✿ 00.04 ✿

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti bayangan dalam kegelapan
Rasa itu ada hanya belum kelihatan

•••••

“Yah,” panggil Insani parau, “Biarkan Insani mengurus perusahaan. Insani janji akan mengutamakan perusahaan daripada masalah pribadi.”

“Kamu yakin?” tanyanya ragu.

Insani mengangguk tak yakin. Ia hanya tak ingin merepotkan ayah. Di usia senja ayah seharusnya istirahat.

“Ya sudah, hari ini Rakha akan mulai bekerja. Name tag sudah dicetak oleh Hera. Kamu bantu lah dia. Setidaknya stand by di kantor. Jangan ke bandara lagi saat pekerjaan menumpuk seperti ini.”

“Iya, Yah.”

“Ayah akan tetap datang ke kantor minimal tiga kali seminggu. Bukan tidak percaya dengan perkataanmu, ayah hanya ingin memastikan kalian bekerja dengan baik. Karena kalau tiga bulan yang diberikan ini tidak juga membersihkan nama kita dari penilaian Biro Penyalu, bisa-bisa posisi direktur diambil alih.”

“Insani akan berusaha untuk lebih fokus untuk perusahaan. Ayah tenang saja.”

“Bagus!” Ayah keluar.

Insani berjanji dalam hati akan memperbaiki keadaan perusahaan.

Tlililitttt ....

“Iya?”

“Saya butuh tanda tangan ibu.”

“Silahkan.”

Beberapa saat Hera datang. Insani membubuhkan tanda tangan di sebuah berkas keanggotaan.

*****

"Kesimpulannya adalah bahwa kasus kecelakaan yang terjadi di Pekanbaru sedikit menurun dari tahun sebelumnya, begitu Pak?"

"Iya betul."

"Pertanyaan terakhir, Pak. Prospek apa yang dilakukan pemerintah Pekanbaru setahun terakhir yang menyebabkan angka kecelakaan bisa menurun?"

Rakha membuka halaman baru dari notes-nya dengan cepat. Mata bolpoin menggores kata perkata di kertas itu. Rakha sangat terlatih. Punya tata bahasa yang bagus, cekatan, cepat tanggap, dan kemampuan menulis yang super cepat. Itu biasa untuk seseorang berprofesi sebagai jurnalis.

"Satu tahun ini pemerintah Pekanbaru lebih mengupayakan tindakan preventif dan Satlantas juga menggelar sejumlah kegiatan yang setidaknya dapat memberikan efek, seperti coaching clinic ke sekolah-sekolah. Ya tentunya juga pemerintah Pekanbaru lebih menerapkan patuh berlalu lintas."

“Baiklah. Saya rasa cukup untuk wawancara hari ini, Pak.”

Rakha berdiri dan menjabat tangan ketua Saltanina Pekanbaru, “Terima kasih untuk waktu dan kesempatannya, Pak. Saya izin undur diri.”

“Iya sama-sama. Selamat bertugas di Pekanbaru, ya, Pak Rakha.”

“Siap, Pak,” tandasnya. Jabatan tangan terlepas. Rakha merunduk sebelum keluar ruangan.

Rakha keluar kantor Satlantas kembali ke mobil dan langsung meluncur ke lokasi berikutnya, ‘Stadion Utama Riau’.

Stadion Utama Riau adalah gedung serbaguna yang ada di Pekanbaru. Masa pembangunan stadion ini memakan biaya sekitar Rp 1,18 triliun dengan kapasitas pengunjung mencapai 44.000 penonton. Stadion ini juga menjadi tempat Kualifikasi Kejuaraan U-22 AFC 2013.

Namun semakin berjalannya waktu tempat ini semakin tak terkendali. Kerusakan gedung cukup parah. Stadion Utama Riau kini menjelma sebagai tempat favorit masyarakat untuk melakukan berbagai olahraga, seperti joging, show dance, badminton, bahkan menjadi tempat untuk berbuat mesum. Banyak pedagang kaki lima yang nengkreng di sepanjang jalan. Mengukir jalan stadion dengan jajahan opak mie, berbagai minum panas-dingin dan sebagainya.

Saat sore hari keadaan jalan Stadion Utama Riau sangat ramai. Namun, di pagi hingga siang hari tempat ini sunyi. Menurut apa yang tertera di atas kertas putih bertinta hitam ini, stadiun adalah tempat yang menjadi sentral todong atau pencurian. Cukup banyak terutama kalangan mahasiswa sebagai pengguna jalan stadion apalagi ingin ke pusat kota. Untuk keluar menuju pusat kota ada dua jalur, pertama melalui Jalan Soebrantas, dan yang kedua melalui stadiun lewat Jalan Garuda Sakit.

Begitu sampai Rakha langsung menyebar angket. Angket akan diambil setelah ia mewawancarai salah satu korban tabrak lari. Seperti yang tertera di kertas ini kecelakaan terjadi di Jalan Garuda Sakit menjelang tengah hari dan korban dilarikan ke Rumah Sakit Awal Bross. Ia meluncurkan ke sana.

Sepanjang perjalanan Rakha menyatukan catatan hasil wawancara dan pernyataan apa saja yang bisa menjadi data. Menjepit kertas demi kertas dengan alat penjepit. Di ujung atas sebelah kanan ia beri ceklis sebagai tanda selesai diliput.

Beberapa menit saja mereka sudah sampai di Rumah Sakit Awal Bros cabang Panam. Rumah sakit Awal Bros di Pekanbaru ada tiga. Pertama di Pusat Kota Pekanbaru yang sudah ada sejak tahun 1998 dan merupakan Rumah Sakit Awal Bros pertama. Yang kedua di daerah Panam. Terakhir di Jalan A. Yani. Rumah Sakit Awal Bros menanam gedung di berbagai tempat.

Dengan gesit Rakha turun sambil mengeluarkan alat perekam suara dan notes. Ia tipikal jurnalis yang tidak suka membawa laptop. Menurutnya itu merepotkan. Ia setengah berlari memasuki gedung mewah bak hotel bintang lima itu. Mencari informasi di kamar mana korban dirawat melalui resepsionis. Begitu mengetahuinya Rakha langsung naik ke lantai enam, kamar Melati II.

Tok ....

“Permisi, benar dengan saudara Arga?”

“Benar. Ada apa, ya?” tanya seorang wanita yang sedang menyedu teh hangat.

“Boleh saya masuk?”

“Boleh, boleh,” sambutnya.

Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan terbaring di brankar dengan kepala dan siku dibalut kain kasa. Wajahnya pucat. Bibirnya agak biru. Rakha mulai beraksi.

“Sebelumnya saya minta maaf, Pak, Bu, sudah menggangu makan siang ya,” Mereka manyut-manyut, “Saya jurnalis dari Riau Bos ingin meminta waktunya sebentar. Saya ingin mewawancarai ibu dan Pak Arga, korban tabrak lari kemarin siang.”

“Oh boleh, Pak, boleh,” ujar wanita itu. Ia mengaduk teh sebentar dan kembali fokus mendengarkan Rakha.

“Di sini saja tidak masalah kah?”

“Ngga papa, Pak.”

“Baiklah, saya mulai.”

Rakha memasang alat perekamnya. Menyiapkan halaman bersih di notes-nya dan menekan pangkal bolpoin untuk mengeluarkan mata pena.

“Bagaimana kronologi kecelakaan yang menimpa saudara Agra? Bisa dijelaskan.”

“Suami saya bekerja sebagai tukang pos. Waktu itu sekitar pukul sebelas lewat. Suami saya baru kembali dari Kantor Dinamo Store di Garuda Sakit, habis ngantar surat. Waktu putar balik, tiba-tiba ada motor balap nabrak suami saya dari belakang. Itu kayak nggak sengaja, tapi saya rasa ngebut-ngebut di jalan itu nggak boleh. Mungkin juga yang nabrak mikirnya, ‘ah sepi kok, ngebut aja lah’ gitu, Pak. Jadinya suami saya mengalami luka di kepala dan retak tulang di bagian tangan sebelah kiri kata dokter.”

“Setiap pelaku tabrakan akan mengatakan tidak sengaja saat menabrak, Bu. Keadaan jalan sedang sepi tidak menjadi alasan untuk melanggar aturan lalu lintas,” jelas Rakha, “Pertanyaan berikut, Siapa yang membawa korban ke rumah sakit? Lalu, apakah ada saksi mata di tempat kejadian perkara?”

“Nggak ada saksi mata, Pak. Yang bawa suami saya ke rumah sakit, ya pengendara motor dan mobil yang kebetulan lewat situ juga. Lalu saya ditelpon dari rumah sakit.”

“Baiklah. Boleh saya bertanya kepada saudara Agra?”

“Iya, boleh, Pak.”

“Saudara Agra, Bagaimana pelaku menabrak anda dari belakang?”

“Seperti yang dijelaskan isteri saya, Pak.”

“Menurut bapak, apakah bapak sudah berada di jalur yang benar saat terjadi kecelakaan?”

“Posisinya waktu itu pas saya sedang belok masuk ke jalan dan motor itu langsung nabrak saya.”

Setelah puas melontarkan pertanyaan Rakha menutupnya dengan ucapan terima kasih. Rakha juga meminta keterangan nama lengkap korban, sudah berapa lama berprofesi menjadi tukang pos, dan identitas umum lainnya.
Rakha kembali masuk mobil. Siap menjemput angket.

Angket sudah kembali ke tangannya. Ia bahkan belum makan siang. Sudah pukul tiga siang. Walaupun Rakha ingin mengejar target, tetapi ia tidak boleh egois. Perut si supir tidak boleh ia abaikan. Hampir saja dia lupa. Ia langsung menuju perumahan Graha VI Rimbo Ujung untuk mencaritahu penyebab kebakaran yang sempat terjadi di sana dua dua hari yang lalu. Itu adalah lokasi terakhir. Rimbo Ujung adalah permukiman yang baru saja dibuka. Awalnya tempat ini adalah hutan dengan tanah gambut.

“Kita ke lokasi terakhir, Pak, di Perumahan Graha VI Rimbo Ujung,” seru Rakha.

“Siap, Pak!” Suara supir agak serak.

“Saat saya mewawancarai warga setempat, bapak boleh cari makan. Maaf sudah membuat bapak kelaparan,” ujarnya. Rakha tidak tega. Ia terlanjur mengulur waktu makan siang.

“Baik, Pak.” Supir tidak banyak bicara. Dari tadi hanya menjawab ‘baik, Pak, atau siap, Pak’.

Selesai! Waktunya menyusun redaksi.

*****

Dari sore hingga pukul sembilan malam Rakha masih fokus di depan komputer. Ia mengenakan kacamata anti radiasi ditemani segelas kopi hitam yang tinggal seperempat. Begitu kembali ke kantor ia langsung menyusun redaksi. Berita harus dicetak besok pagi dan langsung diedar.

Saat Insani melewati ruangannya dan melihat lampu ruangan masih hidup, ia memilih untuk menemui jurnalis barunya.

“Kamu belum pulang?”

Rakha menoleh sejenak, “Belum, masih buat redaksi. Ini yang terakhir. Sebentar lagi saya akan pulang. Pengeditan akan saya lakukan di kos saja.”

Jemarinya ligat menekan keyboard dan menggeser-geser mouse.

“Tidak usah dipaksakan, bisa dilanjutkan besok.”

Ia berdengus dan membusungkan dadanya. Ia teguk kopi hingga habis. Kemudian ia menekan ctrl + s dan mencopy paste semua data. Redaksi terakhir selesai.

“Ibu mengapa belum pulang?” Ia mematikan komputer dan membereskan alat-alat miliknya ke dalam tas.

“Sejak menjadi direktur saya selalu pulang belakangan. Hanya memastikan tidak ada karyawan yang menyiksa diri demi pekerjaan. Intinya saya mau karyawan saya disiplin bukan ngejar deadline.”

“Saya perlu cetak koran-koran ini besok pagi supaya bisa langsung diedar. Kalau tidak begitu berita akan kadaluarsa. Berita harus segera dicetak.”

“Iya, saya paham. Pulanglah dan istirahat.”

Rakha hanya mengangguk dan pergi mendahului Insani. Namun beberapa langkah ia berbalik, “Sejak tadi siang saya mengirim email ke ibu. Apa belum ibu pertimbangkan usulan dari saya?”

“Saya belum membukanya.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro