ini sebagai jaminan kalau aku akan kembali untukmu. Ambillah!"

Dengan gemetar, jari Insani meraih cincin itu. "Aku akan mengantarmu."

"Uangku tidak cukup kalau harus naik pesawat. Kemarin aku baru ngurus paspor. Aku akan naik kapal saja dari Dumai. Kamu tidak usah mengantarkanku."

"Azim," Insani menikam Azim dengan tatapannya, "kamu bisa naik pesawat, aku akan-"

"Jangan membuatku rendah, Sani."

Azim keluar. Ia membukakan pintu mobil untuk Insani.

*****

Tujuh jam perjalanan dari Panam menuju Dumai. Dua jam lebih lama dari biasanya. Sepanjang jalan menuju pelabuhan travel yang mereka tumpangi harus menurunkan beberapa penumpang. Insani benar-benar mengantarkan Azim ke pelabuhan. Lelaki itu terlalu gengsi menerima bantuan dari insani. Waktu benar-benar misteri.

Azim sibuk membolak-balik tiket yang ia dapati dari supir travel, lantas bergumam, "Kapan kapal akan berlayar, Uda¹?"

"Sabanta lai, Sanak²," pekiknya sambil melambai dari dalam mobil. Klakson berderit dan travel yang kami tumpangi sudah pergi meninggalkan asap.

Sangat kuat keinginan Azim. Ia tidak mau menunggu lagi setidaknya beberapa hari saja. Bahkan tidak menunggu kapal yang berlayar sore. Ia justru memilih kapal yang berangkat pagi-pagi buta. Insani terlampau lemah, sementara Azim terlalu keras kepala.

"Kamu masih saja sedih, Sani. Kenapa tidak bicara apapun sejak tadi?" Azim memeriksa barang-barangnya. Insani tak bergairah untuk bicara.

Bumi belum terang. Bulan sabit masih tergantung walau tak terlalu jelas. Satu-dua titik bintang gemintang mendelik di langit Dumai. Angin pelabuhan berderu. Menghantam lembut wajah yang terlanjur pasi. Tak bergeming. Beringsut di pinggiran dermaga. Memeluk lutut dan menelan bulat-bulat ketakutan yang sudah menanti. Cepat atau lambat kapal akan meninggalkannya. Membawa jauh kekasihnya yang tengah sibuk dengan tas dan barang bawaan. Azim akan berlayar 5 jam untuk sampai ke tujuan

Langit gelap perlahan tergantikan dengan sunrise. Garis-garis jingga dilukis Sang Mahakuasa menyambut Sang Surya. Tidak. Ini terlalu cepat.

"Azim!" pekik Insani agak serak. Wajahnya pucat. Dia tidak biasa dengan angin laut. Sorot matanya sedu sedan. Ia menatap lekat kekasihnya itu yang berhenti melangkah karena panggilannya.

Azim menoleh. Tas sudah diangkut. Di punggungnya hanya tinggal tas ransel. Ia mendelik ke arah Insani. Wanita itu ... Azim bahkan tidak ingin berlama-lama dengan drama perpisahan ini. Ia tidak ingin Insani semakin berat melepasnya.

Insani berlari. Menjatuhkan tubuhnya ke tubuh Azim. Pria itu menyambutnya. Ia biarkan Insani mendekapnya. Air mata Insani luruh lagi.

"Pikirkan sekali lagi, please!" imbuhnya, "Kali aja kamu akan berubah pikiran."

Azim berdengus. Berlahan ia lepaskan dekapan Insani, "Jangan seperti ini, Sani, tolonglah."

"Tega sekali kamu meninggalkanku."

Insani menunduk dalam. Azim menyentuh lembut pipinya. Menatap dalam ke arah dua bola mata Insani, "Akan lebih tega kalau aku menumpang hidup denganmu, Sani. Aku tahu kamu wanita yang kuat, jadi tolong ikhlaskan saja aku."

Azim memeluk Insani untuk yang terakhir kalinya, "Aku pergi. Jaga dirimu baik-baik. Secepatnya aku akan berusaha untuk pulang. Jangan terlalu memikirkan aku, aku akan baik-baik saja di sana." Azim mengecup kening Insani.


________

¹Uda adalah sebutan 'abang' dalam bahasa Minang
²'Sabanta lai, Sanak' artinya 'Sebentar lagi, bung'. Supir travel Dumai-Pekanbaru mayoritas bersuku Minang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro