✿ 00.10 ✿

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika sudah memulai
Takkan berhenti sebelum berhasil

•••••

"Bagaimana? Apa budak tuh pulang dari Malaysia? Kamu jumpa dengan dia di sana? Apa kamu ke Pekanbaru bareng dia? Yang ngantar kamu pulang dia juga?"

Ayah Insani menyerang dengan berbagai pertanyaan yang jawabannya hanya satu 'tidak'. Insani mulai merasa pusing. Ayahnya yang duduk sambil memegang koran itu ia lihat ambigu. Insani mengurut pelipis, lembut. Berbayang. Semua samar-samar terlihat oleh matanya yang berulang kali kedap-kedip. Ia berdesis.

"Ayah, Insani lelah sekali. Insani ke kamar dulu, ya, Yah? Kayaknya Insani kurang tidur."

"Insani, pasti kamu lupa makan di sana. Pokoknya ingat janji kamu kemarin sebelum pergi."

"Ayah tolong izinkan Insani ke sana. Lagian 'kan perusahaan sudah lebih stabil sekarang. Ada Hera dan Rakha yang akan memastikan kantor baik-baik saja selama Insani ke luar kota."

Ayahnya bergeming, hanya mata yang terus fokus mengarah ke bingkai foto berukuran besar sekali di sisi kiri jendela kamarnya, foto Bunda Insani.

"Ayah, Insani tahu sebesar apa rasa cinta ayah untuk Bunda. Kalau lah bisa ayah melihat perasaanku ini, perasaan yang sama dengan rasa cinta ayah ke Bunda. Tolong izinkan Sani, Yah," rintihnya.

"Wanita ini istri ayah, Bunda kamu, bukan pacar ayah. Sangat wajib bagi seorang suami mencintai istrinya." Ayah berbalik ke arah Insani, "Sedangkan kamu ... dan Azim hanya lah sebuah hubungan tanpa ikatan yang kuat, rapuh. Masih saja kamu berharap dia kembali. Lihat sekarang keadaan kamu, sudah lah badan semakin kuih bona, tak larat nak makan."

"Ayah sekali saja," desisnya merunduk. Insani terisak.

Ayah berdengus. Putri semata wayangnya ini keras kepala seperti bundanya. Sekeras apapun melarang, Insani akan berlutut meminta izin kepadanya.

"Baiklah," akhirnya. Insani mengangkat kepalanya, "tapi, ingat ini yang terakhir. Kamu harus janji dulu sama ayah."

"Iya, Yah."

"Kalau sampai tiga hari kamu di sana dan Azim tidak juga datang, kamu harus segera pulang dan melupakan semua tentang Azim. Ja-"

"Tapi, Yah, bagaimana bisa Sani-"

"Jangan memotong! Jangan membantah! Ini perjanjian kita dan kamu harus pertegas pilihanmu, Sani."

"Baik, Yah," desisnya.

"Jangan lagi berharap Azim akan kembali. Ayah hanya ingin kamu kembali menjadi orang yang hidupnya normal. Ayah hanya ingin kamu menjadi Insani, putri tunggal ayah yang ceria dan cerdas." Ayahnya mendekat, "Kamu putri kesayangan ayah, apapun yang ayah beri ayah usahakan yang terbaik. Tidak ada orang tua yang membiarkan anaknya jika keadaannya seperti kamu ini. Sudah dua tahun lebih kamu seperti ini."

"Iya, Yah, Sani ingat."

"Istirahat lah, nanti Bu Ida yang akan mengantarkan makanan untukmu. Ayah khawatir asam lambungmu naik."

*****

Langit membentang luas itu seperti permadani biru. Sisi manapun awan hanya sejumput. Kalau begini biasanya cuaca akan cerah, gerah, dan mungkin akan panas. Sinar matahari juga sudah lumayan membakar kulit di jam delapan pagi ini. Namun, angin bertiup membuat keadaan seimbang. Panas tetapi, berangin. Insani terlambat ke kantor. Ia kelelahan karena kurang tidur selama di Dumai.

Kaki jenjangnya mengenakan sepatu flat tumit setinggi tujuh inci. Kali ini iya memakai seragam celana dan jas berwarna peach. Rambut ia ikat satu, tidak berponi. Turun dari mobil dan melangkah panjang-panjang memasuki gedung Riau Bos. Dia selalu rapi, tetapi karena wajah sedunya ia terlihat seperti tak berjiwa, alias seperti mayat hidup. Walaupun make up-nya sempurna, tetapi tak sempurna menutupi mata dan bibir yang tidak lagi pernah tersenyum. Ah, hanya sesekali.

Insani naik ke lantai tiga dengan bantuan pintu besi berukuran setinggi dua meter dan lebar delapan puluh sentimeter. Begitu sampai di lantai tiga, harus kah Rakha yang ia lihat pertama kali. Rakha baru kembali dari dapur kantor. Di tangannya ada segelas minuman hangat, pasti teh susu. Pria itu.

"Pagi, Sani. Are you ok? By the way, thanks untuk tumpangannya dan maaf aku terlalu konyol kemarin."

Insani langsung berbelok, tak merespon. Rakha mengikutinya.

"Kenapa telat? Apa kamu ke bandara lagi, ya?"

Insani mempercepat langkahnya. Tak gencar, Rakha pun menambahkan kecepatan langkahnya. Insani masuk ke ruangannya, Rakha pun ikutan masuk. Insani berhenti, ia pun berhenti. Seperti anak minta nyusu, Rakha.

"Ada apa?"

"Tidak apa-apa. Ini teh susu untukmu, untuk balikin mood kamu mungkin bisa bantu."

"Terima kasih tapi, saya tidak haus."

"Sudah aku katakan 'kan mana tahu minuman favoritku ini bisa bantu mood kamu supaya lebih baikan."

Insani menyipitkan mata sejenak, "Saya ambil. Te-ri-ma ka-sih Tuan Rakha," selorohnya.

"Sama-sama," imbuh Rakha dengan senyum sumringah.

"Keluar lah, pintunya di sana belum pernah pindah."

Rakha melihat dengan ekor matanya.

Aku tahu!

******

"Mau pulang?"

"Kamu lihat?"

"Hati-hati," pekik Rakha dari depan gedung kepada Insani yang jalan terburu-buru.

Tiba-tiba Hera datang mengejar, "Bu Sani," panggilnya. Mobil Insani sudah meluncur ke aspal.

"Ada apa?"

"Penasaran sekali, ya, Pak?" sindir Hera dengan napas tersengal-sengal.

"Jawab saja."

"Ini berkas yang harus Bu Sani pelajari untuk rapat redaksi bulanan besok, Pak, ketinggalan. Sebenarnya saya yang telat ngasih. Eh, lagian Bu Sani pulang lebih awal."

"Kenapa dia pulang lebih awal?"

"Dapat kabar dari temannya yang bekerja di bandara kalau ada seorang pria dengan nama Azim yang sore ini menjadi penumpang pesawat dari Malaysia. Bu Sani mau lihat pria itu, ya mana tahu Pak Azim benaran."

"Mustahil!"

Hera menyeringai dan berbalik hendak masuk.

"Eh tunggu Hera, itu berkas harus dipelajari Insani 'kan malam ini juga?"

"Iya, Pak. Kenapa?"

"Kemarikan, berikan ke saya, saya akan antar ke rumahnya nanti malam."

Dengan cepat Hera memberikan berkas itu kepada Rakha, "Terima kasih, Pak," ujarnya dengan senyum riang.

"Ya, ya, sana lha."

Baik sih, tapi ngeselin juga! Huuft ....

Hera berlalu dengan ekspresi wajah yang entah seperti apa.

Rakha memutar topinya dan memutuskan untuk pulang lebih awal. Berpikir untuk mengikuti Insani ke bandara. Lagian semua kerjaan hari ini sudah beres. Rakha melesat dengan motornya. Begitu sampai langsung celingak-celinguk menyapu setiap sisi bandara Internasional Sultan Mahmud. Ia tersenyum geli mengingat kenangan pertama kali ia menemukan Insani.

"Ah konyol sekali kali kalau Insani tetap menangis di tempat seramai ini. Lalu apa yang sudah aku lakukan untuk membuat dia mengerti? Sialnya tidak ada," kesalnya sambil berjalan mencari keberadaan Insani.

Mengetahui di mana Insani tidak sulit. Ingat sekali saat bertemu dengannya waktu itu Insani duduk di kursi tunggu yang terdekat dengan agron. Wanita itu hanya akan fokus pada satu arah. Melamun dan akhirnya menangis. Dan dugaannya benar. Di kursi itu lagi Insani ia temukan menangis. Wanita itu merunduk dalam. Terisak. Air matanya lurus sejadi-jadinya. Tidak malu! Bukan, tapi ia terlalu memaksakan diri untuk menanti. Harusnya ia tidak seperti ini. Anehnya mengapa kekecewaan tak membuatnya kunjung mengerti. Ini yang dinamakan bodoh kuadrat.

Rakha berdiri sekitar lima puluh meteran dari tempat Insani terduduk. Ia berdengus sambil menggeleng, "Insani, Insani, apa yang kamu lakukan?"

Tunggu lah sebentar saja. Jika aku sudah memulai aku tak akan berhenti sebelum berhasil. Aku akan mulai membuka matamu. Berlahan membuatmu mengerti kalau apa yang sudah kamu lakukan dua tahun lebih ini adalah sia-sia. Air matamu ... sudah cukup. Aku akan membantumu keluar dari masa lalu yang kamu bahkan saat ini enggan beranjak. Itu janjiku!

Insani tak sengaja melihat Rakha.

Dia? Apa yang dia lakukan di sini? Apa dia mengikutiku?

Entah mengapa Insani menoleh ke kanan. Ia tercengang saat melihat ada Rakha yang sedang duduk di sana, di kursi dekat pintu masuk bandara. Untuk apa?

Insani merasa Rakha sengaja mengikutinya, tapi ia juga tidak begitu yakin. Ada satu cari untuk mencarinya tahunya. Insani menyekat air mata. Kemudian beranjak dan langsung keluar bandara. Ternyata benar, Rakha mengikutinya sampai keluar bandara. Insani melihat pantulan Rakha yang sedang memakai kemeja merah tua berjalan menuju parkiran, mendekati motornya saat Insani hendak membuka pintu mobil.

Untuk apa dia mengikutiku? Apa disuruh ayah?

*****

"Aku hanya mau nganterin ini."

Rakha menyerahkan berkas-berkas yang diberikan Hera tadi sore. Insani menerimanya.

"Kamu nangis lagi, ya?"

"Jangan sok tahu!" bentaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro