✿ 00.07 ✿

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tolong jangan berharap lebih
Itu menyakitkan

•••••

Pagi yang sedikit mendung. Langit kelabu. Awan berarak-arak mengitari bumi. Sudah pukul tujuh pagi, tapi keadaan kota seperti baru selesai subuh. Angin pagi semilir menyapu dedaunan kering di depan gedung Riau Bos. Hembusannya membawa samar gerimis. Rakha tiba-tiba teringat hari pertamanya masuk ke kantor ini. Senyum mengulum. Ia menggeleng-geleng kepala mengingat kekonyolannya hari itu.

Langkahnya terhenti saat ekor mata menangkap sosok wanita yang jarang sekali ada di kantin. Dan hari ini mengapa dia di sana? Rakha menghampiri.

"Bagaimana keadaan Pak Hanafi, sudah baikan?"

Rakha mendatangi Insani yang sedang sarapan di kantin kantor. Wanita itu melihatnya tanpa ekspresi, seperti biasa. Ia meneguk air putih setelah menelan makanannya. Kemudian melanjutkan makannya tanpa menjawab pertanyaan Rakha. Pria itu geram dan justru memilih duduk di depan Insani.

"Aku 'kan nanya, kenapa tidak dijawab?"

"Saat makan tidak boleh bicara," balasnya datar.

"Labil! Itu ngomong."

Insani gemeletuk. Rakha semakin geram, "Kalau kamu tidak beri tahu keadaan Pak Hanafi sekarang, aku akan menjenguk nanti."

Insani menelan makanannya lalu berdehem, "Penyakit jantung ayah kambuh. Kata dokter karena ayah stress. Bukan hanya kita yang bekerja, tapi ayah juga bekerja dari rumah untuk perusahaan ini. Ayah juga lupa ngontrol kolesterolnya."

"O-oh." Rakha menyerong badan. Makan malam kemarin gagal total. Insani justru menyuruhnya pulang saja setelah Hanafi terbaring di tempat tidur.

"Kamu ada kerjaan hari ini."

"Apa?"

Mulai mencintai kamu? sambungnya dalam hati. Rakha tersenyum-senyum sendiri.

"Pertama, acara pelantikan gubri¹ baru periode 2014-2019. Kedua, siang nanti ada pelatihan literasi di perpustakaan pusat wilayah. Ketiga, kamu harus cari berita yang sedang hangat saat ini. Kita perlu up to date, 'kan?"

"Baiklah, itu memang tugasku."

"Aku ke atas dulu."

Insani langsung beranjak setelah menyeruput air putih terakhirnya.

Insani, cuma kerja, kerja, kerja, dan kerja. Kalau berani, aku bisa aja ngajak dia jalan.

Rakha terhenyak dari perkataan alam bawah sadarnya.

"Miko² tak sarapan, Rakha?"

"Udah, Lung, di jalan tadi."

Rakha menyusul Insani. Namun ia balik arah. Pelantikan gubernur baru Riau harus ia liput. Dan berbagai pekerjaan harus ia selesaikan.

*****

"Hera, dimana Insani?"

"Ibu tadi menelpon dan mengatakan akan telat, Pak."

"Kenapa? Tumben."

"Bu Insani dia sudah sebulan tidak ke bandara. Katanya mau ke sana sebentar lalu ke kantor."

"Cuaca sedang tidak bagus belakang ini. Angin kencang dan disertai gerimis. Mungkin dia akan terjebak macet nanti kalau tiba-tiba hujan turun. Banyak pekerjaan di kantor, dia malah berleha-leha."

Rakha menggerutu. Hera mendeliknya aneh, "Bu Insani 'kan CEO, lalu kenapa?"

"Memangnya kenapa kalau saya bertanya? Itu 'kan pendapat saya."

"Terserah bapak saja," ujarnya pelan.

Rakha meninggalkan Hera dengan mimik wajah sedikit kesal.

Karena CEO seenaknya. Aku capek-capek liput ke sana ke mari kemarin dan harus cetak sendiri?

Langkahnya terhenti.

Eh kok aku marah? Apaan sih. Biasanya juga sendiri. Astaga! Ada apa denganku?

Rakha berjalan sambil memijat pelan pangkal hidung. Amarahnya hari ini memuncak. Mungkin dia kelelahan.

Ia langsung mencetak koran-koran yang akan diedarkan hari ini, juga mengurus pengiriman surat kabar ke berbagai kota. Ruang percetakan tampak sibuk sejak tiga bulan terakhir. Rakha ditugaskan menjadi kepala jurnalis dan bertanggung jawab juga untuk kelancaran percetakan dan distributor koran.

"Sudah selesai dicetak semuanya?" Insani tiba-tiba muncul.

"Sudah. Baru datang?"

"Iya."

Insani menarik satu lembar koran yang siap diedar. Membaca beberapa berita, "Bagus. Kerjaan kamu memang bagus, rapi, dan mudah dipahami."

"Kamu telat. Tumben."

"Ada urusan sebentar." Insani meletakkan kembali koran itu, "Aku ke ruangan dulu."

"Aku mau bicarakan soal pekerjaan. Boleh ke ruangan kamu nanti setelah pekerjaan ini selesai?"

Insani mengangguk. Rakha merasa Insani tadi pasti menangis. Pias wajahnya agak sendu. Rakha menyusul Insani. Namun, ia menyeduh teh susu terlebih dahulu. Ia membawa dua dengan kedua tangannya. Berniat untuk memberikan segelas kepada Insani. Suasana hati wanita itu pasti sedang buruk. Dia aneh. Sudah jelas dia tidak akan menemukan apapun di bandara, tetapi mengapa kekeuh dengan terus saja pergi ke sana? Bagaimana cara untuk menjelaskan kepadanya. Tolong, jangan berharap lebih. Itu menyakitkan.

Rakha meminta bantuan OB yang kebetulan lewat untuk membuka pintu ruangan Insani.

"Hai," sapanya, "ini aku buatin teh susu. Cobain deh."

Rakha menyodorkan segelas teh susu kepada Insani. Lagi-lagi wanita malang itu berdiri di depan jendela. Ngeri-ngeri sedap melihatnya. Tidak masalah, yang penting jangan sampai ia melompat dari situ.

Jemari lungai Insani mendekap gelas hangat itu berlahan. Tubuhnya seperti kekurangan tenaga. Tangannya nyaris terjatuh saat mengambil gelas dari tangan Rakha. Rakha menatap bola matanya penuh iba. Ia sangat ingin melihat bagaimana Insani jika menjadi wanita yang ceria, seperti yang sering dikatakan Ulung Abduh saat Rakha mulai bertanya-tanya tentang Insani. Walaupun bahasa Melayu totok Ulung Abduh sebenarnya membuat Rakha bingung, tetapi sedikit cukup dimengertinya.

"Apa melihat jalanan padat itu termasuk hobi kamu?"

"Terbiasa."

Insani memasang fokus mata ke jalan. Sinar matahari yang terbias di kaca jendela mulai memantulkan panas di kulit mereka.

"Mengapa? Maksudku banyak kegiatan lain yang bisa kamu lakukan daripada berdiam diri di sini."

Rakha meneguk teh susunya, "Oh ya, mengapa sering ke bandara? Dan mengapa bandara kamu jadikan tempat merenung terus ujung-ujungnya nangis."

Insani menatapnya tajam, "Aku rasa kamu tidak perlu tahu soal itu."

"Mental juga mempengaruhi kinerja kerja kita. Kalau kamu lebih sering ngelamun, sedih, kecewa, dan nangis begini, bisa-bisa perusahaan nggak stabil lagi. Aku nggak mau harus memperpanjang masa kontrak di sini."

"Saat ini aku sedang tidak melamun, sedih, atau menangis. Jangan sok tahu."

"Baiklah, baiklah, aku—"

"Oh ya, memperpanjang masa kontrak? Ayah sempat nanya sama aku apa kamu akan memperpendek masa kontrak. Perusahaan sudah lebih baik, karena kamu pemulihan dua minggu lebih cepat. Itu juga karena kamu."

"Aku belum memikirkan itu. Sampai detik ini biarlah aku bekerja seperti biasanya."

"Kami tidak memaksa. Hanya saja ayah sepertinya cukup menyukaimu. Ayah sendiri yang mengatakannya kemarin."

Lalu, kamu, bagaimana?

"Oh ya, ayah sudah membaik dan kamu diundang besok malam makan di rumah untuk gantiin makan malam kemarin."

Rakha manyun, paham. Mungkin besok malam ia akan berkutat lagi dengan deretan kemeja-kemeja di dalam lemari. Mondar-mandir ke cermin hanya untuk memastikan baju yang dikenakannya apa sudah cocok atau tidak.

Insani meneguk teh susunya, "Mm ... enak. Kamu yang buat?"

Rakha tersenyum dan menggoyangkan kepala ke kanan, pelan. Teh susu mungkin bisa menjadi Mak Comblang-nya untuk mendekati Insani. Demi melepas jerat yang menyiksa Insani, Rakha harus rela ngebucin di depannya.

"Beberapa hari saya tidak akan masuk kantor. Kamu tolong handle kantor bersama Hera."

"But why?"

________
¹gubri (gubernur Riau)
²Miko artinya kamu (bahasa Melayu)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro